Wednesday, July 29, 2015

Dari Diskusi Tolikara Sampai Cerita Mama Wamena

DI satu kesempatan saya tak sengaja bertemu beberapa kawan yang tengah asik berdikusi di salah satu tempat. Pembicaraan sempat terhenti saat mereka melihatku lalu mengajak untuk bergabung dan melanjutkan kembali diskusi yang sempat terhenti itu. Topik yang menjadi diskusi kali ini menurutku agak kurang menarik. Itu karena pembicaraan masih seputar terbakarnya sebuah tempat ibadah dan puluhan kios di Karubaga, Tolikara, Papua beberapa waktu lalu.

Memang, kejadian ini sempat memanas setelah beberapa media dengan cepat mengabarkan situasi di Tolikara Papua kalau tempat ibadah umat muslim dibakar saat mereka sedang merayakan Idul Fitri. Sontak, kejadian itu membuat geram banyak dari kita umat muslim. Berbagai komentar keluar dari mulut para pengamat amatiran. Mereka langsung menjatuhkan permasalahan itu sebagai konflik agama. Di media sosial, para pemilik akun pun terbakar dengan status-status kutukan yang menakutkan. Bahkan, ada beberapa dari mereka telah menyatakan kesiapannya untuk berjihad dengan pedang.

***

DI era sekarang, informasi menjadi sangat mudah untuk di dapat. Berbagai informasi peristiwa dari dalam dan luar negeri bisa di terima dengan cepat, situs media online salah satunya. Keberadaan situs media online sudah hampir tak terhitung lagi jumlahnya. Dari berita yang mereka sajikan, masyarakat bisa langsung percaya atas satu kejadian. Sungguh disayangkan, seiring menjamurnya situs media online "abal-abal" masyarakat tidak berhati-hati untuk selalu mempertimbangakan kebenaran atas suatu berita. Masyarakat dengan mudah melahap setiap isu yang di angkat tanpa melewati analisis yang baik.

Kita pasti bisa bayangkan, negara seperti Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama islam masih ada yang mengatakan kalau warga muslim mendapat tindakan intoleransi dari agama lain. Banyak juga dari kita yang mengira kalau di bumi cendrawasih sangat identik dengan kristen. Padahal kita hanya meraba-raba atas dasar berdirinya bangunan-bangunan gereja disana. Kita masih belum tahu berapa presentase penduduk yang memeluk agama lain di Papua. Padahal, di daerah-daerah pedalaman tanah Papua masih banyak yang memegang teguh pada animisme.

Dari catatan seorang wartawan majalah Hidayatullah (Ali Athwa), jumlah komunitas muslim di Papua mencapai angka 900 ribu jiwa dari total jumlah penduduk sekitar 2,4 juta jiwa, atau menempati posisi 40 % dari keseluruhan jumlah penduduk Papua. 60 % penduduk merupakan gabungan pemeluk agama lain termasuk mereka yang tidak mempercayai adanya Tuhan. Memang ada faktor psikologis bagi pemeluk islam atas dominasi kristen di lingkup pemerintahan daerah. Namun pada titik ini, sumber daya manusianya lah yang menjadi faktor utama.

Maka sangat disesalkan, ketika banyak media-media mainstream menurunkan berita yang tak berkualitas. Salah satunya ketika media dengan cepat memberitakan insiden di Tolikara tanpa mempertimbangan fakta-fakta lapangan. Dan anehnya, peliputan itu langsung mereka ambil di lokasi kejadian, sementara akses menuju Tolikara hingga kini masih sangat sulit. Pada akhirnya, pemberitaan menjadi tak objektif ketika media hanya mengkonfirmasi satu sumber yang di anggap bisa menjelasakan kondisi lapangan.

Sebenarnya, ada banyak keanehan dari pemberitaan yang kita dapat pada peristiwa di Tolikara, termasuk media sebelumnya tidak merangkai dari awal kejadian yang berujung pada pembakaran, lebih-lebih kita yang jauh dari tempat kejadian. Dengan segala keterbatasan yang kita miliki, informasi  yang didapat langsung ditelan mentah-mentah lalu kita mendramatisasi seolah di Tolikara bahkan seluruh tanah Papua telah terjadi perang antar agama. Rupanya, rencana besar para pembuat skenario untuk mengadu domba saudara kita muslim dan kristen cukup berhasil dengan menyebar beragam informasi sesat yang sudah mereka kemas dalam bentuk provokasi.

***

KEMBALI pada diskusi saya dan beberapa kawan tadi. Masih saja perdebatannya pada soal pembakaran di Tolikara. Nampaknya mereka belum puas dengan peristiwa pembakaran tempat ibadah yang terjadi di Tolikara beberapa saat lalu. Diskusinya sudah berlangsung cukup lama, tapi sayang tak ada satu pun titik temu pemikiran untuk mencari jawaban atas banyaknya pertanyaan yang mereka buat sendiri, pasti bingung. Apalagi di akhir diskusi saya disebut-sebut ikut bertanggung jawab karena telah memilih Jokowi JK sebagai Presiden. What? se-instan itukah pemikiran kita? saya kembali memaklumi keterbatasan diskusi kali ini. Saya pun bangkit dari tempat duduk dan melangkah pergi dari mereka.

Bersama Mereka
Usai pertemuan itu, tiba-tiba ingatan saya terbang jauh ke tanah Papua. Saya dibawa pada satu kehangatan dalam keluarga di Wamena Papua. Sebelumnya, saya pernah bersua dengan mereka beberapa minggu lalu di Jakarta. Mama itu datang bersama anak dan menantunya, yang kebetulan saya satu penginapan dengan mereka saat itu, jadi dengan cepat saya bisa membaur di lingkungan keluarga mereka, sampai di akhir dan mereka pamit untuk pulang ke kampung halaman. Perjumpaan kami tak sampai disitu, mereka selalu memberi kabar atau sekedar menanyai tentang kabarku melalui telepon. Wanita tua itu sering ku panggil mama Wamena, sementara laki menantunya adalah bang Teki dan perempuan muda itu adalah isterinya. Setiap malam kami selalu berkumpul bersama sambil bercerita banyak tentang kehidupan, tentang kekayaaan alam Papua serta penduduknya yang ramah dan mau menerima penduduk dari luar yang datang berdagang. Keakraban malam itu dihiasi oleh suasana malam ibukota yang bertaburkan lampu dari gedung-gedung bertingkat menggantikan cahaya bintang dilangit karena tertutup polusi.  


Pastinya, kita semua prihatin dengan insiden pembakaran di Tolikara, tetapi dengan tidak selalu memanasi dan memperkeruh kembali keadaan. Kita juga mesti pandai dalam memilah berita agar tak menjadi korban dari mereka yang telah membuat provokasi. Kita serahkan semua pada pihak yang berwenang untuk mengungkap dan segera menyelesaikan persoalan yang kerap terjadi, segala persoalan yang selalu mengatasnamakan agama. Kita bangun tali persaudaraan dalam keragaman. Apapun agama, suku dan warna kulitmu kita tetap satu dalam bingkai ke Indonesiaan. 



Baubau, 28 Juli 2015   



0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts