BEBERAPA jalan dalam kota, kulihat deretan bendera sebuah organisasi. Bendera yang di dominasi warna hijau dan hitam itu berlambangkan HMI. HMI adalah akronim dari Himpunan Mahasiswa Islam yang berdiri sejak 1947 lalu di Yogyakarta. Salah seorang pendirinya adalah Lafran Pane. Sejak berdiri, ada ribuan kader yang terhimpun dalam organisasi ini. Secara struktural, Pengurus Besar HMI bertempat di Jakarta dan di bantu oleh Badan Koordinasi serta cabang yang berada ditiap-tiap daerah. HMI adalah organisasi kemahasiswaan yang bernafaskan islam.
***
MALAM itu, tengah berlangsung pembukaan kegiatan Latihan Kader Dua (LK 2) oleh Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Baubau. Kegiatan berskala nasional itu untuk pertama kalinya setelah sembilan tahun puasa. Pernah beberapa kali diadakan, namun kegiatan itu hanya sampai tingkat regional. Di acara seremonial pembukaan kegiatan, terdengar lagu kebangsaan indonesia raya dan kemudian dilanjutkan dengan lagu HYMNE HMI yang menambah kemeriahan acara.
Dalam kegiatan itu, peserta mengikuti pelatihan selama tujuh hari. Pesertanya adalah utusan dari masing-masing cabang. Mereka berasal dari cabang Ambon, Berau, Kendari, Gowa Raya, Kolaka, Makassar dan Baubau sendiri. Saya dipercayakan oleh pengurus cabang sebagai steering comite untuk mensukseskan kegiatan tersebut. Saya tidak sendiri disitu, ada beberapa orang alumni yang juga terlibat. Steering comite bersama panitia sudah merencanakan dan merancang kegiatan tersebut satu bulan sebelumnya. Panitia pelaksana berkerja untuk menyiapkan segala keperluan menyangkut hal-hal teknis, sementara kami ditugaskan untuk menyusun tema dan materi-materi pelatihan. Materi yang disajikan tetap mengacu pada NDP atau nilai-nilai dasar perjuangan. NDP itu semacam kurikulum yang menjadi panduan pelatihan setiap pengkaderan di HMI selama ini.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRbuQxv0g1NdT_LNMauC406dlWamc1303c60k0ImTjeyQMRTgqRS4v6jDZ373-LTRSqSl6jKMOTZ3RxwPvBJMBe2WlfZ_guI8XcoSh1Xkf6D9l82_Q81cFW2Nv3pR7Mx1JBD_BoiA7PTQ/s1600/2015-04-04-14-34-33_deco.jpg)
Sumber: foto Yadi La ode
Sebelumnya, syarat untuk mengikuti latihan kader dua (LK 2) adalah telah mengikuti latihan kader satu (LK 1). Tentu, pola pengkaderan LK 1 berbeda dengan pola kader di LK 2, begitu pun di latihan kader tiga (LK 3). Menurut saya, LK 1 lebih pada pembentukan pola pikir dan pemahaman kita terhadap islam, di LK 2 kita dibentuk untuk melakukan penajaman analisis berpikir, sementar di LK 3, peserta diajak untuk masuk dalam ruang diskusi wacana-wacana global. Itu sepintas yang saya ketahui di dalam organisasi pengkaderan seperti HMI. Sebab, ruh organisasi itu ada pada proses latihan dan pengkaderannya.
Belum lama saya terlibat dan aktif didalam himpunan itu. Saya masuk dan mengikuti LK 1 sejak tahun 2008 silam, lalu melanjutkan latihan kader dua tahun 2009 di Kota Bogor Jawa Barat. Sejak aktif dan masih berstatus mahasiswa, saya dipercayakan untuk memimpin komisariat ditingkat fakultas, kemudian menjadi ketua bidang di pengurus cabang hingga masuk dalam pengurus badan koordinasi ditingkat provinsi. Namun bagi saya, semua adalah bagian dari proses pengkaderan di HMI. Tak sedikit pun yang melatarbelakangi semangat itu untuk masuk dan merebut kekuasaan.
Di periode saya saat menjadi pengurus cabang, saya pernah mengikuti Kongres HMI. Kongres itu berlangsung cukup lama, sebulan lamanya. Saya diutus untuk menjadi peserta penuh dalam kegiatan. Kegiatan itu berlangsung di Jakarta dan di hadiri seluruh delegasi cabang seluruh indonesia. Yang saya rasakan, aroma perebutan kekuasaan begitu tajam bahkan potensi konflik antara kelompok sangat rentan. Padahal, mestinya Kongres tidak hanya menjadi ruang bagi para kompetitor untuk bersaing dalam merebut kekuasaan didalam organisasi. Mestinya, Kongres dijadikan sebagai ruang untuk kembali merumuskan agenda baru, menjalankan misi dan program-programnya. Sangat ideal, jika kongres dijadikan sebagai moment untuk saling bersilaturahmi, saling bertukar pikiran untuk membicarakan wacana-wacana kebangsaan kekinian.
