Sumber: berpose bersama sebelum akhirnya pulang |
KITA
butuh lebih banyak keberanian untuk menghadapi kehidupan sehari-hari, kehidupan
yang bisa saja mengancam keselamatan jiwa kita. Jika dilihat, justru kehidupan
itu lebih mengancam keberadaan kita di kota ketimbang dengan melakukan petualangan
di dalam hutan belantara. Ada banyak peristiwa mengerikan yang kerap kita
jumpai di kehidupan ini, yang sumbernya karena ulah manusia itu sendiri.
Kehidupan manusia di kota tidak hanya menampilkan kemodernan, namun juga telah lalai dan melakukan banyak pengrusakan dimana-mana. Pengrusakan lingkungan, pengrusakan tatanan
masyarakat, pengrusakan moral yang berujung pada perampokan dan pembunuhan. Meski begitu, bukan berarti kehidupan di kota menjadi runyam lalu
kita lari jauh dari kehidupan itu. Mesti ada kesadaran dari kita semua untuk saling
menjaga dan menjalani kehidupan dengan tentram dan damai.
***
PAGI
itu cuaca bersahabat, sangat baik untuk bisa berlibur atau berpetualang
ke berbagai objek wisata. Sehari sebelum kami melakukan perjalanan ke suatu
tempat, saya bersama, Asra, Iman, Ajeng, Idar dan Wawan sudah merencanakan dan mendiskusikan
berbagai hal mengenai kesiapan untuk bermalam beberapa hari di suatu tempat. Namun, semua harus di pikirkan secara matang-matang. Sebab, segala kemungkinan buruk bisa terjadi dan
berakibat fatal kalau saja tidak ada persiapan serius dengan menyiapkan segala sesuatu
yang menjadi keperluan nantinya.
Sumber: Foto Yadi La Ode |
Perjalanan kali ini, kami akan menapaki air
terjun yang kini ramai di kunjungi oleh wisatawan. Dari beberapa air terjun
yang diketahui, kami bersepakat untuk memilih air terjun Samparona sebagai
tempat yang menurut beberapa kawan cukup menantang untuk di jelajahi. Air
terjun Samparona yang berada di Kota Baubau, tepatnya di Keluarahan Kaisabu
Kecamatan Sorawolio.
Bagi
Wawan, Idar, Ajeng dan Iman, perjalanan jauh dengan medan berat yang menantang menjadi
sangat mengasyikan. Namun bagi saya, itu menjadi hal baru dan membuat saya
selalu penasaran untuk di telusuri. Sebelumnya, semua peralatan sudah harus
disiapkan dan dicek kelayakannya. Beberapa kawan juga sudah melakukan latihan
dan simulasi sebelum terjun langsung ke lapangan. Itu dilakukan untuk
memastikan kondisi fisik dan kesiapan mental nantinya. Perjalanan kami kali ini
cukup berat. Saat tiba di pintu masuk air terjun, motor-motor kami harus di
simpan di salah seorang rumah warga sebelum perjalanan kami lanjutkan dengan
berjalan kaki sejauh enam kilometer. Lama waktu perjalanan kurang lebih satu
setengah jam. Medan yang di lalui cukup berat sebab kita harus naik turun bukit
dan melewati beberapa tebing. Hutan ini begitu padat dan rapat hingga matahari
siang itu enggan menyinari langsung. Suara burung seakan menyambut kedatangan
kami di alam rumah-rumah mereka.
Bertualang
di alam bebas membawa saya kembali menemukan makna kehidupan. Jiwa ini kembali
di basuh dengan keberanian untuk menjelajahi alam yang luas ini. Tiba-tiba saja
kaki-kaki saya begitu kuat melangkah, padahal beban tas yang ku pikul cukup
berat membuat otot-otot punggungku menjadi keram. Wawan dan Idar menjadi leader pada perjalanan kali ini, mereka
sudah hafal
setiap jalur yang kami lewati.
Setelah beberapa lama berjalan, aliran air mulai nampak di balik dedaunan, itu
berarti tak jauh lagi kami akan sampai
di air terjun Kantongara. Hutan ini memiliki dua air terjun dengan daya tarik
tersendiri. Jika air terjun Samparona memiliki ketinggian, maka air terjun
kantongara dengan lebarnya. Nah, untuk sampai ke air terjun Samparona, kita
lebih dahulu mendapatkan air terjun Kantongara. Debit air yang dimiliki kedua
air terjun ini relatif sama dan jernih. Namun bila musim hujan tiba, debit air
meningkat dan warnanya berubah kecoklatan.
Sumber: Foto Yadi La Ode |
Perjalanan kami lanjutkan
kembali, dan tak beberapa lama kami tiba di
air terjun Samparona. Rupanya pengunjung tak hanya kami disitu, beberapa turis
asing dan wisatawan lokal juga datang menikmati indahnya air terjun Samparona.
