Monday, May 5, 2014

Setumpuk Harapan Di Ujung Pena, “Kuliah ala Hamidin”


Ditengah situasi yang sulit, Hamidin lelaki kelahiran Kolaka Sulawesi Tenggara 09 Desember 1988 ini menjalani hari-harinya dengan penuh tantangan dan cobaan, hebatnya ia sangat mensyukuri segala sesuatu yang ia dapat. Dalam hidupnya, ia tak pernah mengenal kata putus asa, sampai-sampai ia harus mengulangi dua kali Ujian Nasional karena tak lulus-lulus. Semangatnya tak pernah padam, ia kembali mengikuti ujian dengan mengambil ujian paket. Setelah dinyatakan lulus, ia kembali melawan kerasnya hidup ditengah situasi yang semakin sulit.
Hamidin Usai Wisuda
Semenjak kepergian ibunya, Hamidin yang saat itu masih duduk dibangku sekolah menengah pertama (SMP) harus tegar diusianya masih sangat muda. Masa-masa sulit mulai dilewati hamidin, setumpuk harapan untuk membalas jasa sang ibu kandas di saat ia masih remaja. Hamidin adalah anak ke empat dari lima bersaudara, adiknya masih kecil, tanggung jawab hamidin adalah bagaimana menyekolahkan adiknya hingga lulus sekolah. 

Kehidupan terus berlanjut, hamidin kembali mendapat cobaan. Semenjak ditinggal sang ibu, ayahnya mulai sakit-sakitan. Ayah hamidin adalah sosok yang sangat tegar, semenjak kepergian istrinya, ia mulai menjalani hari-harinya dengan seorang diri. Kelima anaknya memang sedang ber sekolah diluar kota Kolaka. Hamidin yang saat itu sudah lulus SMP, akan melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Aliah Negeri (MAN) Kota Kendari, sementara ketiga kakaknya juga melanjutkan studi pada salah satu perguruan tinggi di Kota yang sama dengan hamidin bersekolah. Memang itu adalah motivasi sang ayah yang mendorong anak-anaknya untuk tetap lanjut sekolah. Ayah Hamidin hanyalah seorang pensiunan disalah satu perusahan ternama di Kota Kolaka, sementara almarhum ibunya hanyalah ibu rumah tangga. Itulah motivasi sang ayah yang kerap disampaikan ke anak-anaknya, suatu saat nanti anak-anaknya akan menjadi orang-orang yang berhasil yang dekat dengan ilmu pengetahuan.

Ditahun 2004 silam saat setelah ia ditinggal pergi ibunya, Hamidin diperhadapkan dalam situasi yang sulit. Ia mendapat kabar kalau ayahnya telah menghadap sang khalik, ia kembali terpukul. Cobaan kembali melandanya, hamidin merasa sangat kehilangan. Belum lama ia ditinggal ibunya, kini ayah yang menjadi panutan harus pergi menghadap yang maha kuasa, pergi untuk selama-lamanya. Ayahnya meninggal di tahun 2007 lalu. Kehidupan yang dialami hamidin memanglah tak mudah, ia jauh dari kehidupan kebanyakan orang lain yang masih merasakan hangatnya suasana didalam keluarga. Hamidin yang saat itu duduk dibangku sekolah menengah atas, menjadi tak fokus mengikuti mata pelajaran yang ia terima saat disekolah.

Hamidin mempunyai sejuta harapan, ia berencana melanjutkan studinya di jenjang yang lebih tinggi lagi. Rencananya ia mau kuliah, sama dengan teman-teman lainnya. Tapi kenyataan itu masih jauh dari harapan, ditengah situasi yang sulit ia belum bisa bersama-sama kawan lainnya untuk melanjutkan studi. Saat itu, kedua kakaknya sudah berumah tangga sementara adiknya tinggal bersama pamannya untuk melanjutkan sekolah menengah atas disana, ia harus berkerja kesana kemari untuk menyambung hidup. Tak peduli pekerjaan seperti apa yang akan ia lakukan selagi itu halal.            

Melihat peluang kerja dikota itu sangat susah, seorang teman mengajaknya untuk datang ke Kota seribu benteng. Harapannya, di Kota itu ia akan mendapatkan pekerjaan dan kehidupan baru yang menjanjikan. Setibanya di Kota Baubau, ia tinggal bersama teman semasa SMA nya dulu. Namun tidak berapa lama ia tinggal bersamanya, Hamidin yang saat itu pendatang baru harus mencari tempat hunian. Ia menawarkan diri untuk berkerja pada salah satu pengetikan komputer dan akhirnya ia diterima ditempat itu. Hamidin sangat mensyukuri saat ia diterima untuk berkerja sebagai juru ketik, apalagi makan dan tempat tinggal disedikan oleh pemilik usaha rental komputer itu.

