Pendidikan menjadi sangat penting dalam kehidupan kita, ini berarti setiap manusia berharap untuk selalu berkembang dalam hal pendidikan. Makanya, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Sejak kecil,
pendidikan kita sudah dapat dari lingkungan keluarga mulai dari latihan
membaca, menulis, dan menghitung. Pendidikan menjadi hal yang
wajib dan modal dasar untuk menggapai masa depan yang gemilang. Secara formal, memperoleh pendidikan kita mesti memulainya dari pendidikan dasar (SD), menegah (SMP),
menengah atas (SMA), sampai bisa melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Dahulu
dikampungku, tak banyak yang bisa melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Disamping
keterbatasan ekonomi juga belum ada pilihan jurusan yang ingin dituju saat itu. Itulah alasan sehingga banyak yang memilih untuk kuliah keluar pulau ini.
Seiring dengan perkembangan, saat ini kampus
sudah mulai memberi banyak ruang bagi yang ingin melanjutkan pendidikan keperguruan
tinggi. Kini, kampus sudah menjamur dikotaku, pelajar yang sudah
menamatkan studinya bisa langsung medaftar sesuai dengan pilihan jurusan yang
dituju. Kampus di daerahku, selain mengajak kita untuk tidak bepergian jauh,
juga bisa menghemat biaya kuliah. Sebab kuliah di luar daerah biayanya relatif
cukup besar ketimbang kuliah dikampung sendiri yang biayanya lebih terjangkau. Keberadaan
mahasiswa di kota ini cukup mewarnai dinamika perkembangan daerah, para kaum
intelek itu sudah banyak berkontribusi kepada daerah. Mereka banyak melakukan
fungsi kontrol pada setiap kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan keinginan masyarakat banyak. Ketika pemerintah sudah tidak memihak kepada rakyatnya, biasanya
unjuk rasa adalah solusi untuk melakukan setiap perbaikan kinerja pemerintah
yang dinilai salah. Kuliah menjadi
hak dan membayar iuran semester adalah kewajiban dari setiap mahasiswa. Tak
sedikit dari mereka yang memaknai kuliah adalah mendapatkan pekerjaan, ada pula yang hanya
ingin memperoleh ijazah atau memiliki gelar kesarjanaan saja. Tak banyak dari mahasiswa yang
memanfaatkan masa-masa kuliah untuk memperoleh pengetahuan, beroganisasi atau membangun
jejaring pertemanan. Sebagian orang berpendapat, jika berorganisasi akan menghabat
perkuliahan. Banyak mahasiswa yang kuliahnya lama dampak dari berorganisasi,
bahkan ada yang tak melanjutkan kuliah. Bagi saya, kuliah tanpa organisasi bagikan sayur yang tak diberi
bumbu penyedap. Mereka yang telat dalam menyelesaikan studi tentu punya alasan
lain, salah satu faktornya adalah kendala biaya.
Di kampus swasta, tidak
sedikit duit yang di butuhkan, apalagi banyak kampus yang berorientasi bisnis. Sebagian mahasiswa masih
bergantung pada keluarga yang rata-rata adalah petani dan buruh. Banyak dari mahasiswa adalah
mereka yang tinggal di pelosok-pelosok desa. Untuk memudahkan akses ke kampus, mereka memilih tinggal dikos-kosan yang jaraknya lebih dekat. Bisa dibayangkan,
seorang mahasiswa mengeluarkan kocek untuk membayar kos, biaya
semester, biaya hidup dan lain-lain. Kata seorang teman, semasa kuliahnya dulu
ia memerlukan biaya paling
dibawah delapan ratus ribu rupiah dalam sebulan, padahal ia hanya anak
seorang buruh bangunan. Banyak cara yang dilakukan untuk bisa bertahan hidup
dan bisa membayar uang kuliah, salah satunya ia berkerja menjadi cleaning
service di kampusnya sendiri. Dari penghasilannya
berkerja, ia bisa menyelesaikan kuliah hingga ia tamat. Padahal program beasiswa yang sering disebut-sebut, seolah tertutup sehingga banyak mahasiswa yang tidak mengetahui.
Dahulu, saya berkeinginan besar untuk melanjutkan studi ke sebuah kampus
ternama ditanah air, kampus yang jauh lebih baik dari kampus-kampus di daerahku.
Tapi harapan itu tak terwujud sebab situasi dan konsdisi, orang tua menyarankan
untuk tidak kemana-mana. Tetapi hal itu tidak mengurungkan niat saya untuk
tetap melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Selama menjalani kuliah, beberapa
kali saya berkunjung kekampus-kampus lain dalam agenda pertemuan antar lembaga
kemahasiswaan. Saya merasakan perbedaan yang sangat mencolok dari kampus tempat saya kuliah dulu. Apalagi lingkungan kampus ku yang tidak memberi ruang untuk mengaktualisasikan
potensi yang ada pada mahasiswa. Ketersediaan fasilitas menjadi faktor penunjang,
buku bacaan menjadi langka untuk kita dapatkan, apalagi tidak adanya upaya dan
semangat baca dari para mahasiswa. Masa-masa kuliah ku dulu, tak se nikmat sekarang disaat semua fasilitas sudah mulai gampang diperoleh. Saya bisa membayangkan betapa
kurangnya ilmu yang saya dapat semasa kuliah dulu. Disana hanya ada beberapa dosen
yang bercuap-cuap pada jam kuliah. Mereka menjelaskan beberapa teori yang dikutip
dari para ahli yang sama sekali tak kutahu siapa dia. Tak lama dengan penjelasannya,
kami lalu diberi tugas presentase makalah, beberapa dosen juga rajin menjual buku
kopian. Konon, agar kami dapat memahami materi mata kuliah yang pernah
disampaikan. Padahal, isinya sama sekali tidak memikat hati untuk mau
membacanya. Beberapa kawan kuliah ku dulu tak bisa melanjutkan lagi karena
terkendala biaya-biaya tambahan dari para dosen. Tapi, apapun itu saya sangat mensyukurinya karena dengan
cepat bisa menamatkan dan secepat mungkin keluar dari kampus. Bila tidak, entah
berapa banyak yang mesti dikeluarkan hanya untuk mendapatkan pendidikan.
Mungkin benar apa yang telah dikatakan oleh Wiwin Prasetyo dalam bukunya Orang Miskin Di Larang Sekolah. Itulah bedanya kampus-kampus yang berorientasi bisnis.
![]() |
Sumber: Senja di Pantai Nirwana |
Kita mengenal mahasiswa dengan segala kemampuan yang dimiliki. Sebagian orang menganggap mereka adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi. Mahasiswa dikenal dengan kemampuannya mengolah kata-kata dengan bahasa
ilmiah, mereka juga kritis dengan bahasa ketidak adilan. Selain kuliah mereka
juga aktif berorganisasi, konon mahasiswa selalu peka terhadap masalah
dimasyarakat, banyak pula yang terlibat dalam aksi-aksi jalanan. Tetapi tidak
sedikit dari mereka juga terjebak pada konsepsi berpikir yang praktis. Hampir tak ada
yang punya kemampuan untuk mengolah potensi yang dimiliki untuk bisa menjadi
diri sendiri. Kita masih menggunakan cara-cara lama, untuk melakukan perubahan mesti
dengan aksi-aksi kekerasan, lempar batu, atau berbenturan dengan
pengamanan saat berunjuk rasa. Padahal kita masih punya cara-cara lain yang
elegan sebagai cerminan masyarakat kampus yang berintelektual. Perubahan yang
itu mestinya mulai dari dalam diri seorang mahasiswa, kelompok dan lingkungan
kampus. Kampus menjadi penting bila nuansa ilmiah dibentuk dari para mahasiswa. Didalam kampus, ada banyak lembaga kemahasiswaan untuk mengorganisir kelompok-kelompok
diskusi yang bisa melahirkan banyak gagasan. Sayangnya kampus-kampus didaerah saya, suasana
seperti itu sudah jarang kita jumpai. Banyak dari mahasiswa lebih sibuk mencari
sesuatu yang pasti dan bernilai materi, mereka lebih sering mengikuti ajang
fashion show, kerumah bernyanyi, atau sekedar nongkrong ditempat-tempat
hiburan. Kampus menjadi gersang dari keilmuan, tanahnya menjadi tandus dan
tidak bisa ditumbuhi banyak pohon-pohon gagasan. Kampus ibarat pohon besar yang tidak lagi menjadi rimbun bagi setiap mahasiswa yang mengengenyam pendidikan.
Baubau, 21 September 2014