Ini kali pertamaku melihat air terjun
yang
setinggi ini. Belum lama kami tiba, Wawan dan Idar langsung menyiapkan
peralatan seperti Kernmantle
atau tali pengaman, Harnest atau alat pengikat di tubuh, Carabiner
atau cincin kait, Webbing dan beberapa alat lainnya di cek terlebih dahulu kondisinya. Itu
untuk memastikan keselamatan saat melakukan Rappeling
atau teknik menuruni tebing pada daerah ketinggian.
Sumber: saat pengibaran spanduk di air terjun Samparona (foto: Yadi La Ode) |
Olah
raga menuruni tebing atau Rappeling yang
di lakukan Idar dan Wawan kali ini terbilang cukup ekstrim. Sebab mereka tidak
hanya turun dengan bantuan peralatan, namun mereka akan mengibarkan spanduk berukuran
dua kali satu meter yang bertuliskan tim ekspedisi Provinsi Kepulauan Buton.
Tingkat kesulitan yang mereka dapatkan saat menuruni tebing adalah saat
membentangkan spanduk dan di hujani air terjun. Idar hampir tak kuat menahan
beban air yang terus meluncur, sebab posisinya tepat langsung dibawah air. Apalagi,
ia harus menyesuaikan ketinggiannya dengan Wawan agar posisi spanduk bisa
sejajar. Pada ketinggian dua puluh lima meter dari bawah, spanduk berhasil di
bentangkan.
Sumber: air terjun Samparona |
Meski
begitu, spanduk itu hanya bisa bertahan beberapa saat, sebab beban air yang
mengenai mereka semakin berat. Pada akhirnya mereka memutuskan untuk naik
kembali. Pada posisi seperti itu, di butuhkan kelenturan, kekuatan, kecerdikan,
kerja sama, serta keterampilan menyiasati tebing itu sendiri. Mereka tak pernah
bermain-main dengan olah raga ini, sekali lagi kalau belum memilki keterampilan
jangan sekali-kali melakukannya sendiri tanpa di dampingi orang-orang ahli. Selain
alat-alatnya yang mahal, mulanya olah raga ini bersifat petualangan murni yang
belum memiliki peraturan yang jelas.
Seiring
bekembangnya olah raga ini dari waktu ke waktu, maka di bentuk standar baku
dalam setiap aktivitas. Banyaknya tuntutan dalam perkembangan olah raga ini,
memberi alternatif pada unsur petualangan itu sendiri dengan mengedepankan unsur
olah raga murni. Tampaknya, olah raga memanjat atau menuruni tebing di alam
bebas yang selama ini kita lihat tidak sekedar hobi dan gagah-gagahan saja. Namun
juga bentuk penyatuan diri kepada alam. Rock
Climbing, Rappeling atau jenis kegiatan lain membutuhkan latihan dan keterampilan
khusus serta teknik-teknik tertentu.
***
PAGI
masih di selimuti kabut. Gemuruh air yang jatuh, percik airnya langsung
membasahi wajah-wajah kusam kami yang baru saja bangun dan keluar dari tenda
kemah. Sontak membuat kantuk ku hilang seketika. Pandangan saya terus melihat
air terjun yang terus memuntahkan air, pesonanya membuat saya ingin terus
berlama-lama. Ingin ku terus merasakan kesejukan tempat ini, berenang di kolam air
dan medengar siulan suara-suara burung. Ini surga, alam yang kaya sudah semestinya
kita sadar untuk selalu menjaganya agar tidak dirusak dan dikotori. Itu bisa
dilihat dari tumpukan sampah yang berserahkan di sekitar air terjun, juga saya melihat
beberapa ukiran nama-nama orang pada dinding tebing. Entahlah, mungkin mereka
ingin juga dikenal oleh pengunjung-pengujung lain kalau mereka juga pernah
kesini. Padahal, menurutku mereka sudah salah menempatkan nama. Seharusnya ukiran
nama-nama itu berada pada salah satu prasasti atau sebuah piala karena
prestasi. Bukan pada dinding tebing atau pada batang sebuah pohon didalam hutan
belantara. Sebab pada waktu-waktu tertentu, hanya ada gerombolan monyet dan
hewan lain saja yang melihatnya. Keren kan?
Sumber: di lokasi kamp air terjun Kantongara |
Hari
sudah memasuki senja, kami memutuskan untuk segera kembali. Semua barang bawaan
kami kemasi lagi, tak lupa sampah-sampah di bawa serta. Satu per satu peralatan
di cek kembali agar tak ada yang tertinggal. Yaah, dua hari berada di dalam
hutan. Dari pengalaman ini, saya mendapatkan banyak pengetahuan tentang alam, saya
mendapatkan banyak pelajaran tentang istilah dan teknik memanjat dari para
penggiat panjat tebing, saya dilatih untuk bisa bertahan hidup di tengah hutan
belantara dengan peralatan dan logistik se adanya. Tentu, cara ini adalah untuk
mengenal alam lebih dekat sekaligus mengobati kepenatan selama beraktivitas di
tengah hiruk pikuk perkotaan.
Baubau,
17 Juni 2015
0 komentar:
Post a Comment