Wednesday, June 17, 2015

Gemuruh Air Terjun Samparona

Sumber: berpose bersama sebelum akhirnya pulang
KITA butuh lebih banyak keberanian untuk menghadapi kehidupan sehari-hari, kehidupan yang bisa saja mengancam keselamatan jiwa kita. Jika dilihat, justru kehidupan itu lebih mengancam keberadaan kita di kota ketimbang dengan melakukan petualangan di dalam hutan belantara. Ada banyak peristiwa mengerikan yang kerap kita jumpai di kehidupan ini, yang sumbernya karena ulah manusia itu sendiri. Kehidupan manusia di kota tidak hanya menampilkan kemodernan, namun juga telah lalai dan melakukan banyak pengrusakan dimana-mana. Pengrusakan lingkungan, pengrusakan tatanan masyarakat, pengrusakan moral yang berujung pada perampokan dan pembunuhan. Meski begitu, bukan berarti kehidupan di kota menjadi runyam lalu kita lari jauh dari kehidupan itu. Mesti ada kesadaran dari kita semua untuk saling menjaga dan menjalani kehidupan dengan tentram dan damai.

***

PAGI itu cuaca bersahabat, sangat baik untuk bisa berlibur atau berpetualang ke berbagai objek wisata. Sehari sebelum kami melakukan perjalanan ke suatu tempat, saya bersama, Asra, Iman, Ajeng, Idar dan Wawan sudah merencanakan dan mendiskusikan berbagai hal mengenai kesiapan untuk bermalam beberapa hari di suatu tempat. Namun, semua harus di pikirkan secara matang-matang. Sebab, segala kemungkinan buruk bisa terjadi dan berakibat fatal kalau saja tidak ada persiapan serius dengan menyiapkan segala sesuatu yang menjadi keperluan nantinya. 

Sumber: Foto Yadi La Ode
Perjalanan kali ini, kami akan menapaki air terjun yang kini ramai di kunjungi oleh wisatawan. Dari beberapa air terjun yang diketahui, kami bersepakat untuk memilih air terjun Samparona sebagai tempat yang menurut beberapa kawan cukup menantang untuk di jelajahi. Air terjun Samparona yang berada di Kota Baubau, tepatnya di Keluarahan Kaisabu Kecamatan Sorawolio.

Bagi Wawan, Idar, Ajeng dan Iman, perjalanan jauh dengan medan berat yang menantang menjadi sangat mengasyikan. Namun bagi saya, itu menjadi hal baru dan membuat saya selalu penasaran untuk di telusuri. Sebelumnya, semua peralatan sudah harus disiapkan dan dicek kelayakannya. Beberapa kawan juga sudah melakukan latihan dan simulasi sebelum terjun langsung ke lapangan. Itu dilakukan untuk memastikan kondisi fisik dan kesiapan mental nantinya. Perjalanan kami kali ini cukup berat. Saat tiba di pintu masuk air terjun, motor-motor kami harus di simpan di salah seorang rumah warga sebelum perjalanan kami lanjutkan dengan berjalan kaki sejauh enam kilometer. Lama waktu perjalanan kurang lebih satu setengah jam. Medan yang di lalui cukup berat sebab kita harus naik turun bukit dan melewati beberapa tebing. Hutan ini begitu padat dan rapat hingga matahari siang itu enggan menyinari langsung. Suara burung seakan menyambut kedatangan kami di alam rumah-rumah mereka.


Bertualang di alam bebas membawa saya kembali menemukan makna kehidupan. Jiwa ini kembali di basuh dengan keberanian untuk menjelajahi alam yang luas ini. Tiba-tiba saja kaki-kaki saya begitu kuat melangkah, padahal beban tas yang ku pikul cukup berat membuat otot-otot punggungku menjadi keram. Wawan dan Idar menjadi leader pada perjalanan kali ini, mereka sudah hafal setiap jalur yang kami lewati. Setelah beberapa lama berjalan, aliran air mulai nampak di balik dedaunan, itu berarti  tak jauh lagi kami akan sampai di air terjun Kantongara. Hutan ini memiliki dua air terjun dengan daya tarik tersendiri. Jika air terjun Samparona memiliki ketinggian, maka air terjun kantongara dengan lebarnya. Nah, untuk sampai ke air terjun Samparona, kita lebih dahulu mendapatkan air terjun Kantongara. Debit air yang dimiliki kedua air terjun ini relatif sama dan jernih. Namun bila musim hujan tiba, debit air meningkat dan warnanya berubah kecoklatan.

Sumber: Foto Yadi La Ode
Perjalanan kami lanjutkan kembali, dan tak beberapa lama kami tiba di air terjun Samparona. Rupanya pengunjung tak hanya kami disitu, beberapa turis asing dan wisatawan lokal juga datang menikmati indahnya air terjun Samparona. Ini kali pertamaku melihat air terjun yang setinggi ini. Belum lama kami tiba, Wawan dan Idar langsung menyiapkan peralatan seperti Kernmantle atau tali pengaman, Harnest atau alat pengikat di tubuh, Carabiner atau cincin kait, Webbing dan beberapa alat lainnya di cek terlebih dahulu kondisinya. Itu untuk memastikan keselamatan saat melakukan Rappeling atau teknik menuruni tebing pada daerah ketinggian.

Sumber: saat pengibaran spanduk di air terjun Samparona (foto: Yadi La Ode)
Olah raga menuruni tebing atau Rappeling yang di lakukan Idar dan Wawan kali ini terbilang cukup ekstrim. Sebab mereka tidak hanya turun dengan bantuan peralatan, namun mereka akan mengibarkan spanduk berukuran dua kali satu meter yang bertuliskan tim ekspedisi Provinsi Kepulauan Buton. Tingkat kesulitan yang mereka dapatkan saat menuruni tebing adalah saat membentangkan spanduk dan di hujani air terjun. Idar hampir tak kuat menahan beban air yang terus meluncur, sebab posisinya tepat langsung dibawah air. Apalagi, ia harus menyesuaikan ketinggiannya dengan Wawan agar posisi spanduk bisa sejajar. Pada ketinggian dua puluh lima meter dari bawah, spanduk berhasil di bentangkan.

Sumber: air terjun Samparona
Meski begitu, spanduk itu hanya bisa bertahan beberapa saat, sebab beban air yang mengenai mereka semakin berat. Pada akhirnya mereka memutuskan untuk naik kembali. Pada posisi seperti itu, di butuhkan kelenturan, kekuatan, kecerdikan, kerja sama, serta keterampilan menyiasati tebing itu sendiri. Mereka tak pernah bermain-main dengan olah raga ini, sekali lagi kalau belum memilki keterampilan jangan sekali-kali melakukannya sendiri tanpa di dampingi orang-orang ahli. Selain alat-alatnya yang mahal, mulanya olah raga ini bersifat petualangan murni yang belum memiliki peraturan yang jelas.

Seiring bekembangnya olah raga ini dari waktu ke waktu, maka di bentuk standar baku dalam setiap aktivitas. Banyaknya tuntutan dalam perkembangan olah raga ini, memberi alternatif pada unsur petualangan itu sendiri dengan mengedepankan unsur olah raga murni. Tampaknya, olah raga memanjat atau menuruni tebing di alam bebas yang selama ini kita lihat tidak sekedar hobi dan gagah-gagahan saja. Namun juga bentuk penyatuan diri kepada alam. Rock Climbing, Rappeling atau jenis kegiatan lain membutuhkan latihan dan keterampilan khusus serta teknik-teknik tertentu.  

***

PAGI masih di selimuti kabut. Gemuruh air yang jatuh, percik airnya langsung membasahi wajah-wajah kusam kami yang baru saja bangun dan keluar dari tenda kemah. Sontak membuat kantuk ku hilang seketika. Pandangan saya terus melihat air terjun yang terus memuntahkan air, pesonanya membuat saya ingin terus berlama-lama. Ingin ku terus merasakan kesejukan tempat ini, berenang di kolam air dan medengar siulan suara-suara burung. Ini surga, alam yang kaya sudah semestinya kita sadar untuk selalu menjaganya agar tidak dirusak dan dikotori. Itu bisa dilihat dari tumpukan sampah yang berserahkan di sekitar air terjun, juga saya melihat beberapa ukiran nama-nama orang pada dinding tebing. Entahlah, mungkin mereka ingin juga dikenal oleh pengunjung-pengujung lain kalau mereka juga pernah kesini. Padahal, menurutku mereka sudah salah menempatkan nama. Seharusnya ukiran nama-nama itu berada pada salah satu prasasti atau sebuah piala karena prestasi. Bukan pada dinding tebing atau pada batang sebuah pohon didalam hutan belantara. Sebab pada waktu-waktu tertentu, hanya ada gerombolan monyet dan hewan lain saja yang melihatnya. Keren kan?

Sumber: di lokasi kamp air terjun Kantongara
Hari sudah memasuki senja, kami memutuskan untuk segera kembali. Semua barang bawaan kami kemasi lagi, tak lupa sampah-sampah di bawa serta. Satu per satu peralatan di cek kembali agar tak ada yang tertinggal. Yaah, dua hari berada di dalam hutan. Dari pengalaman ini, saya mendapatkan banyak pengetahuan tentang alam, saya mendapatkan banyak pelajaran tentang istilah dan teknik memanjat dari para penggiat panjat tebing, saya dilatih untuk bisa bertahan hidup di tengah hutan belantara dengan peralatan dan logistik se adanya. Tentu, cara ini adalah untuk mengenal alam lebih dekat sekaligus mengobati kepenatan selama beraktivitas di tengah hiruk pikuk perkotaan.



Baubau, 17 Juni 2015


0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts