DI salah satu situs media sosial, namanya Mojok Dot Co, media selow yang kontennya segar dan menghibur. Saya membaca satu tulisan menarik dari seorang penulis. Pada tulisannya ia memberi judul “Sarjana Abal-Abal? Memangnya Anda Bukan?” Tulisannya ringan, ditulis dengan gaya dan bahasa sendiri. Dalam isi tulisannya, nampak ia sedang memperjuangkan hak seseorang dengan mempersoalkan media massa yang menayangkan berita Wisuda Abal-Abal. Menurutnya, pemberitaan itu justru menimbulkan dampak negatif dan menjadi bahan tertawaan publik karena salah seorang wisudawati tak berkutik saat di wawancarai oleh beberapa stasiun TV.
***
PEREMPUAN itu adalah salah seorang dari ribuan orang yang keluar dari sebuah gedung usai mengikuti rangkaian acara wisuda. Ia duduk disalah satu sudut gedung dengan toga yang masih melekat. Tiba-tiba beberapa awak media datang menghampiri lalu mewawancarainya. Sontak wisudawati itu bingung setengah mati ketika pertanyaan demi pertanyaan keluar dari mulut wartawan. Ia bingung ketika pertanyaan soal IPK dan mata kuliah yang disukainya. Bahkan, anehnya ia tak tahu apa nama kampus tempat ia belum lama dilantik sebagai seorang sarjana. Oleh karenanya, berangkat dari fakta-fakta lapangan, media massa secara masif memberitakannya dan menjadikan topik ini sebagai topik menarik dan layak menjadi perbincangan publik.
![]() |
Sumber: ilustrasi (foto: yadi laode) |
Berbagai macam tanggapan dari masyarakat usai membaca dan menonton pemberitaan mengenai wisuda abal-abal. Sampai-sampai menjadikannya sebagai bahan lelucon. Namun bagi penulis di Mojok itu, wisudawati yang kerap diberitakan mestinya dihormati karena dianggap sebagai korban. Korban dari sistem pendidikan kita yang tak ubahnya pabrik gelar, korban dari para mafia pendidikan yang menjadikan kampus sebagai ladang bisnis, atau korban dari kampus yang serupa pasar dimana ada banyak preman yang setiap kali memalak para mahasiswa dengan iming-imging membuatkan skripsi dan pengurusan ijasah bisa dengan cepat dan gampang.
Tetapi, apalah artinya kita menertawakan para korban mahasiswa yang sudah terlanjur membayar mahal demi perdikat atau gelar dibelakang nama. Saya pun sependapat dengan penulis di Mojok itu. Paling tidak, bisa menjadi bahan refleksi atas diri kita sendiri, atau mungkin menjadi evaluasi terhadap sistem pendidikan dan kampus-kampus kita. Apalagi, belum lama ini Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi menggerebek acara wisuda ilegal di salah satu Universitas. Setelah ditelusuri, masalahnya adalah kampus tersebut membuka kelas jauh dan tidak melakukan proses perkuliahan. Jadi semacam bisnis jual beli ijasah begitu.
Tahun ini, Kemenristek telah menunjukkan keseriusannya untuk melakukan evaluasi serta upaya untuk menertibkan hingga menutup sejumlah perguruan tinggi swasta. Kampus-kampus yang ditutup karena berstatus tidak jelas atau bermasalah. Beberapa perguruan tinggi swasta (PTS) yang ditutup sebab tidak pernah memasukan datanya ke Pangkalan Data Perguruan Tinggi (PDPT). Olehnya, sangat dihimbau seluruh masyarakat yang ingin menempuh pendidikan tinggi agar mengecek daftar perguruan tinggi swasta sebelum melakukan pendaftaran.
Oh iya, kita kembali ke penulis tadi. Ia adalah seorang yang prihatin terhadap wisudawati yang dianggap palsu dan menjadi bahan tertawaan. Ia menyadari, kalau dirinya juga bagian dari korban sistem pendidikan yang berorientasi gelar. Ia pun berasumsi kalau korban dari wisuda abal-abal itu berasal dari keluarga yang ekonominya lemah sehingga tak memiliki keseriusan untuk belajar seperti mereka-mereka yang kuliah di kampus-kampus ternama. Dengan alasan ekonomi, jalan pintas dianggap pantas, mereka dengan ramai membeli gelar sarjana abal-abal untuk menaikan status sosial. Menurut si penulis, inti masalahnya karena institusi pendidikan menjadi tak terjangkau bagi kaum miskin, sehingga masyarakat yang ingin kuliah lebih baik memilih kampus abal-abal dengan biaya murah ketimbang masuk ke kampus ternama dengan biaya mahal.
***
SELANG dua hari sebuah tulisan dengan judul “Saya Sarjana Beneran, Bukan Sarjana Abal-abal” juga terbit di kanal yang sama di Mojok Dot Co. Tulisan dari penulis lain ini mecoba untuk menjawab dan mengklarifikasi tulisan dari penulis yang pertama diatas. Menurutnya, isi tulisan yang berjudul “Sarjana Abal-Abal? Memangnya Anda Bukan?” itu telah merendahkan jutaan sarjana yang sudah berusaha keras meraih pendidikan tinggi. Menurutnya, tidak semua sarjana itu serius saat kuliah berniat mencari ilmu. Ia lalu mencontohkan dirinya sendiri, niat kuliah hanya untuk melepas keperjakaan. Sialnya, sampai ia lulus kuliah, keperjakaannya tak juga lepas.
Tulisan dari si penulis kedua ini sama ringannya dengan penulis pertama diatas. Bedanya, ia sangat percaya diri meski agak sedikit menggelitik dalam alur cerita. Ia menjawab semua isi tulisan dari si penulis pertama. Menurutnya, penulis pertama tak perlu “sok” empati terhadap orang miskin yang cuma mampu membeli gelar. Mereka wajib dipermalukan karena selalu tak disiplin waktu, karena tak pernah mengerjakan soal-soal tugas, tak pernah membaca dan menulis, sehingga dengan gampang melakukan copy-paste atau plagiat. Para pembeli gelar sarjana abal-abal itu, praktis tak melewati tahap demi tahap proses perkuliahan dengan baik dan benar. Mereka bukannya mencari ilmu pengetahuan, tetapi mencari gelar agar bisa diterima berkerja.
Disini, saya juga sependapat dengan penulis kedua ini. Bahwa, bukan alasan bagi kaum miskin maupun kelas menengah untuk tak bisa kuliah dikampus ternama atau bahkan ingin melanjutkan pendidikan sampai kampus luar negeri. Pemerintah sudah membuka pintu dan memberi ruang bagi masyarakat kurang mampu untuk melanjutkan pendidikan melalui beasiswa dengan berbagai kemudahan lain yang bisa digunakan. Tetapi itu semua tergantung kemauan dan usaha dari diri kita sendiri. Jika faktor penghambat adalah kemalasan dan tidak adanya usaha, berarti kita selalu menerima nasib dan terus berkeluh kesah terhadap kemiskinan. Padahal, kalau niat masih ada dan kita masih diberi kekuatan untuk menggapai mimpi-mimpi itu, why not.
Pada kesempatan ini, saya tak hendak menilai mana yang terbaik dari tulisan kedua penulis diatas, juga tak berhak mengatakan mana yang layak dan mana yang tidak, apalagi sampai masuk pada konflik kedua penulis. Tapi kalau toh memang mereka benar-benar berkonflik. Menurutku, ini hanyalah dialektika atas kritik yang terjadi pada sistem pendidikan kita. Dua tulisan yang berlawanan kutub diatas itu hanyalah skenario untuk melihat secara detail fenomena yang terjadi pada perguruan tinggi kita. Dua tulisan yang seolah tak saling ketemu diatas itu untuk mengungkap beberapa fakta yang terjadi pada kampus-kampus disekitar kita.
Hendaknya, setiap perguruan tinggi serius dan mampu melahirkan generasi-generasi yang matang dan siap pakai. Kampus yang harapkan bisa menciptakan nuansa akademik dengan mahasiswa yang berilmu dan berkualitas serta gelar yang bisa dipertanggung jawabkan di kemudian hari.
Bogor, 29 September 2015
Borrow money here today at 3% interest rate. Sawda Capital Finance offers all kinds of financial services of all sizes ranging from individuals, companies, and traders globally./Our services are 100% guaranteed and risk-free.
ReplyDeleteWe build just the right financing for each client, with simple paperwork, quick approvals, and flexible payment schedules. For further details, Kindly contact us via email At sawda.finance@gmail.com
Intermediaries/Consultants/Brokers are welcome to bring their clients and are 100% protected. In complete confidence, we will work together for the benefits of all parties involved, Looking forward to rendering the best of our services to all esteemed clientele globally.