Sumber: Foto Yadi La Ode |
***
Suatu ketika permasuri menyuruh sang anak La Ode Manarfa, ia diminta untuk menanam sebuah pohon di halaman rumah. Namun saat itu La Ode Manarfa yang baru saja tiba mengatakan kalau yang akan dilakukannya itu sangat susah. Sontak membuat sang ibu geram dan marah, mestinya kata itu tak keluar dari sang anak. Tak ada kata susah selagi semua dijalankan dengan niat dan usaha yang kuat. Sebuah prinsip yang tertanam dalam keluarga sultan saat itu.
![]() |
Sumber: ujungangin.blogspot.com |
Sejak kecil, La Ode Manarfa tumbuh dan besar dari keluarga terdidik dan disiplin. Ibunya selalu memberi ketegasan dalam mendidiknya. Hal itu membuat ia berbeda dengan anak-anak raja yang lain, ia tak menunjukan sikap manja kepada siapa pun. Sejak kecil, La Ode Manarfa sudah di latih untuk hidup mandiri. Meski ia adalah anak dari seorang sultan. Baginya, menjadi seorang anak sultan tidaklah harus berdiam dan duduk nyaman di dalam istana. Ia harus menunjukkan kalau dirinya juga sama dengan anak-anak lain pada umumnya dan berkerja membantu keluarga. Dari sikapnya dan prilakunya, ia menjadi contoh dari anak-anak raja lain.
Masa-masa kecil La Ode Manarfa sebagai anak sultan telah memberikan banyak pelajaran tentang pentingnya saling menghormati dan saling menghargai di mana pun ia berada. Pelajaran itu banyak di dapat saat masih bersama sang ayah. Ketika itu, ayahnya adalah sultan dan Ibunya adalah seorang permaisuri. Ada banyak pesan-pesan yang di tinggalkan dan diturunkan dari sang ayah untuk kemudian di dijalankan kembali oleh sang anak La Ode Manarfa. Itu di mulai sejak ia menempuh pendidikan di luar Buton sampai ia kembali dengan mendapatkan gelar sarjana dari negeri Belanda.
Meski ia belajar dan menempuh pendidikan luar negeri, ia tetap menjaga nilai-nilai kebutonan itu. Ia masih fasih berbahasa wolio, bahasa persatuan dari kesultanan Buton. Identitas kebutonan itu tetap melekat pada dirinya. Justru sepulangnya dari Belanda, ia banyak membangun sumber daya manusia lewat pendidikan. Ia menjadi satu-satunya putra Buton yang mendapat kesempatan untuk belajar sampai keluar ke luar negeri. Tentu semua itu tak terlepas dari didikan yang pernah di berikan semenjak ayah dan ibu masih bersamanya. Ia menangkap semua pesan yang di berikan kedua orang tuanya ketika ia masih kecil dulu. Hingga akhirnya pohon yang dulu ia tanam, kini ia sudah bisa memetik hasilnya.
Bahwa apa yang dahulu ia keluhkan ketika sang ibu menyuruhnya untuk menanam sebuah pohon di halaman rumah adalah suatu pembelajaran berharga yang ia dapatkan. Jika sebenarnya tidak ada yang susah selagi itu bisa di coba dan dimulai dengan niat yang baik. Sederet pengalaman yang pernah di lewati hingga akhirnya ia di angkat untuk menggantikan sang ayah sebagai sultan. La Ode Manarfa di beri mandat untuk melanjutkan tampuk kepemimpinan di kesultanan Buton.
Di masa ia diangkat menjadi Sultan, La Ode Manarfa diberi mandat untuk melanjutkan roh kepemimpinan kultural yang disaksikan oleh mantan pejabat lembaga kesultanan. Sebelumnya ia bertanya, “Mau diserahkan kepada siapakah tongkat ini? Sebab, yang mempunyai kewenangan inikan sudah bubar duluan (siolimbona). Sementara tongkat inikan masih tetap di tangan Sultan sebelumnya. Kalau ini di bawa keliang kubur, maka habislah simbol kultural kita”. Soal pro kontra pengangkatannya menjadi Sultan memang menuai kontroversi, tetapi pada saat itu kepada siapa lagi yang dianggap pantas dan layak untuk melanjutkan kepemimpinan di kesultanan.
***
Bubarnya siolimbona yang saat itu bagian dari lembaga kesultanan Buton dikarenakan faktor proses indonesianisasi terjadi di Buton dan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kemudian berimbas pada lembaga kesultanan yang secara perlahan mulai terkikis dan bubar. Pada akhirnya, satu-satu nya lah sultan yang berjalan dalam pemerintahan kesultanan Buton. Cerita tentang La Ode Manarfa yang diangkat menjadi Sultan sebagaimana Safrudin Prawinanegara menerima mandat/memo dari Bung Karno di bukit tinggi.
Sumber: Foto Yadi La Ode |
Pengangkatan dirinya sebagai sultan hanyalah kebetulan jika beliau adalah putra Sultan sebelumnya La Ode Flaihi. Peran La Ode Manarfa semasa hidupnya, sebagaimana ia memereankan dirinya sebagai simbol kultural atau sebagai maskot buton keluar dan sebagai pengintegrasi kedalam. Kabar soal pengangkatannya sebagai Sultan memang keluar dari tata nilai, sebab beliau tidak di “Falii” dan tidak di payungi. Tapi sekali lagi, karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan, mau tak mau ia harus melanjutkan tongkat kepemimpinan kesultanan Buton.
Semenjak dirinya menjabat di kesultanan, banyak stigma negatif yang di dapat. Namun ia tetap kokoh dan selalu meresponnya dengan baik, ia mau menerima siapa saja dan menganggap mereka adalah bagian dari keluarga. Ia tahu kalau dirinya adalah seorang sultan yang mesti menjadi telandan dan siap membantu bagi siapa saja yang membutuhkannya. Pelajaran itu didapat ketika melihat sosok ayahnya La Ode Falihi saat menjabat sebagai sultan. Ada banyak yang sudah ia petik dari setiap pembelajaran yang di berikan oleh sang ayah untuk kemudian di jalankan dengan baik di tengah-tengah masyarakat Buton.
Sosok La Ode Manarfa tidak terlepas dengan kehidupannya di keluarga. Kepada anak-anak, ia memberi perhatian penuh pada pendidikan. Meski banyaknya benturan yang di dapatkan, namun ia tak pernah mundur dan itu harus di lewati. Semangatnya tak pernah patah, apapun masalah yang di hadapi justru itu menjadi cambuk baginya. Jiwa itu terus bergelora, tak ada rasa putus asa dari seorang pemimpin. Baginya, menjadi seorang sultan adalah sebuah tanggung jawab besar yang didalam nya ada kejujuran. Pesan-pesan itu kembali ia berikan di tengah-tengah keluarganya, la Ode Manarfa pernah berpesan pada salah seorang putrinya “Jika kamu kedepan bisa menjadi seorang pemimpin yang pertama kau harus lakukan adalah Sayangi Rakyatmu, dan kedua adalah Jangan Kau Ambil Hak-Hak Rakyatmu”.
Ketokohan La Ode Manarfa tidak hanya di mata keluarga, namun di masyarakat pun ia sangat di hormati. Itulah bentuk pengabdian dan cara hidup bermasyarakat yang ia tanamkan sejak masih berstatus sebagai anak sultan. Di masa tuanya, ia lebih banyak menghabiskan hari-harinya di tanah Buton. Ia tak pernah melewatkan satu acara pun di masyarakat, semua undangan (pokemba) pasti ia selalu menghadirinya. Itulah kecintaannya terhadap budaya dan bentuk penghargaan dari setiap masyarakat yang telah mengundangnya. Meski kondisinya tak sekuat dulu lagi dan mulai sakit-sakitan, ia masih mempunyai semangat untuk terus berkerja.
Di tengah kering kerontangnya kepercayaan masyarakat terhadap setiap pemimpin, ada banyak yang mesti kita teladani dari sosok La Ode Manarfa. Ia sudah memberi kontribusi lewat pendidikan, Kebudayaan, Politik, dan Ekonomi. Itulah sosok dari La Ode Manarfa semasa ia mengabdikan diri sebagai anak sultan hingga ia menggantikan sang ayah sebagai sultan Buton.
(Dalam proses penyusunan Biografi La Ode Manarfa)
"Tongkat Putra Sultan"
Baubau, 14 Desember 2014
0 komentar:
Post a Comment