Potret wajah HMI saat ini justru tidak memberi dampak apa-apa terhadap masyarakat. Harapan atas cita-cita HMI menjadi tak berarti ditengah kondisi bangsa yang kian terpuruk. Masyarakat mulai tak simpati lagi dengan agen-agen pembaharu di HMI. Apa yang terjadi, mereka masih larut dalam cerita-cerita sukses para pendahulu tanpa sedikitpun mengambil banyak pelajaran dari mereka. Ironisnya, tontonan itu justru terjadi dimulai dari di pengurus besar sampai pada pengurus-pengurus didaerah. Secara perlahan, pragmatisme itu mulai merasuki setiap insan-insan HMI.
Ada kemungkinan besar, bahwa pengkaderan hanya dianggap sebagai formalitas bagi yang ingin mencari legalitas. Karena kuantitas anggotanya, karena kekuatan alumninya, atau organisasi ini cukup lama dan berpengalaman. Entahlah, kesemuanya itu hanyalah romantisme masa lalu. Tantangan yang justru terberat saat ini adalah bagaimana bisa mempertahankan eksistensi HMI di tengah kondisi moral kader yang kian merosot. Sepertinya, situasi ini telah menjadi fakta atas tindakan yang pernah dilakukan beberapa kader-kader terbaik HMI. Mulai dari terlibat dalam tindak pidana korupsi sampai kasus mesum. Kita tidak pernah mendengar lagi kata prestasi yang sudah ditorehkan oleh seorang kader, atau peran himpunan yang memberi kontribusi terhadap bangsa kita.
Di tengah situasi seperti ini, sudah seharusnya HMI bangun dari keterpurukan, sudah seharusnya HMI bangkit dan bergerak maju dan memberi sumbangsih kepada negara serta mencerdaskan kehidupan berbangsa dan melahirkan bibit-bibit baru yang berkualitas di tengah-tengah masyarakat sesuai dengan tujuan HMI "Terbinanya Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah swt".
Ini titik dimana kita merefleksi dan mau membicarkan segala kekurangan dan kelemahan, segala kesalahan yang pernah kita lakukan. Sedikit demi sedikit kita membenahinya mulai dari internal HMI itu sendri, dari keimanannya, keilmuannya, serta amalannya. Kita sudahi saja budaya konflik internal disetiap kompetisi, itu justru membuat himpunan menjadi terbagi dan kehilangan ruh. Mari kita kibarkan kembali sang hijau-hitam dan mengembalikan lagi masa-masa kejayaan HMI yang pernah tercatat dalam lembar-lembar sejarah.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjprsct363_CYcB_wElso6C1NQSho2WlFvWlEu7h4jZnn_8U6QhLvVpTqzW3RakUXNdhz3TNzpV9CKKik3HUYIAwQVK9GCoYKdYw8SSD7GWtfjA0Qtxj6Xv4zXQVGCcnWxux0GrP3_QW28/s1600/2015-04-04-14-31-44_deco.jpg)
MALAM itu, tengah berlangsung pembukaan kegiatan Latihan Kader Dua (LK 2) oleh Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Baubau. Kegiatan berskala nasional itu untuk pertama kalinya setelah sembilan tahun puasa. Pernah beberapa kali diadakan, namun kegiatan itu hanya sampai tingkat regional. Di acara seremonial pembukaan kegiatan, terdengar lagu kebangsaan indonesia raya dan kemudian dilanjutkan dengan lagu HYMNE HMI yang menambah kemeriahan acara.
Dalam kegiatan itu, peserta mengikuti pelatihan selama tujuh hari. Pesertanya adalah utusan dari masing-masing cabang. Mereka berasal dari cabang Ambon, Berau, Kendari, Gowa Raya, Kolaka, Makassar dan Baubau sendiri. Saya dipercayakan oleh pengurus cabang sebagai steering comite untuk mensukseskan kegiatan tersebut. Saya tidak sendiri disitu, ada beberapa orang alumni yang juga terlibat. Steering comite bersama panitia sudah merencanakan dan merancang kegiatan tersebut satu bulan sebelumnya. Panitia pelaksana berkerja untuk menyiapkan segala keperluan menyangkut hal-hal teknis, sementara kami ditugaskan untuk menyusun tema dan materi-materi pelatihan. Materi yang disajikan tetap mengacu pada NDP atau nilai-nilai dasar perjuangan. NDP itu semacam kurikulum yang menjadi panduan pelatihan setiap pengkaderan di HMI selama ini.
![]() |
Sumber: foto Yadi La ode |
Belum lama saya terlibat dan aktif didalam himpunan itu. Saya masuk dan mengikuti LK 1 sejak tahun 2008 silam, lalu melanjutkan latihan kader dua tahun 2009 di Kota Bogor Jawa Barat. Sejak aktif dan masih berstatus mahasiswa, saya dipercayakan untuk memimpin komisariat ditingkat fakultas, kemudian menjadi ketua bidang di pengurus cabang hingga masuk dalam pengurus badan koordinasi ditingkat provinsi. Namun bagi saya, semua adalah bagian dari proses pengkaderan di HMI. Tak sedikit pun yang melatarbelakangi semangat itu untuk masuk dan merebut kekuasaan.
Di periode saya saat menjadi pengurus cabang, saya pernah mengikuti Kongres HMI. Kongres itu berlangsung cukup lama, sebulan lamanya. Saya diutus untuk menjadi peserta penuh dalam kegiatan. Kegiatan itu berlangsung di Jakarta dan di hadiri seluruh delegasi cabang seluruh indonesia. Yang saya rasakan, aroma perebutan kekuasaan begitu tajam bahkan potensi konflik antara kelompok sangat rentan. Padahal, mestinya Kongres tidak hanya menjadi ruang bagi para kompetitor untuk bersaing dalam merebut kekuasaan didalam organisasi. Mestinya, Kongres dijadikan sebagai ruang untuk kembali merumuskan agenda baru, menjalankan misi dan program-programnya. Sangat ideal, jika kongres dijadikan sebagai moment untuk saling bersilaturahmi, saling bertukar pikiran untuk membicarakan wacana-wacana kebangsaan kekinian.
Potret wajah HMI saat ini justru tidak memberi dampak apa-apa terhadap masyarakat. Harapan atas cita-cita HMI menjadi tak berarti ditengah kondisi bangsa yang kian terpuruk. Masyarakat mulai tak simpati lagi dengan agen-agen pembaharu di HMI. Apa yang terjadi, mereka masih larut dalam cerita-cerita sukses para pendahulu tanpa sedikitpun mengambil banyak pelajaran dari mereka. Ironisnya, tontonan itu justru terjadi dimulai dari di pengurus besar sampai pada pengurus-pengurus didaerah. Secara perlahan, pragmatisme itu mulai merasuki setiap insan-insan HMI.
Ada kemungkinan besar, bahwa pengkaderan hanya dianggap sebagai formalitas bagi yang ingin mencari legalitas. Karena kuantitas anggotanya, karena kekuatan alumninya, atau organisasi ini cukup lama dan berpengalaman. Entahlah, kesemuanya itu hanyalah romantisme masa lalu. Tantangan yang justru terberat saat ini adalah bagaimana bisa mempertahankan eksistensi HMI di tengah kondisi moral kader yang kian merosot. Sepertinya, situasi ini telah menjadi fakta atas tindakan yang pernah dilakukan beberapa kader-kader terbaik HMI. Mulai dari terlibat dalam tindak pidana korupsi sampai kasus mesum. Kita tidak pernah mendengar lagi kata prestasi yang sudah ditorehkan oleh seorang kader, atau peran himpunan yang memberi kontribusi terhadap bangsa kita.
Di tengah situasi seperti ini, sudah seharusnya HMI bangun dari keterpurukan, sudah seharusnya HMI bangkit dan bergerak maju dan memberi sumbangsih kepada negara serta mencerdaskan kehidupan berbangsa dan melahirkan bibit-bibit baru yang berkualitas di tengah-tengah masyarakat sesuai dengan tujuan HMI "Terbinanya Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah swt".
Ini titik dimana kita merefleksi dan mau membicarkan segala kekurangan dan kelemahan, segala kesalahan yang pernah kita lakukan. Sedikit demi sedikit kita membenahinya mulai dari internal HMI itu sendri, dari keimanannya, keilmuannya, serta amalannya. Kita sudahi saja budaya konflik internal disetiap kompetisi, itu justru membuat himpunan menjadi terbagi dan kehilangan ruh. Mari kita kibarkan kembali sang hijau-hitam dan mengembalikan lagi masa-masa kejayaan HMI yang pernah tercatat dalam lembar-lembar sejarah.
0 komentar:
Post a Comment