Kehidupan baru ia mulai dari tempat itu, setahun sudah hamidin berkerja sebagai juru ketik, sampai akhirnya ia sadar, kalau ia sudah melewatkan cita-citanya dulu, ia terbangun dari mimpi-mimpinya dan akhirnya sadar jika beberapa tahun lalu ia mempunyai cita-cita untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi. Setelah beberapa hari menimbang-nimbang keinginannya, akhirnya ia memberanikan diri untuk berbicara dengan bos tempat ia berkerja. Permintaannya direspon baik oleh sang bos, hamidin sangat senang mendengarnya. Ia diberi ruang untuk kuliah, biaya pendaftaran masuk kuliah akan dibayarkan oleh bos dengan catatan gaji hamidin akan dipangkas setiap bulannya. Gaji hamidin tidaklah banyak, untuk pembayaran iuran semester memanglah tak cukup. Itulah sebabnya hamidin mencari sampingan lain untuk menutupi pembayaran iuran semester. Ia tak menyangka, sebab di tengah situasi yang begitu sulit ia bisa menjawab setumpuk harapan yang telah lama ia pendam. Cita-citanya untuk kuliah sudah lama ia impikan.

Dua tahun berlalu, ia sudah merasakan bagaimana menjadi seorang mahasiswa didalam kampus yang sudah menguras banyak isi dompetnya. Saat itu hamidin sudah tak lagi berkerja di rental pengetikan tempat biasa, hamidin menghabiskan hari-harinya di depan monitor komputer dengan lembar-lembar kertasnya. Ia meminta untuk berhenti berkerja ditempat itu, sebab ia mendapat sedikit kesalah pahaman antara sang bos dan dia. Konon, sang bos saat itu menegur hamidin karena ia sengaja menumpahkan botol tinta print hingga sang bos beralasan jika hamidin sudah tak senang berkerja menjadi bawahannya. Padahal hamidin tak menyenggol atau bahkan sengaja menumpah cairan tinta itu. Tanpa panjang lebar, hamidin yang lagi dilanda banyak masalah memutuskan untuk pamit dari tempat ia biasa berkerja. Ia kembali menjalani hari-harinya dengan pindah dari rumah ke rumah, saat itu adalah masa-masa sulitnya sebab ia diharuskan untuk menyelesaikan iuran semester karena sebentar lagi menghadapi ujian semester. Semenjak ia tak berkerja lagi, keuangan hamidin tak mencukupi lagi untuk membayar iuran semester. Ia hampir putus asa dan tak melanjutkan lagi kuliahnya. Hamidin coba menghubungi kakak-kakannya yang saat itu berada di kendari, namun jawabannya pun sama. Kakaknya tak bisa memenuhi permintaan dari hamidin, sebab kondisi ekonomi kakak hamidin masih berada pada jalur yang sama dengan kondisi ekonomi hamidin saat ini.

Tak berapa lama, hamidin diterima lagi pada salah satu jasa foto copy, tempatnya tak jauh dari kampus tempat ia kuliah. Hamidin dipercayakan kembali untuk mengurusi ketik-mengetik. Dari penghasilannya, akhirnya ia bisa menutupi iuran semester dan kembali melanjutkan studinya. Ia sangat bersyukur bisa mengikuti ujian semester dan melanjutkan kuliahnya sampai akhirnya ia mendapatkan beasiswa dari kampus bagi mahasiswa yang kurang mampu. Ia sangat berterima kasih kepada kampus yang masih mau membantu setiap mahasiswa yang bersungguh-sungguh untuk mengenyam pendidikan.

April 2014, malam itu hamidin baru saja mengikuti proses yudisium. Itu berarti, hamidin sudah menyelesaikan semua mata kuliah dari proses perkuliahan selama ini dan dinyatakan memenuhi syarat yang selanjutnya dikukuhkan sebagai seorang sarjana. Ia tak menyangka kalau sudah berada pada titik dimana ia sejak lama menantikan momen seperti ini. Hamidin sudah membuktikan kepada mahasiswa-masiswa lain, jika tak ada kata putus asa, doa dan usahanya selama ini dijawab dengan gelar kesarjanaannya. Jelang ia akan di wisuda, hamidin berencana akan mengundang sang kakak untuk mendampinginya di wisuda nanti. Saat itu ia sudah menghubungi kakaknya yang berada di Kota Kendari dan sang kakak pun akan datang. Ini kali pertamanya sang kakak datang mengunjungi hamidin, padahal semenjak beberapa tahun hamidin tinggal di Baubau tak ada seorang pun keluarga ataupun kakaknya yang mengunjunginya. Ia hanya bersua lewat telepon saja.


Saat dinantikanpun tiba, hamidin mengenakan baju toga dan duduk berada dikerumunan alumnus lainnya sementara sang kakak duduk bersama tamu undangan. Ditengah suasana haru, hamidin hanya ditemani oleh kakaknya. Kini, giliran hamidin untuk menaiki podium tempat berkumpulnya para bejabat dan petinggi kampus. Rektor berada pada barisan terdepan dan dikawal oleh para wakil-wakilnya, setiap saat ia harus memindahkan tali topi toga dan berjabat tangan kepada mereka yang baru saja dilantik. Hamidin adalah satu diantara ribuan alumni yang mengikuti proses wisuda hari itu, ada banyak orang yang sudah berada pada titik klimaks kebahagiaan dan mendapatkan gelar kesarjanaan, tapi tak banyak orang seperti hamidin yang susah payah menaiki puncak yang penuh dengan rintangan dan cobaan untuk menyelesaikan kuliah di era serba mahal ini. Dengan satu keyakinan dan usaha yang kuat ia bisa menjawab mimpi-mimpinya yang nyaris patah.







Baubau, 28 April 2014

0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts