BUNYI pluit di pagi itu membangunkan ku dari tidur, rupanya suara itu dari stasiun kereta yang jaraknya tak jauh dari penginapan tempat ku tinggal. Tiba-tiba, sebuah kereta datang dan berhenti. Para penumpang yang sejak tadi menunggu, dengan cepat mengisi gerbong-gerbong kosong. Yah, Jakarta pagi ini. Meski matahari belum tampak begitu jelas, namun orang-orang di kota ini sudah mengayuh langkah menuju ke tempat kerja mereka masing-masing. Tentu mereka takut nanti terlambat. Sejak subuh mereka keluar rumah agar terhindar dari jalanan yang super macet.
![]() |
Sumber: Stasiun Palmerah Jakarta (foto: Yadi La Ode) |
Seperti biasa, di ibukota jangan mengharap pagi yang indah seperti di pelosok sana. Saya pun tak merasakan kesejukan pagi seperti di desa-desa kampung halaman. Disni, kau tak menemukan embun yang membasahi setiap daun di pepohonan, kau tak mendengar suara kicauan burung, atau mungkin ayam yang sedang berkokok. Kehidupan akan sangat berbeda dengan berada di pedesaan yang tak di jamuri banyak pabrik, gedung-gedung bertingkat, deru suara mesin dan polusi.
***
SUDAH beberapa hari saya berada di kota ini, kota yang menjadi magnet banyak orang untuk datang dan ingin mengadu nasib. Iming-iming pekerjaan begitu nampak dari wajah kota yang menjanjikan sehingga banyak orang tergiur untuk datang beramai-ramai mencari lapangan pekerjaan. Sebagian orang mengira, datang dan berkerja di Jakarta akan sangat gampang dan memberi peluang besar untuk berkerja. Mungkin benar adanya, tetapi semua tidak segampang kita mencangkul di sawah atau kita melempar jaring ikan di laut. Di Jakarta kehidupan akan terasa berat ketika sumber daya manusia kita tak begitu mumpuni. Kelihatannya memang tak adil, namun itulah kenyataan hidup. Persaingan begitu ketat di kota ini, setiap manusia akan bersaing demi mempertahankan hidup.
Sebagai pusat pemerintahan juga ruang bisnis, Jakarta tentu tidak sepi dan terlihat sibuk. Setiap orang akan terus berpacu dengan waktu, mesin-mesin terus berkerja tiada henti. Baik itu di gedung perkantoran, apartemen, hotel, pabrik, perumahan, sampai jalan raya yang selalu saja macet dan membosankan. Inilah pemandangan yang setiap hari kita jumpai. Ini kesekian kalinya, saya kembali menginjak tanah Jakarta. Tempat sang Presiden dan para petinggi negara lainnya tinggal dan bertugas menjalankan roda pemerintahan.
Saat tiba di kota ini, kesibukan mulai terasa di terminal bandara Soekarano Hatta. Saya bisa melihat orang-orang dengan terburu-buru memasuki pintu keluar. Nampak jelas perbedaan itu dari kehidupan di kampung halaman. Perbedaan lain juga saya bisa melihatnya dari budaya dari kehidupan warga kota yang acuh tak acuh. Suhu kota ini terasa begitu panas dengan udara yang tak begitu baik. Saya merasakan ini jauh lebih baik dari kehidupan di kampung halaman. Kehidupan di Jakarta memang jauh lebih modern dari daerah-daerah lain di timur Indonesia. Gedung-gedung pencakar langit menjadi simbol atas kemegahan. Namun, untuk menadapatkan lingkungan sehat dan panorama alam sangat mahal di tempat ini. Tetapi, ini lah yang namanya kota, dengan segala kesibukan dan keangkuhannya.
![]() |
Sumber: kota Jakarta (foto: Yadi La Ode) |
Waktu terus berputar secepat putaran uang di kota ini. Di Jakarta, uang begitu berharga, berapa pun itu nilainya. Sama halnya dengan waktu, waktu juga sangat berarti. Mereka tak menyia-nyiakan waktu bekerja se efektif mungkin. Yang kulihat, para karyawan swasta justru bekerja secara profesional dan disiplin ketimbang mereka yang berkerja di garis pemerintah. Itu bisa dilihat dari pelayanan dan cara mereka berkerja.
Kata seorang kawan, kita butuh keberanian jika ingin bertahan dan menetap di Jakarta, apalagi hanya dengan modal pas-pasan. Akan banyak tantangan dan ujian yang di lewati suatu hari nanti. Sebab, ada banyak cara untuk bisa bertahan hidup di kota ini, begitu beragam dengan segala bentuk dan warna yang melekat pada setiap orang.
Suatu kesempatan, kawan itu berkisah tentang dirinya saat datang ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan. Ia sudah menyelesaikan strata satu dan ingin melanjutkan ke strata dua. Gelar kesarjaannya itu di dapat dari salah satu kampus di kota Baubau. Besar keinginan untuk lanjut, ia nekat untuk melanjutkannya ke Jakarta. Entah, apa yang mendorongnya untuk kuliah di tanah jawa. Namun satu hal yang ingin ia harapkan, yaitu membangun jejaring dan bisa bersilaturahmi dengan orang-orang Buton di perantauan. Awal keberangkatannya ke Jakarta, ia hanya memiliki uang enam ratus ribu rupiah. Kawan itu menaiki sebuah kapal selama tiga hari perjalanan. Sesampainya di Jakarta, ia tak tahu hendak kemana. Dan pada akhirnnya, ia memutuskan untuk menginap di sebuah masjid di pusat Jakarta.
Beberapa hari ia berkelana di tengah hiruk pikuk dan panasnya kota Jakarta. Ia juga beberapa kali menghubungi kawan-kawan lama. Namun, sama saja hasil yang di dapat. Ia tetap harus mencari kos-kosan yang dianggapnya layak dan murah. Hari-harinya, ia mulai dari kos-kosan itu. Dari semangat dan usahanya, ia diterima di sebuah kampus dan mendapatkan proses perkuliahan layaknya mahasiswa-mahasiswa lain.
Kisah seorang kawan tadi, memberi saya satu keyakinan dan semangat baru. Bahwa tak ada yang tidak mungkin jika niat baik itu adalah untuk melanjutkan pendidikan. Bahwa jangan pernah pesimis untuk menggapai keinginan itu meski berada di tengah wajah kota yang glamor. Sepanjang yang dilakukan itu adalah menuntut ilmu, maka pasti selalu saja ada jalan kemudahan menanti orang-orang mengalami kesusahan.
Jakarta pagi ini, memberi satu gambaran tentang warna-warni kehidupan, tentang sebuah tantangan dan pengalaman baru.
Jakarta, 26 Juni 2015
0 komentar:
Post a Comment