Sunday, September 21, 2014

Kampus Yang Gersang



Pendidikan menjadi sangat penting dalam kehidupan kita, ini berarti setiap manusia berharap untuk selalu berkembang dalam hal pendidikan. Makanya, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Sejak kecil, pendidikan kita sudah dapat dari lingkungan keluarga mulai dari latihan membaca, menulis, dan menghitung. Pendidikan menjadi hal yang wajib dan modal dasar untuk menggapai masa depan yang gemilang. Secara formal, memperoleh pendidikan kita mesti memulainya dari pendidikan dasar (SD), menegah (SMP), menengah atas (SMA), sampai bisa melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Dahulu dikampungku, tak banyak yang bisa melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Disamping keterbatasan ekonomi juga belum ada pilihan jurusan yang ingin dituju saat itu. Itulah alasan sehingga banyak yang memilih untuk kuliah keluar pulau ini. 

Seiring dengan perkembangan, saat ini kampus sudah mulai memberi banyak ruang bagi yang ingin melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi. Kini, kampus sudah menjamur dikotaku, pelajar yang sudah menamatkan studinya bisa langsung medaftar sesuai dengan pilihan jurusan yang dituju. Kampus di daerahku, selain mengajak kita untuk tidak bepergian jauh, juga bisa menghemat biaya kuliah. Sebab kuliah di luar daerah biayanya relatif cukup besar ketimbang kuliah dikampung sendiri yang biayanya lebih terjangkau. Keberadaan mahasiswa di kota ini cukup mewarnai dinamika perkembangan daerah, para kaum intelek itu sudah banyak berkontribusi kepada daerah. Mereka banyak melakukan fungsi kontrol pada setiap kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan keinginan masyarakat banyak. Ketika pemerintah sudah tidak memihak kepada rakyatnya, biasanya unjuk rasa adalah solusi untuk melakukan setiap perbaikan kinerja pemerintah yang dinilai salah. Kuliah menjadi hak dan membayar iuran semester adalah kewajiban dari setiap mahasiswa. Tak sedikit dari mereka yang memaknai kuliah adalah mendapatkan pekerjaan, ada pula yang hanya ingin memperoleh ijazah atau memiliki gelar kesarjanaan saja. Tak banyak dari mahasiswa yang memanfaatkan masa-masa kuliah untuk memperoleh pengetahuan, beroganisasi atau membangun jejaring pertemanan. Sebagian orang berpendapat, jika berorganisasi akan menghabat perkuliahan. Banyak mahasiswa yang kuliahnya lama dampak dari berorganisasi, bahkan ada yang tak melanjutkan kuliah. Bagi saya, kuliah tanpa organisasi bagikan sayur yang tak diberi bumbu penyedap. Mereka yang telat dalam menyelesaikan studi tentu punya alasan lain, salah satu faktornya adalah kendala biaya.

Di kampus swasta, tidak sedikit duit yang di butuhkan, apalagi banyak kampus yang berorientasi bisnis. Sebagian mahasiswa masih bergantung pada keluarga yang rata-rata adalah petani dan buruh. Banyak dari mahasiswa adalah mereka yang tinggal di pelosok-pelosok desa. Untuk memudahkan akses ke kampus, mereka memilih tinggal dikos-kosan yang jaraknya lebih dekat. Bisa dibayangkan, seorang mahasiswa mengeluarkan kocek untuk membayar kos, biaya semester, biaya hidup dan lain-lain. Kata seorang teman, semasa kuliahnya dulu ia memerlukan biaya paling dibawah delapan ratus ribu rupiah dalam sebulan, padahal ia hanya anak seorang buruh bangunan. Banyak cara yang dilakukan untuk bisa bertahan hidup dan bisa membayar uang kuliah, salah satunya ia berkerja menjadi cleaning service di kampusnya sendiri. Dari penghasilannya berkerja, ia bisa menyelesaikan kuliah hingga ia tamat. Padahal program beasiswa yang sering disebut-sebut, seolah tertutup sehingga banyak mahasiswa yang tidak mengetahui.

Dahulu, saya berkeinginan besar untuk melanjutkan studi ke sebuah kampus ternama ditanah air, kampus yang jauh lebih baik dari kampus-kampus di daerahku. Tapi harapan itu tak terwujud sebab situasi dan konsdisi, orang tua menyarankan untuk tidak kemana-mana. Tetapi hal itu tidak mengurungkan niat saya untuk tetap melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Selama menjalani kuliah, beberapa kali saya berkunjung kekampus-kampus lain dalam agenda pertemuan antar lembaga kemahasiswaan. Saya merasakan perbedaan yang sangat mencolok dari kampus tempat saya kuliah dulu. Apalagi lingkungan kampus ku yang tidak memberi ruang untuk mengaktualisasikan potensi yang ada pada mahasiswa. Ketersediaan fasilitas menjadi faktor penunjang, buku bacaan menjadi langka untuk kita dapatkan, apalagi tidak adanya upaya dan semangat baca dari para mahasiswa. Masa-masa kuliah ku dulu, tak se nikmat sekarang disaat semua fasilitas sudah mulai gampang diperoleh. Saya bisa membayangkan betapa kurangnya ilmu yang saya dapat semasa kuliah dulu. Disana hanya ada beberapa dosen yang bercuap-cuap pada jam kuliah. Mereka menjelaskan beberapa teori yang dikutip dari para ahli yang sama sekali tak kutahu siapa dia. Tak lama dengan penjelasannya, kami lalu diberi tugas presentase makalah, beberapa dosen juga rajin menjual buku kopian. Konon, agar kami dapat memahami materi mata kuliah yang pernah disampaikan. Padahal, isinya sama sekali tidak memikat hati untuk mau membacanya. Beberapa kawan kuliah ku dulu tak bisa melanjutkan lagi karena terkendala biaya-biaya tambahan dari para dosen. Tapi, apapun itu saya sangat mensyukurinya karena dengan cepat bisa menamatkan dan secepat mungkin keluar dari kampus. Bila tidak, entah berapa banyak yang mesti dikeluarkan hanya untuk mendapatkan pendidikan. Mungkin benar apa yang telah dikatakan oleh Wiwin Prasetyo dalam bukunya Orang Miskin Di Larang Sekolah. Itulah bedanya kampus-kampus yang berorientasi bisnis.
Sumber: Senja di Pantai Nirwana
Kita mengenal mahasiswa dengan segala kemampuan yang dimiliki. Sebagian orang menganggap mereka adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi. Mahasiswa dikenal dengan kemampuannya mengolah kata-kata dengan bahasa ilmiah, mereka juga kritis dengan bahasa ketidak adilan. Selain kuliah mereka juga aktif berorganisasi, konon mahasiswa selalu peka terhadap masalah dimasyarakat, banyak pula yang terlibat dalam aksi-aksi jalanan. Tetapi tidak sedikit dari mereka juga terjebak pada konsepsi berpikir yang praktis. Hampir tak ada yang punya kemampuan untuk mengolah potensi yang dimiliki untuk bisa menjadi diri sendiri. Kita masih menggunakan cara-cara lama, untuk melakukan perubahan mesti dengan aksi-aksi kekerasan, lempar batu, atau berbenturan dengan pengamanan saat berunjuk rasa. Padahal kita masih punya cara-cara lain yang elegan sebagai cerminan masyarakat kampus yang berintelektual. Perubahan yang itu mestinya mulai dari dalam diri seorang mahasiswa, kelompok dan lingkungan kampus. Kampus menjadi penting bila nuansa ilmiah dibentuk dari para mahasiswa. Didalam kampus, ada banyak lembaga kemahasiswaan untuk mengorganisir kelompok-kelompok diskusi yang bisa melahirkan banyak gagasan. Sayangnya kampus-kampus didaerah saya, suasana seperti itu sudah jarang kita jumpai. Banyak dari mahasiswa lebih sibuk mencari sesuatu yang pasti dan bernilai materi, mereka lebih sering mengikuti ajang fashion show, kerumah bernyanyi, atau sekedar nongkrong ditempat-tempat hiburan. Kampus menjadi gersang dari keilmuan, tanahnya menjadi tandus dan tidak bisa ditumbuhi banyak pohon-pohon gagasan. Kampus ibarat pohon besar yang tidak lagi menjadi rimbun bagi setiap mahasiswa yang mengengenyam pendidikan.


Baubau, 21 September 2014

0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts