![]() |
Sumber: Yadi La Ode |
HARI
itu, 18 Mei 1988, seorang ibu mengeluh kesakitan pada sang suami. Ia sudah
tidak bisa lagi menahan rasa sakit yang mulai dirasakannya sejak semalam. Saat
itu, ia belum lama memasukan ketupat dan lapa-lapa
yang sudah dibuatnya dari semalam. Rencananya makanan itu akan disantap
bersama keluarga sepulang dari sholat Ied Idul Fitri. Namun rupanya rencana itu
tak berjalan sebagaimana yang diharapkan, sang ibu harus menghentikan
pekerjaannya dan memilih berbaring. Melihat itu, sang suami dengan siaga segera
memanggil bidan yang jarak rumahnya tak
jauh dari rumah mereka.
***
GEMA
kumandang takbir mulai terdengar di subuh itu seiring rintihan suara rasa sakit
dari ibu. Ia harus sabar menunggu datangnya bantuan dari bidan setempat. Sudah
waktunya bayi yang di kandunginya selama sembilan bulan itu untuk melihat alam
semesta. Namun tak berapa lama, akhirnya sang suami bersama bidan itu datang lalu
dengan segera menangani dirinya yang sejak tadi terbaring. Suara tangis
melengking disambut senyum dan tawa dari mereka yang melihat dan mendengar
langsung tangis seorang bayi mungil yang terlahir dengan selamat di hari yang
fitri itu, hari disaat seluruh umat muslim tengah merayakan lebaran dan melaksanakan
shalat ied Idul fitri.
Lebaran
saat itu adalah lebaran yang sangat istimewa bagi keluarga. Disaat bersamaan, rasa
bahagia berlipat-lipat dengan lahirnya seorang anak tepat di hari lebaran. Sesuatu
yang tak disangka-sangka dan diminta-minta soal waktu kelahiran itu. Yah tentu
semua adalah takdir dari Illahi, DIA-lah maha mengetahui dan mengatur apa yang
telah diciptakan-Nya.
Lebaran,
adalah waktu yang tepat bagi siapa saja untuk saling mengunjungi,
bersilaturahmi dan saling maaf-memaafkan. Setiap hari raya tiba, fenomena ini
selalu kita tangkap di dalam masyarakat muslim kita. Sayangnya, makna lebaran
dan silaturahmi itu tak melekat sepanjang masa. Selepas lebaran, kadang
terlepas pula tali saliturahmi itu.
Mendengar
seorang bayi yang baru lahir, para tetangga pun silih berganti datang
mengunjungi rumah mereka. Mereka datang memberi ucapan sekaligus berjabat
tangan untuk saling memaafkan. Diantara mereka yang datang, adalah seorang ibu
berdarah Padang yang jauh-jauh datang mengabdikan diri ke pulau Buton. Ia datang
memberi ucapan sekaligus membawa kado buat si bayi. Sejak lama ia mengabdikan diri
sebagai guru di tanah penghasil aspal ini. Ia adalah seorang guru agama yang
hari-harinya bersama murid sekolah menengah pertama di Pasarwajo, sebuah kota
kecil yang berada di pulau Buton. Sebagai tetangga, keluarga mereka sangat
terbuka dan cepat akrab.
Kehadirannya
tak hanya kata ucapan dan memberi sebuah hadiah, namun beliau juga menitipkan
sebuah nama untuk si bayi. Dengan harapan, nama itulah yang akan diambil. Melihat
itu, orang tuaku sangat berterimakasih kepadanya. Pemberian hadiah dan nama itu
adalah kenangan yang tak bisa dilupakan. Guru itu memberikan nama yang sama
dengan nama hari raya yang sedang berlangsung saat itu. Nama itu adalah Fitri Yadi yang kemudian di sempurnakan
oleh sang ayah menjadi La Ode Fitriyadi
Nur Syawal.
Tentu,
setiap manusia pasti memiliki nama. Nama adalah identitas yang menjadi sebutan
bagi setiap orang. Tanpa nama, kita tak tahu apa sebutan bagi seseorang. Bagi
saya, nama yang sudah diberikan adalah suatu kesyukuran. Sebab, tanpa nama saya
menjadi tak dikenal oleh siapa pun dan saya pun bingung ketika memperkenalkan
diri tanpa sebuah nama. Yang berat dari kita adalah menjaga dan merawat nama
itu baik-baik. Menjaga nama sudah pasti menjaga prilaku dan sikap kita sendiri.
Ketika moral itu rusak, maka nama lah yang menjadi sebutan pertama untuk
dikenal.
Sebulan
ini kita telah berpuasa dan sampai pada puncak kita akan berlebaran. Seluruh
umat muslim akan merayakan lebaran Idul Fitri pada Jumat besok. Menghadapi
lebaran kali ini, saya kembali teringat sang guru pemberi nama itu. Sejak
kepindahan dan kembali kekampung halamannya, kami sudah tak lagi bersua. Mungkin
ia telah lupa dengan keluarga kecil kami, namun keluarga ini masih mengisahkan
dirinya dan tak pernah lupa dengan sosoknya.
Baubau,
16 Juli 2015
0 komentar:
Post a Comment