Tuesday, August 11, 2015

Menemukan Kembali Keragaman Bahasa di Tanah Buton


PERNAH anda ke Pulau Buton? Pernah melihat keragaman budayanya? ataukah pernah anda mendengarkan langsung percakapan masyarakatnya yang menggunakan bahasa daerah? Buton tak hanya kaya dengan alamnya, tapi kekayaan itu juga sangat nampak dari keragaman budayanya. Tradisi atau kebiasan masyarakatnya masih terus terjaga hingga kini, termasuk kebiasan masyarakat dalam berkomunikasi sehari-hari. Bahasa menjadi identitas masyarakat di setiap daerah, bahasa adalah alat menyampaikan sesuatu dari hati. Lebih jauh, bahasa adalah sebuah sistem yang dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola dan dapat di kaidahkan. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh semua orang untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri dalam bentuk percakapan yang baik.

***

DI pulau Buton, ada banyak bahasa lokal dengan ciri dan dialek yang berbeda-beda. Meski begitu, masyarakat menganggap keragaman itu adalah kekayaan yang mesti dipertahankan sebagai aset. Tak banyak daerah di Indonesia memiliki bahasa lokal dengan jumlah yang banyak untuk digunakan oleh masyarakat dalam satu pulau kecil. Kalau kita melihat masyarakat di daerah-daerah lain semisal masyarakat lokal di pulau jawa yang wilayahnya begitu luas dan jumlah penduduknya yang padat, masyarakat hanya menggunakan bahasa jawa sebagai bahasa daerah mereka. Kalau kita bandingkan dengan luas wilayah Buton yang kira-kira 4.408 km² dengan jumlah penduduk sekitar 500 ribu jiwa, tentu tak sebanding dengan pulau jawa dan pulau-pulau lain seperti Kalimantan dan Sumatera. Dari keunikan itulah, beberapa peneliti asing datang untuk melakukan riset tentang bahasa lokal masyarakat Buton. Mereka melihat, Buton tak hanya menyimpan banyak cerita tentang sejarah tetapi dengan keragaman budayanya bisa tergambar banyaknya bahasa yang digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Diantara para peneliti itu, adalah Mr. Nicholas seorang peneliti asal Harvard University di Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat. Untuk kesekian kalinya, ia datang ke pulau Buton seorang diri. Sebagai seorang antropolog, tak segan ia terjun langsung ke desa-desa untuk mencari tahu asal usul serta mendengar langsung keunikan bahasa yang digunakan masyarakat setempat. Setiap kali ke lokasi riset, tentu ia tak sendiri. Ia ditemani oleh seorang penerjemah dan seorang anak muda yang hobi berpetualang. Pemuda itu adalah Syarir Ramadhan, ia pernah bermahasiswa dengan mengambil program pascasarjana di Universitas Gajah Mada (UGM) jurusan Antropologi. Kebetulan jurusannya sama dengan peneliti asal Amerika itu. Kali ini ia ditemani Ulfa mahasiswi asal Buton yang saat ini sedang dalam proses penyelesaian studi strata satu di Universitas Dayanu Ikhsanudin Baubau dengan mengambil jurusan bahasa inggris.

Selama lima hari, mereka akan menemani Mr. Nicholas untuk melakukan penelitian di beberapa tempat di pulau Buton. Tempat-tempat yang dikunjungi diantaranya desa Wabou di Lawele Kabupaten Buton, Desa Kioko di Kabupaten Buton Utara, Desa Kaimbulawa di Pulau Siompu dan Desa Bahari di Kabupaten Buton Selatan.

A Trip To The Village Of Wabou

Petualangan pun di mulai, kali ini saya berkesempatan ikut bersama-sama mereka. Syahrir Ramadhan lah yang mengajakku saat itu. Yah, sekedar mencari pengalaman baru dan mengisi pengetahuan. Apalagi, hobi berpetualang selalu saja menggerakkan kaki-kaki ini untuk terus melangkah jauh, menjelajahi setiap keindahan alam, melihat kebiasaan hidup masyarakat desa yang mandiri dan sederhana, mendengarkan langsung kisah dan pengalaman hidup mereka yang masih bergantung pada alam.

Sumber: beberapa anak di desa Wabou
Sumber: dialog bersama masyarakat desa Wabou
Di desa Wabou, Nicholas mencoba menggali informasi dan memahami setiap bahasa yang digunakan oleh masyarakat setempat. Desa Wabou adalah sebuah kampung kecil yang lokasinya berada tak jauh dari hutan Lambusango. Sejak tahun 2000 silam, masyarakat desa Wabou sudah membuka area untuk dijadikan satu kampung. Sebenarnya, jauh sebelum mereka hadir, masyarakat sudah ada yang pernah tinggal dikampung itu sebelumnya. Namun, kekerasan rezim orde baru sekitar tahun 1971 mengharuskan mereka untuk pindah dari perkampungan dan memilih tinggal di atas perbukitan.

Dari penuturan masyarakat, bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Kalende. Bahasa ini berbeda dengan bahasa-bahasa lain di pulau Buton. Meski begitu, mereka bisa dapat mengerti dan bisa memakai bahasa Wolio. Kehidupan masyarakat desa Wabou sebagian besar bertani dan berkebun. Dalam cerita sejarah, desa Wabou memiliki hubungan erat dengan kampung Wagari, sebuah desa yang secara kultur masih serumpun dengan Wabou. Setiap tahun, masyarakat desa ini melakukan acara ritual sebagai rasa syukur atas hasil panen yang pernah ditanam. Penggunaan bahasa kalende tidak sepenuhnya masyarakat gunakan sebagai bahasa keseharian. Seperti anak-anak desa, pendidikan disekolah lah yang mempengaruhi perkembangan setiap anak dalam berbahasa sehari-hari.

Menurut bapak Sahisa, seorang tokoh yang dituakan dikampung itu. Bahasa Kalende dikenal ada tiga logam, tiga logam maksudnya adalah tiga logat. Ketiga jenis logat itu adalah, Kalende Singku, Kalende Rompo/Kalende Ko’o (Hutan), dan Kalende Lawunta. Ketiga jenis Kalende ini memiliki logat yang berbeda-beda. Meski begitu, pemakaian bahasa ini tak selalu membedakan orang-orang didesa. Masih dalam cerita sejarah, dimata kesultanan Buton, masyarakat Kalende dipandang sebagai masyarakat “liar” yang keras dan tak selalu mengikut perintah. Itulah kenapa Kalende selalu lari dan berada jauh dari pusat pemerintah kesultanan. Meski begitu, tetap mereka berada dalam satu Kadie yang dilegitismasi oleh pemerintah kesultanan Buton.

A Trip To The Village Of Kaimbulawa Island Siompu

Hari kedua setelah perjalanan lalu dari desa Wabou. Riset kedua Nicholas dilanjutkan ke desa Kaimbulawa Kecamatan Siompu Kabupaten Buton Selatan. Siang dibawah terik matahari kami menunggu jadwal keberangkatan di pelabuhan jembatan batu kota Baubau. Tak lama lagi, kami akan menumpangi jenis kapal Speed boat. Untuk sampai ke pulau siompu, waktu yang dibutuhkan sekitar satu jam. Gelombang laut cukup tenang dan perjalanan laut kami terbayarkan oleh pemandangan pantai dan laut yang menakjubkan. Aktivitas dilaut dari kapal dan perahu nelayan adalah ciri masyarakat kepulauan yang menjadikan laut sebagai sandaran untuk menambah pendapatan ekonomi mereka selama ini. Ini merupakan kali pertama saya mengunjungi pulau yang dikenal sebagai penghasil jeruk terbaik di pulau Buton.

Sumber: wawancara bersama kepala desa Kaimbulawa 
Sumber: Baruga di desa Kaimbulawa Siompu
Secara geografis, pulau Siompu terpisah dengan Pulau Buton. Luas wilayah pulau Siompu sekitar  60 km². Karakteristik pulau ini didominasi oleh bebatuan yang cadas dan berkarang. Meski keadaannya begitu, masyarakat memanfaatkan lahan untuk bertani jeruk. Masyarakat Buton umumnya mengenal Siompu karena jeruknya yang khas. Karena rasanya yang begitu manis, jeruk Siompu menjadi sangat laku dipasaran. Biasanya, musim jeruk Siompu berada pada bulan Juni sampai bulan Setember disetiap tahun. Waktu yang tepat dengan kedatangan kami di pulau Siompu kali ini. Para petani belum lama memanen jeruk-jeruk mereka di kebun. Makanya, saat tiba di Desa Kaimbulawa, sang kepala desa menyambut kedatangan kami dengan menawarakan langsung jeruk Siompu. Tanpa menunggu lama, Nicholas mengupas kulit jeruk dan segera memakannya. Karena rasanya yang manis, Nicholas tak puas dengan buah pertama lalu kembali mengupas buah yang kedua. Wah, mungkin saja Mr. Nic sedang kelaparan. 

Di baruga atau tempat pertemuan masyarakat ini kami bercerita banyak dengan kepala desa Kaimbulawa. Mr. Nicholas kembali mengajukan beberapa pertanyaan mengenai bahasa lokal yang sehari-hari digunakan oleh masyarakat setempat. Dan rupanya desa Kaimbulawa juga memiliki bahasa yang berbeda dengan bahasa lokal lain di Pulau Buton. Keunikan bahasa Kaimbulawa dikenal dengan bahasa “burung”, yang kalau di dialogkan beberapa kalimat pengucapannya mengalami penekanan suara di kerongkongan leher kita. Nah, bahasa ini masih tetap terjaga keasliannya hingga kini dan terus dipakai dalam aktivitas keseharian masyarakat desa. Tak hanya orang-orang tua, anak-anak pun menggunakan bahasa Kaimbula yang unik ini saat disekolah dan lingkungan bermain mereka.

Cukup lama kami berdiskusi dan mencoba menggali secara detail sejarah muculnya bahasa Kaimbulawa. Sayang, informan yang kami dapat tak bisa memberi banyak informasi. Ia hanya bisa menjelaskan sebatas apa yang di ketahuinya. Meski begitu, Nicholas cukup puas dan sangat memahami kondisi masyarakat setempat. Apalagi penerimaan masyarakat pada pengunjung seperti kami sangat baik dan selalu ramah. Usai wawancara itu, kami lalu diajak makan siang bersama di salah satu keluarga. Salah seorang dalam keluarga itu adalah rekan dari Syahrir Ramdhan yang sejak tadi menemani perjalanan kami dan memperkenalkan beberapa tempat di pulau Siompu. Ia adalah seorang guru, kami lalu dijamu dengan menu tradisional khas Buton (Ikan bakar, colo-colo, sayur tumis, kasoami) yang sudah tersaji dan siap untuk disantap. Dan kali ini Mr. Nic tak segan-segan untuk beberapa kali mengisi piring kosongnya.

Sumber: upaya wawancara yang sedang dilakukan Nic
Sumber: jenis permainan yang sering dimainkan anak-anak desa Kaimbulawa

Tak lama usai santap siang bersama, kami pun berpamitan pulang dan kembali ke Baubau. Saat perjalanan menuju dermaga, kami dapat menikmati indahnya pantai dan laut dari perbukitan yang kami lalui. Tak hanya itu, pohon-pohon jeruk yang berjejer rapi di sepanjang jalan juga menjadi daya tarik pulau ini sebagai pulau penghasil jeruk terbaik karena rasanya yang khas. 

A Trip To The Village Of Bahari

Sebenarnya sehari sebelum perjalanan ke desa Bahari, Mr. Nic sudah dulu ke desa Kioko di Buton Utara. Namun karena satu dan lain hal saya tak bisa ikut perjalan mereka saat itu. Itu lah sebabnya saya tak banyak tahu tentang bahasa lokal yang dianggap unik disana. Tapi dari hasil “nguping” dan cerita kawan yang sempat ikut, bahasa lokal yang sehari-hari gunakan masyarakat disana adalah bahasa Kioko yang masih memiliki irisan dengan bahasa Kulisusu di Ereke Buton Utara. Sayangnya, secara perlahan bahasa lokal mereka mulai ditinggalkan dan lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Sumber: seorang warga di desa Bahari sedang di wawancarai
Sumber: pembuatan kapal di desa Bahari
Baiklah, perjalanan terakhir kami dari agenda riset kali ini ada di desa Bahari Kabupaten Buton Selatan. Kami mulai perjalanan di pagi itu, waktu yang kami tempuh kurang lebih 2 jam. Jarak antara desa Bahari dan Kota Baubau kira-kira 60 km. Kondisi jalannya masih dalam tahap perbaikan. Secara administratif, desa Bahari masuk dalam Kecamatan Sampolawa Kabupaten Buton Selatan. Jika dilihat dari nama desa, desa Bahari memang berada dipinggir pantai. Nama Bahari juga senafas dengan aktivitas masyarakatnya yang ulet mencari nafkah dilaut. Usaha dan kerja keras mereka dilaut tak bisa dianggap enteng, hanya dengan kapal-kapal kayu berukuran kecil mereka dengan berani melintasi laut yang gelombangnya tak main-main. Perjalanan mereka dilaut bisa sampai berbula-bulan lamanya, ke Maluku, Nusa Tenggara, hingga ke Papua.  

Di desa Bahari, Nicholas mencoba untuk kembali berdialog dengan salah seorang nelayan yang juga ahli merancang kapal. Beberapa dari mereka juga pandai dalam membuat jenis kapal, dari kapal yang ukurannya kecil sampai kapal yang berukuran besar. Masyarakat desa Bahari dikenal masih serumpun dengan etnis cia-cia di desa Wabula Kabupaten Buton. Bahasa yang digunakannya pun sama dengan bahasa Cia-Cia yang digunakan oleh etnis cia-cia di desa lain di pulau Buton. Kalau pun ada perbedaan, toh itu hanya dialek tapi tidak ada yang membedakan antara bahasa cia-cia yang digunakan masyarakat desa Bahari dengan bahasa Cia-Cia didesa lain. Begitu pun dengan bahasa daerah lain di Buton. Sebenarnya ada puluhan bahkan sampai ratusan jenis dan dialek bahasa daerah di pulau Buton. Namun banyak diantara kita yang awam sepintas mendengar bahasa itu adalah sama. Semisal di desa Bahari, bahasa cia-cia di desa ini ada sedikit perberbedaan dengan bahasa Cia-Cia di desa Wabula dari segi pengucapan. Meski begitu, tak ada pengklaiman atas kepemilikan yang sah dari orisinalitas budaya. Semua berada dalam satu payung besar yang bernama budaya Buton agar selalu hidup rukun dan mempertahankan nilai-nilai budaya sebagai kekayaan, sebagai aset, sebagai warisan yang terus dijaga kemurniannya. 


Baubau, 11 Agustus 2015

0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts