Saturday, April 25, 2015

Sepenggal Refleksi di Acara Wisuda

Sumber: salah seorang wisudawan 
DI kampus tempat saya kuliah dulu, tengah berlangsung acara wisuda. Wisuda kali ini memasuki angkatan yang kedelapan. Melihat acara ini, saya kembali terkenang saat-saat wisuda dulu. Menghadiri acara tahunan dan mengikuti prosesi wisuda yang sifatnya seremoni, duduk bersama ribuan wisudawan wisudawati, mendengarkan sambutan-sambutan para petinggi kampus yang kerap membosankan, mengantri dan menunggu panggilan untuk penyematan dari sang rektor. Saya sudah tak sabar untuk beranjak dan segera mengakhiri acara ini. Tetapi, kali ini saya tak boleh mengecewakan mereka yang sudah menungguku sejak empat tahun lalu, mereka adalah kedua orang tua yang telah berkontribusi besar memberikan yang terbaik hingga saya bisa merasakan dan mengenakan jubah toga ini.

***

JAUH sebelum matahari merangkak naik. Saya sudah bersiap-siap untuk kegedung tempat pelaksanaan wisuda berlangsung. Sebelumnya, bapak dan mamaku sudah bersiap lebih dulu, menungguku untuk bersama-sama ke tempat acara berlangsung. Sebenarnya, saya tak suka menghadiri acara-acara formal yang dihadiri banyak orang, apalagi untuk memenuhi undangan acara pesta-pesta pernikahan. Namun karena kali ini adalah acara wisuda, acara yang sejak lama dinantikan oleh kedua orang tuaku. Maka, mau tak mau saya harus datang. Tidak lain adalah untuk melihat senyum manis dari wajah mereka yang mulai keriput. Menurut mereka, cukup berada dititik ini saja sudah memberikan satu kehormatan dan memberi kebahagiaan bagi keluarga kecil ini. Namun, menurutku ini adalah tantangan baru, tantangan menjalani kehidupan baru dan diperhadapkan pada banyak pilihan nantinya. Saat ini, saya berada pada sebuah persimpangan yang tak tahu harus kemana. Tetapi sekali lagi, saya tak ingin merusak suasana kebahagiaan mereka. Biarkan ini menjadi pertanyaan dan akan ku jawab sendiri.


Di dalam acara, juga saya merasakan kebahagiaan itu terpancar dari kawan-kawan semasa kuliahku dulu. Mereka sangat bersyukur sebab kita bisa bersama-sama sampai pada titik ini. Titik dimana mereka juga bisa membahagiakan kedua orang tua yang selama ini berusaha untuk bisa meluluskan mereka dari hasil jerih payah penjualan padi dan menjual ikan. Saya begitu salut kepada mereka, yang sudah bersungguh-sungguh untuk sampai dititik ini. Saya banyak belajar dari semangat mereka yang tak pernah padam, semangat yang terus bergelora disaat ekonomi tak berkecukupan namun dengan keyakinan yang kuat mereka akhirnya juga bisa dan duduk sejajar bersama lulusan-lulusan lain. Menurutku, mereka adalah lulusan-lulusan terbaik kali. Dari keinginan yang besarnya untuk melanjutkan pendidikan, dari jiwa besarnya meski mereka adalah anak petani dan nelayan, dari perjuangannya hingga mimpi-mimpi itu bisa terjawab.

Pada saat Universitas Muhammadiyah Buton melaksanakan wisuda kelima, juga ada ribuan orang yang telah diwisuda. Saya satu diantaranya. Kepada kawan-kawan semasa kuliahku, kami bercerita banyak dihari itu. Kami bercerita soal rencana-rencana kedepan dan hendak kemana nantinya. Dari kawan-kawanku, bagi yang sudah memiliki pekerjaan, mereka tetap akan menekuni pekerjaan itu dan bagi yang ingin melanjutkan studi, setelah ini mereka akan mempersiapkan diri untuk segera lanjut. Saat saya ditanya, saya menjawabnya dengan singkat saja, kalau saya masih pikir-pikir dulu, jika ada peluang nantinya saya akan lanjut kuliah. Sejak awal, niat besar saya adalah bagaimana bisa melanjutkan studi lagi, namun beban orang tua belum lama terlepas. Saya masih berusaha untuk bisa mengumpulkan pundi-pundi agar bisa melanjutkan studi kelak suatu hari nanti.

***

Hari ini di tahun 2015, tepat tiga tahun lalu. Saya kembali menyaksikan acara yang sama, wisuda angkatan kedelapan oleh sebuah amal usaha pendidikan yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan yang sudah tersebar hingga diseluruh nusantara. Satu diantaranya adalah Universitas Muhammadiyah Buton yang berada di Kota Baubau saat ini. Didirikannya kampus ini adalah untuk menjawab berbagai tantangan dan membantu setiap pelajar yang ingin melanjutkakan pendidikan keperguruan tinggi. Hadirnya kampus-kampus swasta yang berada didaerah ini salah satu alasannya adalah untuk memudahkan mereka yang ingin melanjutkan studi didaerah, alasan lainnya adalah untuk memberi keringanan dari segi pembiayaan kuliah. Mengingat banyak masyarakat didaerah ini ekonominya masih berpengasilan rendah. Namun, seiring meningkatnya pendaftar calon mahasiswa diperguruan tinggi daerah. Justru kampus bersaing untuk mendapatkan keuntungan besar dari bisnis pendidikan. Kampus serupa perusahaan yang ingin mencari keuntungan besar lewat mahasiswa. Mungkin ini terlihat wajar bagi kampus berstatus swasta, namun bukankah tujuan awal didirikannya sebuah perguruan tinggi untuk membantu masyarakat yang ekonominya lemah dan memudahkan mereka untuk mendapatkan akses pendidikan? Entahlah, namun sejak dulu realitas ini menjadi momok yang menakutkan bagi mereka yang ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.


Disela-sela prosesi wisuda kali ini saya kembali terkenang dengan kisah-kisah masa lalu itu. Saya kembali merasakan keakraban dari kawan-kawan seperjuangan semasa kuliah dulu, saya pun rindu dengan mereka. Ingin rasanya bercerita banyak dan berkeluh kesah kepada mereka, ingin rasanya kembali berkumpul dan bersosialisasi ditengah-tengah masyarakat kala dulu mendapat tugas praktek lapangan, ingin rasanya berdikusi banyak tentang pengetahuan-pengetahuan baru dan merencankan langkah-langkah kedepan. Kini, saat-saat itu tak lagi kudapatkan, kini mereka sudah pada jalan hidupnya masing-masing. Bahkan diantara mereka kini tengah mempersiapkan diri untuk ujian tesis, ia memintaku untuk mendoakan agar tak ada hambatan nantinya. Amin, saya selalu mendoakan yang terbaik kepada mereka.

Apa yang kulihat kali ini adalah tantangan besar bagi sarjana-sarjana muda yang baru saja menamatkan kuliahnya pada program strata satu. Setiap tahun, kampus-kampus menelurkan bibit-bibit baru calon “pengangguran” dikota ini. Yup, itu terlihat jelas dari tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang layak bagi sarjana-sarjana baru. Pemerintah daerah dan kampus tidak menyiapkan alternatif lain bagi mereka yang ingin mendapatkan pekerjaan atau menyiapkan beasiswa bagi yang ingin melanjutkan pendidikan. Padahal visi dan misi, baik pemerintah maupun perguruan tinggi dalam meningkatkan sumber daya manusia adalah tujuan utama dari kedua institusi itu. Sayangnya, harapan itu menguap begitu saja. Para sarjana-sarjana itu dibiarkan “berhamburan” diaman-mana, mereka tak tahu hendak mencari kerja kemana.

Hari ini, sekitar seribu tujuh puluh orang wisudawan-wisudawati baru saja dikukuhkan menjadi sarjana. Hari ini mereka tampak gembira, mungkin saja banyak diantara mereka sudah memiliki pekerjaan tetap dan mendapat posisi yang bagus dari sebuah perusahan, atau mungkin saja diantaranya memiliki keuangan yang cukup untuk bisa melanjutkan studi. Yang pasti, dari ribuan orang sarajana itu, beberapa diantaranya masih belum memikirkan tentang langkah-langkah selanjutnya, tentang rencana untuk menatap jauh kedepan. Saya beranggapan kalau para sarjana itu, juga memiliki nasib yang sama denganku saat ini. Ini soal waktu, usaha, dan peluang nantinya. Soal nasib, sepanjang kita masih diberi kekuatan untuk terus melangkah, maka selalu saja ada jalan untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu. Semoga...

Saat hendak pulang kerumah, saya dikagetkan oleh seseorang menyapaku dari belakang. Ia mengendarai sepeda motor dengan kaca helm tertutup. Awalnya saya tak tahu siapa dia, namun saat kami sama-sama menepi dan ia membuka helm maskernya. Saya terkejut melihatnya, ternyata ia adalah sahabatku, seorang sahabat yang pernah sama-sama lapar dan makan bersama dengan sebungkus mie instan disebuah kos-kosan miliknya, berjuang hingga kita bisa di wisuda dulu. Karena ia sedang mengojek dan mencari penumpang, saya hanya sebentar berjumpa dengannya lalu ia pamit dan pergi.

Baubau, 25 April 2015



0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts