Sunday, August 9, 2015

Ketika Kemerdekaan Harus di Bayar Mahal

Sumber: ilustrasi (foto: yadi laode)

ANAK perempuan itu terlihat murung dan tertunduk diam di hadapan ibunya, ia juga sesekali menghapus air mata yang terlanjur membasahi pipi. Tampaknya anak yang berseragam merah putih itu hatinya sedang tak bagus setelah ia menyodorkan selembar kertas pada ibunya. Kertas kusut itu adalah rincian biaya kostum yang akan dikenakan saat mengikuti gerak jalan memperingati hari kemerdekaan nanti, ia terima dari gurunya usai latihan sore itu. Ungkapnya, memang sekolah telah menyiapkan pakaian seragam untuk dipakai saat lomba gerak jalan antar sekolah. Sayang, setiap siswa yang menjadi peserta tak bisa mengambilnya secara cuma-cuma. Mereka harus membelinya pada sekolah dengan harga yang tak murah. 

***

DALAM sepotong kertas yang ia terima dari sang guru, berikut ini rincian biaya yang harus ia bayar; 

- Sepatu        Rp. 130.000
- Baju            Rp. 65.000
- Rok              Rp. 15.000
- Topi             Rp. 15.000
- Dasi             Rp. 15.000
- Bordiran    Rp. 10.000
- Lokasi         Rp. 3.000
- Kaos Kaki   Rp. 10.000
   Total           Rp. 328.000,-

Mungkin bagi mereka yang merasa mampu tak mempersoalkan biaya yang dimaksud, tetapi bagi siswa lain seperti Bunga (nama samaran) sangat membebani ekonomi mereka. Latar belakang keluarga yang serba cukup tentu menjadi sangat berat untuk memenuhi keinginan bunga membeli kostum itu. Dengan sangat terpaksa orang tuanya mengeluarkan dia dari keikutsertaannya di kegiatan gerak jalan. Rupanya, pengalaman itu tak hanya dialami keluarga Bunga, para orang tua murid lain juga mengeluhkan hal serupa, dan mereka memilih untuk mengeluarkan anaknya dari dalam barisan.

Bunga harus rela dengan keputusan itu, beruntung ia sangat memahami kondisi ekonomi keluarganya saat ini. Bunga adalah anak kedua dari dua bersaudara, saat ini ia duduk dikelas lima disalah satu sekolah dasar negeri di Kota Baubau. Ayahnya hanyalah tukang ojek dengan penghasilan tak seberapa, sementara ibunya berjualan dengan membuka kios kecil didepan rumah. Mungkin kali ini ia tak seberuntung anak-anak lain yang bisa ikut dalam gerak jalan tujuh belasan, tetapi bukan berarti ketidak-ikutsertaannya bersama anak-anak lain membuat semangatnya patah di hari kemerdekaan ini.

Sumber: foto Yadi La Ode
Sudah tujuh puluh tahun lamanya Indonesia tak lagi terjajah, Indonesia terbebas dari segala bentuk penindasan. Tepat di tanggal 17 Agustus nanti, warga indonesia kembali memperingatinya dengan upacara pengibaran bendera dan mendengarkan kembali pembacaan teks Proklamasi. Selain yang wajib bagi pemerintah, masyarakat umumnya mengisi hari kemerdakaan dengan berbagi jenis kegiatan dan lomba. Tidak terkecuali dengan kegiatan baris berbaris. Baris berbaris tidak hanya dilakukan dilapangan upacara. Di kota kecil seperti Baubau menjadi wajib bagi setiap sekolah untuk mengutus siswa-siswinya dalam mengikuti baris berbaris atau biasa mereka mengenalnya dengan lomba gerak jalan indah. Pesertanya mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas bahkan dari kalangan umum seperti karang taruna, pemuda atau kelompok masyarakat lain yang juga turut serta dalam lomba ini. Semangat itu tidak lain adalah semangat nasionalisme yang tertanam dan tumbuh subur disetiap jiwa-jiwa masyarakat kita. Tentu, mereka tak sekedar meramaikan dan mencari keuntungan besar di momentum ini, mereka ingin berkontribusi melalui kreatifitas dan sebuah usaha yang ditampilkan di hari kemerdekaan. Melalui berbagai kegiatan dan lomba, mereka ingin buktikan jika semangat itu masih menyala-nyala.

Kemerdekaan harusnya dimaknai dengan sangat dalam, kemerdekaan untuk seluruh rakyat Indonesia. Bila kita merefleksi perjalanan sejarah bangsa, tidak sedikit orang yang mengikhlaskan dan merelakan nyawa hanya untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Sederet nama para pahlawan yang tercatat dalam setiap lembar sejarah tak direnungi atas perjuangan keras mereka yang hasilnya kita sudah rasakan hingga kini.

Kisah bunga kali ini hanyalah sepenggal dari banyaknya pengalaman yang pernah dialami anak-anak lain di sekolah perkotaan. Ada banyak cerita yang pernah kita dengar tentang seorang anak yang memilih berhenti sekolah karena masalah ekonomi. Terbukti beberapa catatan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang pernah menangani kasus anak putus sekolah, banyak diantara anak-anak itu beralasan karena tak mampu membeli seragam dan buku sekolah. Rupanya, sekolah gratis yang selalu gencar dikampanyekan pada setiap sekolah tak sepenuhnya terbebas dari biaya.


Baubau, 09 Agustus 2015

0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts