SEBUAH desa di Kabupaten Buton. Kurang lebih dua puluh tahun lamanya desa itu berdiri dan memegang erat sebuah tradisi menanam. Desa Labuandiri adalah salah satu desa yang berada di Kecamatan Siotapina, Kabupaten Buton yang masih melestarikan budaya dan memiliki adat istiadat yang kuat. Letak dan Posisinya berada di daerah perbukitan menjadikan tanah desa cukup subur. Itulah sebabnya masyarakat memanfaatkan lahan untuk menanam beraneka jenis tanaman. Namun, ada hal yang menjadi keharusan bagi masyarakat desa Labuandiri. Masyarakat diwajibkan untuk menanam padi ladang sebagai bentuk pelestarian budaya yang sejak lama tertanam di masyarakat desa Labuandiri.
Beras padi ladang yang dihasilkan berbeda dengan beras yang umumnya masyarakat konsumsi. Padi ladang berasnya berwana merah, kenyal dan harum. Cara menanamnya pun berbeda dengan beras putih kebanyakan. Umumnya, masyarakat menanam padi ini di dataran tinggi dan mengandalkan hujan sebagai sumber air. Makanya, masyarakat baru bisa menanamnya ketika musim hujan tiba. Hampir seluruh masyarakat desa ini berkerja sebagai petani padi ladang. Ada semacam aturan yang dibuat perangkat adat desa dalam bertani, yang pelaksanaannya selalu dilakukan dengan rangkaian ritual adat. Setelah hasil panen padi di dapat, maka masyarakat desa membuat acara pesta panen yang diatur oleh perangkat adat desa sebagai bentuk persembahan kepada para leluhur. Ini juga bentuk rasa syukur mereka dari hasil jerih payah selama menanam.
***
MENJELANG sore saya tiba di desa itu. Cukup jauh untuk sampai Desa Labuandiri bila perjalanan dimulai dari Kota Baubau. Namun saya selalu menikmati setiap perjalanan, apalagi kondisi jalan yang sudah bagus dan mulus. Dengan menggunakan sepeda motor, saya melewati banyak panorama alam yang sesekali membuat saya terhenti untuk mengabadikan beberapa gambar dan momen menarik. Teriknya matahari tak mematahkan semangat. Sepeda motor terus kupacu, jalan lurus yang memanjang, disisinya terdapat pantai yang eksotik cukup untuk mengobati rasa lelah selama dalam perjalanan.
Sumber: diskusi bersama perangkat adat di rumah kepala desa Labuandiri |
Dan akhirnya saya pun tiba di desa itu. Sayangnya, kawan-kawan dari Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP Bogor) dan Wahana Lingkungan Hidup Sulawesi Tenggara (Walhi Sultra) tak lama lagi akan pulang meninggalkan desa. Sebab, kegiatan yang sudah berlangsung selama tiga hari itu telah selasai. Mereka lebih dulu ada didesa dengan melakukan pelatihan pemetaan yang melibatkan masyarakat.
Di rumah panggung yang ukurannya tak begitu luas, saya bertemu mereka. Rumah itu milik kepala desa, ia adalah bapak La Baruni yang baru dua bulan menjabat sebagai kepala desa Labuandiri. Dirumahnya, duduk bersilah para peserta pelatihan. Diantara peserta itu, hadir beberapa orang perangkat adat desa. Salah seorang diantaranya adalah bapak Asmara, beliau adalah seorang Bonto atau ketua adat di desa Labuandiri. Sejak lama beliau dipercayakan sebagai seorang Bonto untuk melanjutkan tradisi dan menjalankan aturan-aturan yang disepakati dalam adat.
Dalam struktur lembaga adat, Bonto dibantu dengan seorang Wati dan Kausa. Bagi masyarakat desa Labuandiri, tradisi menanam merupakan kekayaan budaya yang hingga kini masih terus terjaga. Untuk itu, maka setiap kali melakukan penanaman padi, dilakukan rangkaian ritual adat yang di yakini dari turun temurun.
Sebelum memulai tanam, lembaga adat melakukan musyawarah bersama pemuka agama dan masyarakat. Tujuan dilakukannya pertemuan itu adalah untuk membicarakan hal-hal menyangkut waktu yang tepat saat dimulai penanaman. Penyambutan musim tanam atau Bhongkana Barata adalah bagian dari ritual adat untuk menyambut datangnya musim tanam. Waktu tanam yang diambil biasanya sekitar bulan Agustus sampai bulan November, saat musim hujan tiba.
Di mulai dari merintis atau membuka lahan, lahan yang sudah dibersihkan lalu dibagi-bagi kepada masyarakat yang mau menanam. Namun sebelum dilakukan ritual Tingkaha, masyarakat masih belum dibolehkan untuk menebang pohon. Penanaman baru bisa dilakukan usai masyarakat memberi makan tuan tanah atau melakukan ritual Pekandeane Ounuwite. Kemudian masyarakat menyepakati dilahan siapa awal dilakukan penanaman. Tetapi, biasanya lahan Bonto menjadi awal dari dimulainya penanaman lalu di ikuti oleh masyarakat. Proses itu, tidak hanya di tanah siapa kemudian penanaman perdana dilakukan. Namun, di dalam rapat musyawarah adat juga disepakati seorang pawang tanam atau Parika yang diberi mandat sebagai orang pertama yang melakukan penanaman. Masyarakat yang memiliki lahan, sebelumnya mencari seorang Parika atau pawang tanam yang memiliki kemampuan ilmu padi atau memilki ilmu menanam yang baik. Masyarakat percaya, bahwa untuk mendapatkan hasil panen yang berlimpah bisa tergantung dari siapa yang menjadi pawang tanamnya. Makanya, masyarakat dapat menyeleksi dan menyepakati siapa Parika yang akan melakukan penanaman padi dilahan mereka.
Dan penanaman perdana pun dilakukan diatas lahan Bonto oleh Paria, seorang pawang tanam yang sudah disepakati sebelumnya dalam adat. Saat berlangsung penanaman, ada ritual lain yang di yakini masyarakat sebagai proses interaksi manusia dengan alam. Interaksi itu adalah syair-syair untuk mendapatkan keberkahan dari apa yang ditanam. Sebuah nyanyian mengiringi gerak masyarakat saat melakukan penanaman padi. Sambil bernyanyi, kayu runcing menancap ke tanah dan membuat sebuah lubang kecil. Dari lubang-lubang itu, ditaburkan bibit-bibit padi dan kemudian ditutup kembali dengan tanah. Antara pagi sampai siang, lagu-lagu yang dinyanyikan adalah Wasakunde dan Lele-Lele, dan dari Siang hingga menjelang malam Lapambai, Laule dan Lamenggai-nggai. Semua nyanyian memiliki maksud dan tujuan, kemudian masuk dalam proses ritual dan diikuti secara bersama-sama.
Beberapa bulan kemudian menjelang panen raya. Para tokoh adat, pemuka agama bersama masyarakat desa kembali melakukan musyawarah dalam rangka membicarakan hal-hal mengenai persiapan panen. Dilakukan ritual Bela’aneitao atau memberi luka tahun. Sebenarnya arti dari ritual ini adalah memberi luka padi. Namun belakangan masyarakat sering menyebutnya dengan memberi luka tahun. Atau waktu dimana masyarakat melakukan pemotongan padi. Masa panen adalah waktu yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Proses memanen tidak serta merta mengambil begitu saja dari apa yang pernah ditanam. Namun, dilakukan dulu beberapa ritual adat sebagai persembahan kepada yatim piatu dan rasa syukur mereka atas hasil panen yang di dapat dari sang pencipta.
Tradisi menanam di Desa Labuandiri hanya lah satu diantara acara ritual lain yang diwariskan. Semua aturan dalam adat adalah wajib dan patuh untuk dijalankan. Jika ada dari masyarakat yang melanggar, maka ada sanksi adat atau denda yang harus dibayar.
Dari semua rangkaian proses menanam tadi, puncaknya ada pada ritual adat di Gunung Siotapina. Suatu keharusan bagi masyarakat desa yang masuk dalam rumpun Sukanayo dan Matanayo untuk mengikuti ritual adat yang dilaksanakan beberapa hari di tempat itu. Sebuah tempat yang di dalamnya terdapat makam Sultan Buton, Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi atau Oputa Yi Koo sang gerilyawan Gunung Siotapina yang namanya pernah disebut-sebut sebagai pahlawan nasional. Beberapa hasil panen masyarakat dibawa ke Gunung Siotapina atau masyarakat mengenalnya dengan mengantar Tutura. Dan saat masyarakat kembali ke desa masing-masing, mereka mengadakan pesta kampung atau disebut dengan Kalawati. Semua acara berkesinambungan, mulai dari menanam, memanen, sampai mengadakan syukuran melalui ritual-ritual adat yang masih dipercaya hingga saat ini.
***
MENDENGAR penjelasan dari sang Bonto, saya seperti berada ditengah-tengah para leluhur dan mengikuti setiap proses ritual adat. Ditempat itu, saya mendapat banyak pengetahuan tentang budaya, tentang kesakralan adat, tentang ritual-ritual yang diyakini dapat membawa keberkahan bagi masyarakat. Sayangnya, bapak Asmara melihat ada fenomena lain yang terjadi pada budaya dan adat istiadat kita saat ini. Beliau sangat prihatin dengan kondisi budaya yang mulai terkikis oleh zaman dan masyarakat yang mulai keluar dari kebiasaan adat. Beliau meyakini, datangnya berbagai macam bencana tidak terlepas dari prilaku manusia yang sudah menyimpang dari norma agama dan adat istiadat. “Kita jangan heran dengan daerah kita yang sering mendapat bencana,kekurangan kita saat ini karena sudah tidak bisa lagi menjaga hubungan antara rakyat dan pemimpin nya atau seorang pemimpin yang lupa dengan rakyatnya” keluh pak Asmara. Soal kesultanan, beliau menyerahkan sepenuhnya kepada para perangkat adat kesultanan Buton dalam menjaga dan mepertahankan nilai-nilai budaya.
Setiap masalah tentu memilki jalan keluar masing-masing. Adat sangat berperan penting untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kerap terjadi di dalam masyarakat. Sepanjang persoalan itu masih bisa diselesaikan lewat hukum adat, maka akan diselesaikan lewat aturan di adat. Kecuali itu menyangkut agama, perangkat adat menyerahkan sepenuhnya pada hukum-hukum agama. Bagi masyarakat desa Labuandiri, penyelesaian masalah lewat adat lebih baik dan cepat terselaikan ketimbang melibatkan pihak-pihak dari luar. Sebab, penyelesaian masalah lewat adat atau agama di internal desa tidak menyisakan dendam antara pihak –pihak yang berseteru. Lembaga adat bisa memediasi dan mencarikan jalan terbaik agar masalah itu tidak berlarut-larut. Tentu, semua dilakukan untuk menjaga harmonisasi kekeluargaan dalam desa Labuandiri.
Sebenarnya, ada banyak yang ingin ku tuliskan mengenai kebiasaan masyarakat desa Labuandiri dalam melestarikan budaya. Tentang tradisi atau kebiasaan adat dalam melakukan ritual di Gunung Siotapina yang sudah dilakukan secara turun temurun. Meski belum sampai kesana, tetapi pikiran saya sudah ingin menjelajahi kebiasaan-kebiasaan masyarakat adat. Menariknya, ritual di Gunung Siotapina dilakukan selama beberapa hari dengan waktu perjalanan selama kurang lebih tiga hari. Ada banyak wisatawan asing maupun lokal yang berkunjung saat kegiatan berlangsung di tempat itu. Tentu ini menjadi petualangan menarik kalau saya bisa kesana nanti. Semoga.
Baubau, 01 Juni 2015
0 komentar:
Post a Comment