BERAWAL dari perjalanan wisata kami beberapa pekan lalu di hutan Lambusango yang berada di Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara. Saat itu, kami sempat berada di dalam hutan belantara ini. Rencananya kami akan melakukan perjalanan dan mendaki ke sebuah tempat yang oleh masyarakat sekitar menyebutnya Padang Kuku. Lokasinya berada diatas bukit hutan Lambusango, hutan yang menjadi jantung pulau Buton. Meski tak setinggi bukit-bukit di daerah lain. Namun ekosistem di hutan ini mirip dengan wilayah sub-Alpin yang berada pada ketinggian diatas 2000 m. Bukit Padang Kuku memiliki pesona alam yang memukau. Layak untuk dijadikan objek wisata bagi mereka yang suka berpetualang di alam bebas.
Hari itu, kami bersepakat untuk mengunjungi kembali hutan Lambusango. Tidak lain adalah karena rasa penasaran kami dengan bukit Padang Kuku. Sebab, saat pertama kali datang dan berencana untuk mendaki ke tempat itu, kami salah dalam mengambil jalan yang pada akhirnya tersesat. Namun, pada kali kedua ini kami berhasil menemukan jalan untuk sampai ketempat itu. Kami di bantu oleh masyarakat setempat. Mereka tidak lain adalah kelompok pecinta alam yang hobi berpetualang. Banyak dari mereka masih berusia remaja dan masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Mereka menamakan diri Kelompok Pecinta Alam Tarsius. Nama Tarsius sendiri diambil dari nama hewan endemik Sulawesi yang juga hidup di alam hutan Lambusango. Keberadaan dari kawan-kawan itu tentu sangat membantu kami. Apalagi mereka tahu kami pernah gagal dalam melakukan pendakian ke bukit itu beberapa waktu lalu.
***
Sumber: seorang nenek sedang menikmati senja dari atas bukit |
Sumber: pohon Santigi yang tumbuh di bukit Padang Kuku |
Hari sudah memasuki sore. Saya bersama bang Udin dan Afank berangkat dari Kota Baubau menuju Kapuntori salah satu kecamatan yang berada di timur pulau Buton. Cuaca hari itu cukup bersahabat, meski sempat tertahan beberapa saat karena hujan menghadang perjalanan kami. Dengan mengendarai sepeda motor, kami tempuh jalan beraspal itu sepanjang 48 km dengan lama perjalanan 1 jam. Saat tiba, kami lalu bertemu dengan salah seorang kawan yang selama ini membina adik-adik itu dikelompok pecinta alam. Ia adalah Bade (26), seorang mahasiswa asal Kapuntori yang hobi berpetualang. Berangkat dari hobinya, ia lalu membentuk kelompok yang beranggotakan pelajar di desanya. Cukup lama ia memulai aktivitasnya sebagai ketua kelompok. Melalui pendidikan dan pelatihan, Ia telah mengajarkan banyak hal tentang pentingnya menjaga dan melestarikan alam. Tak lama kami bercerita dengannya, kami pun lalu di antar untuk sampai ke Padang Kuku.
Di temani oleh Resa, Alfin, dan Putra. Ketiganya adalah anggota dari kelompok Pecinta Alam Tarsius. Tak banyak peralatan yang kami bawa, itu karena persiapan kami tidak untuk bermalam. Berbekal Senter, Parang, dan Air Mineral, kami mulai memasuki hutan Lambusango. Derasnya aliran sungai, menyambut kami saat memasuki kawasan hutan. Jalan mendaki dan curam menanti untuk segera dilewati. Jalanan agak sedikit becek sebab hujan belum lama berlalu. Satu per satu dari kami mulai menarik napas dan merasa keletihan. Cukup lama kami berjalan dengan posisi mendaki. Otot-otot kaki mulai kencang dan keringat pun mulai bercucuran. Sesekali kami harus memutuskan untuk beristrahat sejenak untuk mengembalikan stamina. Bayang-bayang untuk sampai ke Padang Kuku terus memacu adrenalin kami agar terus bergerak, bergerak untuk masuk kedalam semak belukar dengan harapan akan sampai di Padang Kuku.
Hampir dua jam lamanya perjalanan yang kami lakukan, rasa dahaga yang sejak tadi kami rasakan perlahan mulai hilang. Sebab, semua terbayarkan dengan keindahan suasana alam dari atas puncak bukit. Akhirnya, kami pun tiba. Pesona alam dari atas bukit Padang Kuku sangat lah indah. Alam membentang luas, pepohonan berbaris rapi di bawah sana, laut yang memerah bias sang surya, tak lama lagi akan tenggelam digaris horison. Seorang nenek pencari rotan yang kami temui di tempat itu juga sedang menikmati panorama dari atas puncak bukit. Ia lalu mengambil sesuatu dari dalam bakulnya. Di bukanya wadah kecil itu yang berisi Kambuse dan Kaholeo lalu disantap dengan lahap. Kata sang nenek, setelah seharian menjelajahi hutan mencari rotan, di atas bukit ini ia selalu menyempatkan waktu untuk beristrahat sejenak sampai matahari sudah benar-benar tenggelam. Menurut sang nenek, mulanya tempat ini di temukan oleh warga desa yang hendak mencari madu. Mereka berjalan menyusuri hutan sampai ke Lasalimu dan Pasarwajo Ibukota Kabupaten Buton. Hingga akhirnya menjadi buah bibir dan ditahu oleh masyarakat. Kusempatkan untuk mengabadikan beberapa momen sebelum gelap. Maklumlah, resolusi kamera tidak begitu baik sehingga pengambilan gambar butuh penyesuaian cahaya.
Sumber: dalam perjalanan menuju bukit padang kuku |
Di atas bukit Padang Kuku, kulihat ada banyak rumput yang tumbuh menghiasi tempat ini. Jenis pohon Santigi juga menambah keunikan. Pohon Santigi terlihat menyerupai Bonsai, daunnya kecil-kecil dan tebal. Seorang peneliti pernah menjelaskan, bahwa Santigi umumnya tumbuh di dataran rendah yang dekat dengan pantai atau laut. Nah uniknya, kali ini saya melihat jenis tanaman ini tumbuh di sekitar Bukit Padang Kuku dengan ketinggian sekitar 350 meter dari permukaan laut. Kami terkesima melihat banyaknya pohon Santigi tumbuh subur diatas Bukit Padang Kuku.
Mendengar nama bukit, awalnya kami mengira kalau Padang Kuku adalah sebuah tempat dengan hamparan rumput hijau yang menyerupai kuku. Namun pengertian itu nampaknya keliru. Kami sudah melihat langsung, kalau tak ada ciri-ciri kemiripan dengan nama bukit yang dimaksud. Namun, peniliti dari Operation Wallacea juga pernah menjelaskan melalui catatannya. Bahwa Padang Kuku merupakan ekosistem hutan yang unik. Terletak pada ketinggian 350 meter diatas permukaan laut. Hutan ini memiliki pepohonan kerdil dan miskin keragaman jenis. Tegakkan hutan di Padang Kuku berbeda nyata dengan kondisi sekitarnya yang merupakan hutan dataran rendah dengan pohon tinggi dan besar. Ilmuwan menggolongkan hutan ini sebagai hutan berawan. Seringnya penutupan awan karena posisinya yang terbuka dan menghadap laut lepas dan memiliki laju penguapan yang tinggi, di duga telah mengganggu proses fotosintesa. Sehingga terbentuklah flora yang unik.
Senja telah berlalu dan malam pun tiba. Tidak berapa lama kami berada diatas bukit. Gelap gulita sudah membatasi jarak pandang. Kami memutuskan untuk hengkang dari Padang Kuku, kembali turun menyusuri jalan di tengah padatnya pepohonan malam itu. Kami salut dengan para pemandu dari kelompok pecinta alam Tarsius. Nampaknya, mereka cukup terlatih dan mengetahui banyak hal tentang hutan. Para tarsius-tarsius muda itu telah menyatu dengan alam, belajar, dan menemukan banyak hal tentang pentingnya menjaga kelestarian alam. Sangat kontras dengan remaja-remaja masa kini. Mereka lebih hobi berada diatas motor lalu melaju kencang diatas sirkuit balap, atau kepada mereka yang terkena virus cincin batu dan mengabaikan dampaknya terhadap kerusakan lingkungan.
Kita sangat berharap, pengetahuan tentang alam bisa didapat sedini mungkin. Mungkin sekolah tak bisa memberikan banyak pengetahuan tentang pentingnya hutan bagi penghidupan liar. Namun, kita bisa mendapatkannya lewat banyak media di alam raya. Sebelum semua akan terjadi dan menjadi musibah bagi seluruh penghuni bumi.
Baca Juga: Padang Kuku di Hutan Lambusango
Buton, 24 Maret 2015
Baca Juga: Padang Kuku di Hutan Lambusango