Thursday, January 29, 2015

Ketika Dokter Menjadi Monster

BAGAIMANA jadinya, ketika seseorang yang sedang dijatuhi sakit dan membutuhkan perawatan medis rumah sakit hanya di biarkan saja tanpa ada penanganan serius dari sang dokter?, atau tiba-tiba saja pihak rumah sakit menyampaikan kalau ruangan telah penuh dan sang dokter sedang tidak berkerja? Sementara kalau di lihat, masih ada beberapa ruangan kosong di dalam sana dan melihat para dokter itu sibuk berkerja di klinik pribadi masing-masing. Tentu, nasib yang menimpa pasien-pasien miskin ini jauh dari pelayanan yang sebenarnya. Mereka tidak dapat merasakan pelayanan yang adil dari rumah sakit. Bahkan, perlakuan kasar kerap mereka tujukan kepada pasien-pasien miskin. Entah, mungkin saja setiap pasien miskin rumah sakit itu melihat dokter layaknya seorang monster yang justru menjadi ancaman dan menjadi takut setiap kali mereka hendak berkonsultasi, atau mungkin saja mereka memilih pengobatan alternatif ketimbang harus mengeluarkan banyak biaya untuk kerumah sakit dan bertemu monster-monster jahat itu. 
Saya pun melihatnya demikian. 

***

SAAT itu, beberapa media nasional dan lokal menayangkan pemberitaan soal seorang pasien Rumah Sakit Umum Daerah Kota Baubau yang di simpan di kamar mayat. Pasien itu bernama La Ode Halimu (60), lelaki renta asal Desa Wakangka Kapuntori Kabupaten Buton yang mengidap penyakit diabetes. Kakinya luka parah dan terus mengeluarkan banyak darah, namun anehnya ia hanya di beri obat luar dan dililit perban saja. Lelaki itu terbaring kesakitan dan tak berdaya di depan pintu masuk kamar mayat rumah sakit. 

Sumber: Ilustrasi Monster (wikipedia.org)
Dari pemberitaan yang ada, pihak rumah sakit sengaja menyimpan pasiennya di ruangan itu dengan alasan kamar rawat inap telah penuh. Apalagi pihak rumah sakit menganggap pasien tersebut mengalami gangguan jiwa. Tentu, pernyataan pihak rumah sakit bahwa ruangan penuh sungguh adalah sebuah alasan agar La Ode Halimu tak di rawat di dalam kamar inap layaknya pasien lain. Herannya, ketika di tanya oleh awak media soal keberadaan pasien tersebut, pihak rumah sakit melalui Humas mengatakan kalau pasien itu mengalami gangguan jiwa dan tak tahu soal penyakit sebenarnya yang dialami La Ode Halimu. Pihak rumah sakit meminta kepada media yang meliput untuk tidak membuka masalah ini lebih jauh. Ini memang ironi, di tengah kebebasan pers dan keterbukaan publik. Masih saja ada yang mencoba menyembunyikan keburukan pelayanan kepada masyarakat.

Sudah beberapa hari ia terbaring di depan pintu kamar mayat, namun tak ada satupun keluarga yang datang menjenguknya. Menurut salah satu sumber, sebelumnya ia di temukan oleh seseorang dengan kondisi memprihatinkan. Ia adalah Lurah di wilayah itu. Sebelumnya, ia hanya berkoordinasi dengan pihak Dinas Sosial dan meminta petunjuk untuk di lakukan penanganan terhadap La Ode Halimu. Pihak Dinas Sosial memang mengantarnya sampai ke rumah sakit, tetapi mereka hanya menyimpannya lalu pergi meninggalkan begitu saja. Hari pertama saat di rumah sakit, La Ode Halimu memang di rawat dalam ruang inap hingga akhirnya di pindahkan karena di anggap gila dan mengganggu kenyamanan pasien lain. Ia disimpan di atas teras ruangan kamar mayat. Sontak, kabar itu memicu reaksi banyak pihak dan mempertanyakan standar pelayanan rumah sakit. Saya hampir tak menyangka, begitu teganya petugas medis memperlakukan pasiennya dengan tak manusiawi. Seseorang yang sedang sakit dan membutuhkan bantuan dari jasa dokter justru di biarkan terlantar begitu saja. 

Keesokan harinya, saya mencoba mengunjungi rumah sakit tempat La Ode Malihu konon dirawat. Di balik kemewahan nya, hanya ada cerita buruk dari pelayanan rumah sakit. Pantas saja, ada banyak orang yang memilih untuk berobat secara tradisional. Apalagi biaya obat-obatan yang harganya sangat mahal. Catatan buruk dari pelayanan rumah sakit juga pernah terjadi beberapa tahun silam. Misalnya pada kasus yang menimpa Suparman bin Sairun alias Mbah Edi (63) yang dibuang dari rumah sakit dr. A. Dadi Tjokrodipo (RSUDDT) Bandar Lampung dengan alasan yang tidak jelas. Saat itu kondisinya sangat memprihatinkan. Lalu pada satu kasus yang pernah dialami oleh pasien di RSUD kota Baubau tahun 2009 lalu. Seorang ibu hamil yang hendak melahirkan menjadi salah satu pasien rawat inap rumah sakit. Setelah bebarapa hari dirawat diruang bersalin, ibu itu akhirnya dikaruniai seorang anak laki-laki. Namun sayangnya kebahagiaan itu tidak langsung mereka rasakan setelah petugas memberikan nota tagihan atas biaya yang harus diselesaikan selama berada dirumah sakit. Melihat total dari biaya melahirkan, harga obat dan nginap. Sontak, ibu yang belum lama melahirkan itu bingung dengan jumlah yang melangit. Niat sang ibu untuk membawa pulang buah hatinya terhenti karena harus melunasi ongkos rumah sakit. Moh. Chalik nama si bayi mungil itu, terpaksa ia harus bertahan didalam tabung bayi ruang persalinan dan terpisah dari ibunya untuk sementara waktu.

Keluarga Moh.Chalik memang tergolong warga yang kurang mampu sehingga biaya rumah sakit tak mampu mereka bayar, pihak rumah sakit waktu itu sengaja menahan bayi dari ibu Moh.Chalik sebagai jaminan agar bisa melunasi semua biaya yang dibebankannya. Ayah Moh. Chalik hanyalah tukang ojek yang bermodalkan motor rekannya, pekerjaannya menjadi tukang ojek dengan berpenghasilan rendah sedangkan isterinya tak mempunyai pekerjaan tetap. Kehidupan keluarga Moh. Chalik memang serba kekurangan, mungkin kebahagiaan mereka peroleh hanya saat setelah bayi mungil pertama yang dilahirkannya sehat dan selamat, bayi yang seharusnya mendapat kehangatan dari pelukan sang ibu, saat itu harus terpisah dari ibunya. Bayi itu terpaksa harus dipisahkan karena dikhawatirkan akan dibawa pulang, bayinya menjadi jaminan atas biaya persalinan. Andai saja bayi mungil itu mengetahui kalau dirinya menjadi jaminan atas biaya rumah sakit, mungkin saja dia memilih untuk tidak lahir ditempat itu. 

***

SAAT itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Baubau menjadi pendamping keluarga Moh. Chalik dan langsung melakukan investigasi. Dari keterangan yang diperoleh, benar mereka menjadi "tawanan" dari pihak rumah sakit. “kita belum bisa pulang, kecuali kita kasih lunas dulu biaya persalinan ditambah biaya nginap disini, bisa kita pulang tapi anakku dititip dulu”, kata sang ibu. Mendengar pernyataan itu, LBH Baubau langsung melakukan upaya mediasi bersama pihak rumah sakit. Dari proses mediasi, pihak rumah sakit membenarkan jika si pasien memang tak sanggup untuk menebus biaya administrasi persalinan selama berada disini, "olehnya itu kita tahan dulu bayinya", kata sang dokter.

Sumber: kangagung.blogdetik.com
Mendengar jawaban itu, LBH Baubau sangat menyayangkan kebijakan rumah sakit yang tak memberi toleransi waktu bagi si pasien agar bisa melunasi semua biaya yang dibebankannya, LBH Baubau mengambil inisiatif dengan melakukan penggalangan dana yang di kumpulkan dari masyarakat untuk membantu biaya persalinan keluarga Moh.Chalik. Penggalangan dana itu dilakukan beberapa hari untuk mencukupi biaya persalinan ibu Moh.Chalik dan berkat bantuan masyarakat. Hasil yang didapat cukup untuk membebaskan bayi mungil Moh. Chalik dari "penyanderaan" pihak rumah sakit. Langkah ini diambil sebagai bentuk keprihatinan kita atas warga miskin yang tak mampu membayar ongkos rumah sakit.

Kejadian yang menimpa Suparman bin Sairun alias Mbah Edi, pasien yang dibuang dari rumah sakit dr. A. Dadi Tjokrodipo (RSUDDT) di Bandar Lampung, Keluarga Moh. Chalik yang disandra oleh pihak rumah sakit, Ainal, bayi penderita gizi buruk, dan La Ode Halimu seorang kakek yang disimpan di depan kamar mayat RSUD Kota Baubau adalah sedikit dari banyaknya persoalan pelayanan rumah sakit yang tak memberi ruang bagi warga miskin untuk berobat. Benar apa yang pernah di katakan Eko Prasetyo dalam bukunya “Orang Miskin Dilarang Sakit”. Rumah sakit lebih mengutamakan pasien yang mempunyai kapital lalu mengabaikan hak orang miskin dalam menerima pelayanan kesehatan. Bukankah negara sudah menjamin setiap warga negaranya untuk mendapatkan kesehatan yang layak.



Baubau, 29 Januari 2015

0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts