![]() |
Sumber: desa Bajo Lasalimu |
***
LANGKAH kaki seakan tak mau berhenti, ingin melangkah kemanapun perginya. Hari libur memang sedang waktunya, tetapi tidak bagi institusi pemerintah yang wajib memperingati hari kemerdekaan. Karena saya bukan bagian dari mereka, saya pun memanfaatkan hari libur dengan menyusuri kampung-kampung kecil di pinggiran kota. Bukannya tak nasionalis atau mengabaikan momentum bersejarah ini, meski saya tak sama-sama memberi hormat pada bendera dilapangan upacara, tetapi satu kebanggaan bisa hadir ditengah-tengah masyarakat dan merayakan bersama detik-detik kemerdekaan itu.
Sehari sebelum peringatan kemerdekaan itu dilangsungkan, sorenya saya tiba didesa Balimu. Untuk sampai kedesa ini, perjalanan memakan waktu kurang lebih dua jam. Jalannya sudah agak bagus, meskipun beberapa kilo masih dalam tahap perbaikan dan kondisinya berdebu. Saat tiba, seorang kawan mengajakku untuk bermalam dan tinggal dirumahnya. Kawan itu bukanlah penduduk asli Bajo, mereka datang karena tugas dan tanggung jawab. Belum lama mereka tinggal didesa itu. Kebetulan, istrinya adalah seorang perawat yang ditugaskan di Puskesmas Pembantu (Pustu) desa Balimu. Hari-harinya adalah membantu masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan.
Berada disebuah kampung atau desa, tentu fasilitas akan jauh dengan yang kita dapatkan diperkotaan. Pemenuhan kebutuhan hidup dikota bisa dengan gampang didapat tergantung kekuatan finanansial. Beda hal dengan didesa, kebutuhan hidup masih bisa didapat dengan tidak membeli alias gratis. Itu karena masyarakat didesa masih bisa menyambung hidup dari hasil jerih tanam dan hasil tangkapan mereka dilaut. Artinya, usaha manusia didesa lebih produktif ketimbang mereka yang dikota. Manusia dikota, kebutuhan hidup bisa terpenuhi kecuali harus dengan membeli. Makanya selalu terjadi kelangkaan kebutuhan pokok karena tak sebanding jumlah masyarakat kota yang konsumtif dengan jumlah masyarakat desa yang hari-harinya mencari ikan dan bertani.
![]() |
Sumber: pelayanan di Pustu desa Balimu |
Begitu pula dengan pelayanan dimasyarakat khususnya pelayanan kesehatan. Ada jurang pemisah antara si kaya dan si miskin perihal pelayanan kesehatan kita selama ini. Bagi para pemilik modal, akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan bisa dengan mudah dan cepat. Sementara bagi rakyat miskin, kesehatan begitu mahal dan hampir tak terlayani dengan baik. Kenyataan ini pernah terjadi dihampir setiap pelayanan rumah sakit kita. Mereka tak memberi ruang layaknya pasien lain, juga berbagai alasan yang sering kita dengar dari pihak rumah sakit sehingga penanganan terlihat lambat. Anehnya, kasus serupa terus terulang dan tak hanya disatu daerah saja. Rumah-rumah sakit dikota besar lain juga seolah mengharamkan kaum miskin untuk datang berobat.
***
JAUH dari fasilitas rumah sakit dan penanganan para dokter ahli. Kehadiran Puskesmas Pembantu (Pustu) dan seorang perawat kontrakan sudah sangat membantu setiap warga yang ingin mendapatkan pelayanan kesehatan di desa-desa. Karena jarak, masyarakat sudah merasa cukup hanya memeriksakan diri dengan alat, obat dan tenaga medis seadanya. Terkadang, keterbatasan puskesmas mengharuskan pasien untuk segera dirujuk ke rumah sakit. Namun, banyak dari mereka lebih memilih untuk berobat "kampung" ketimbang harus dirawat dirumah sakit yang serba mahal. Masyarakat lebih mencari obat-obat tradisional dengan biaya murah ketimbang membeli obat-obat generik di apotek.
Perjalanan saya kali ini tak hanya mencari pengalaman, tetapi ini adalah proses melatih, mengasah dan memekakan diri terhadap lingkungan sosial. Perjalanku hanyalah meluangkan sedikit waktu untuk bermain bersama anak-anak desa. Mereka yang berada di desa bukanlah selalu dianggap terpinggirkan. Justru dari mereka, kebutuhan masyarakat kota bisa dapat terpenuhi.
Baubau, 19 Agustus 2015
0 komentar:
Post a Comment