![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjf6ZcEFPbWAyqX7Qy2lmYMvGktQk9rF-jDUzCf_jwEnLTxn3wrLyENLLtz9oRFkNwnWxD8cn8KhH_nxqQTCVP62kYiUuDIbsHlN_DMgTlGPQ2TpizCPnZzVOnhvv-4tQExgFIVMJuVIDU/s640/20151114_131506.jpg)
TAK
jauh dari Dramaga tempat kampus IPB berdiri, sebuah desa yang menjadi lokasi
penelitian kami saat itu kembali memberi satu keyakinan pada diri saya, jika desa
tak selamanya kumuh dan masyarakatnya selalu di pandang miskin. Desa yang
selama ini dinilai buruk karena masyarakatnya tak memiliki pengetahuan apa-apa
dan jauh lebih hebat dari mereka-mereka yang tinggal dan hidup ditengah
kemewahan kota. Di desa itu saya kembali menemukan makna dari kehidupan yang
sebenarnya, makna dari masyarakatnya yang hidup rukun, tentram, dan damai. Saya
juga bisa melihat langsung bagaimana masyarakat desa memanfaatkan alam dengan
sebaik-baiknya. Saya bisa melihat bagaimana petani membuat sawah dengan rapih
sehingga indah dipandang mata, dan bagaimana para petani yang membajak sawah
dengan kerbau. Tak ada bunyi mesin traktor, apalagi mendengar suara dari mesin-mesin
pabrik yang kerap membuat bising di telinga. Disni, hanya ada suara gemercik
air yang mengalir secara bertahap dari tingkat atas sawah sampai ke bawah. Disini
hanya ada suara kerbau yang sedang bertugas membantu kerja pak tani yang
membajak sawah. Suara kerbau sebagai ucapan selamat datang kepada kami yang
saat itu melintasi pematang sawah. Wew...
***
PAGI
sekitar pukul 06.15 WIB, saya sudah harus bersiap-siap untuk segera ke kampus
menemui beberapa kawan yang rupanya juga belum lama mereka tiba di depan gedung
kantor fakultas. Kawan-kawan itu adalah rekan se tim, kelompok yang dibentuk
dari tugas mata kuliah Metodelogi Penelitian Sosial (MPS) sejak awal
perkuliahan beberapa bulan lalu. Tugas mata kuliah itu yakni melakukan
penelitian dimasyarakat. Waktu yang diberikan kurang lebih empat bulan lamanya,
dengan proses penilaian akan di lihat dari sejauhmana progres dari tahapan
penelitian yang telah dilakukan. Dalam penelitian yang kami lakukan, judul yang
diangkat mengenai “Rasionalitas Nilai Kerja Pertanian Pada Masyarakat Pedesaan
di Sekitar Perkebunan Kelapa Sawit Desa Kiara Pandak”. Penelitian ini bertujuan
untuk memahami rasionalitas nilai kerja pertanian pada masyakat desa Kiara Pandak
yang masyarakatnya hidup bersebelahan dengan perkebunan kelapa sawit. Kami ingin
melihat sejauhmana masyarakat desa Kiara Pandak mampu mempertahankan tradisi
menanam sebagai petani dengan alasan rasional mereka. Ketimbang memilih
berkerja di perkebunan skala besar dan meninggalkan pertanian. Disisi lain,
kami juga ingin melihat alasan kenapa masyarakat desa memilih keluar desa dan berkerja
ketempat lain.
Kami
pun berangkat (mas Bayu, Rozi, Rio) dengan menggunakan sepeda motor. Jalanan
masih diselimuti kabut. Ini kabut bukan sembarang kabut, bukan dari kabut asap
kebakaran hutan. Ini memang benar-benar kabut, kabut yang memberi kesejukan di
sepanjang perjalanan kami. Jalanan masih begitu lengang dari kendaraan. Perjalanan
kali ini, sedikit membasahi rasa dahaga petualanganku semenjak kembali aktif
sebagai mahasiswa dan menghabiskan banyak waktu di dalam ruang kuliah. Mata ini
kembali di manjakan dengan bukit dan pegunungan, juga sempat beberapa kali
melewati jembatan yang dibawahnya terdapat aliran sungai dengan air yang cukup
deras. Tinggal beberapa kilometer lagi kami akan sampai di desa Kiara Pandak, tapi
kami memutuskan untuk beristrahat sejenak disebuah warung makan. Dari atas perbukitan,
kami tidak hanya menikmati panorama alam yang begitu memukau. Namun, hidangan soto
ayam yang berkuah santan khas sunda itu juga membuat lidah kita menari-nari
diatas mangkuk sup. Apalagi, segelas kopi hangat dengan hati-hati diantar
langsung oleh seorang gadis sunda. “makasih
teh” kataku usai ia mengantarkan segelas kopi dimejaku. Saat kuseruput,
kopinya memang kurang begitu manis, tapi saat memandang gadis itu, kopi ini kembali
manis ku rasa.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgN16FRNidPYd70W1g9BMIVKX-9KDqGddwrVzjOytBio7dUspzoRHUilAUPuRA9T4KhVrVQo900SoP93gVn1CDwbeyHTCMGWYhSIQdj1_ah76-PPSbgRjFLvMp7YqcRLg6HK0rtn413BRQ/s400/20151114_131823.jpg)
Desa
Kiara Pandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor. Sejak zaman kerajaan dulu, masyarakatnya
sudah diajarkan ilmu dan pola pertanian oleh sesepuh-sesepuh mereka. Dahulu
adat masih sangat berperan dalam pertanian. Adat dan pemerintah desa secara
bersama-sama membuat aturan tentang pertanian di desa. Misalnya ketika ada
warga desa yang mendahului menanam padi, maka mereka akan mendapat sanksi dari
adat bersama pemerintah desa. Maksud dari aturan itu sebenarnya untuk memberi
kekompakkan warga dalam melakukan penanaman padi. Selain itu, jika aturan adat
ini dilanggar, mereka percaya kalau akan berdampak buruk terhadap hasil
pertanian. Datangnya serangan hama penyakit padi, wereng, atau tikus yang dapat
merusak padi mereka. Benar kemudian, bahwa aturan adat itu juga dimaksudkan
untuk meminta kekompakkan masyarakat dengan secara bersama-sama membasmi hama
pernyakit yang menyerang padi mereka. Intinya adalah menjaga kekompakkan dan
semangat gotong royong masyarakat desa.
Penanaman
padi masih sangat sederhana dan tradisional, padi ditanam tidak menggunakan
pupuk atau bahan kimia lain yang umumnya digunakan oleh petani-petani lain.
Saat musim menanam padi, masyarakat desa selalu berpatokan pada bintang. Kalau bintang
wuluku sudah keluar, nah barulah
penanaman padi akan dilakukan. Para petani juga sebelumnya sudah menyiapkan lantaya atau tempat penyimpanan padi
sebelum dinaikan ke keleyuet atau
lumbung nantinya. Namun sayangnnya tradisi itu tidak bertahan berapa lama,
dunia luar mulai merambah ke desa-desa dan mempengaruhi prilaku masyarakat.
Kini, desa tak lagi menjadi desa sebagimana yang diharapkan oleh para leluhur.
Perlahan desa mulai meninggalkan kebiasan-kebiasaan adat mereka. Para orang tua
pun tak lagi mengajarkan banyak hal pada anak-anak mereka tentang pentingnya
pertanian dan bagaimana pola tanam padi itu dilakukan. Tidak lagi ada generasi
dari petani-petani kita saat ini. Muda-mudi telah meninggalkan pertanian hanya
untuk mendapatkan kemewahan hidup yang tak pasti.
Seorang
tokoh masyarakat di desa Kiara Pandak berkisah tentang kondisi desa saat ini.
Menurutnya, hal itu karena kurangnya kedisiplinan para orang tua dalam mendidik
anak-anak mereka. Sehingga masyarakat desa terutama yang anak-anak muda pindah
ke kota demi untuk mencari suatu pekerjaan yang menjanjikan. Tidak sedikit dari
anak-anak muda itu menggeluti satu profesi yang unik, dengan menjadi musisi
jalanan. Maksudnya sebagai pengamen yang naik turun angkot. Tak ada pilihan
mereka ditengah keterbatasan ekonomi keluarga dan kurangnya sumber daya manusia
yang dimilki. Berbeda dengan kaum perempuan desa, kebanyakan mereka masuk kota
dengan memilih tinggal dirumah –rumah mewah, yang disetiap sudut rumah terdapat
CCTV, di kelilingi pagar kawat
berduri, atau didepan rumah itu ada seekor anjing herder. Yah, mereka terpaksa
harus berkerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) yang kerap kali mendapat
perlakuan kasar dari para majikan.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjVk6Uf7B6fTLeBICd0zBtpwkfoO5nQCilQ4Ix7GfFB0eJi2mr_-QOW-F5Iw9j1rOECMIuGe4DFP7-GSFDb2cA93T2PF6xPQuV1YWVvUoVm3QY758GR61E0ox157YtgvR9dHgOZN7METBg/s400/20151114_130953.jpg)
Dengan
melihat kondisi orang-orang desa di kota, lalu dengan ramai-ramai orang kota
mengambil satu kesimpulan bahwa masyarakat desa selalu terbelakang dari
masyarakat kota. Bahwa cara berpikir orang kota lebih canggih ketimbang orang
desa. Bahwa dikota selalu dekat dengan kemewah dari pada di desa. Kemungkinan
besar, hal inilah yang merubah pola pikir masyarakat desa dengan memilih pindah
ke kota ketimbang memiilih bertani. Tanah dan sawah dijual untuk membangun
rumah ditengah kota, tanah dan sawah dijual untuk membeli sepeda motor demi memenuhi
keinginan sang anak tersayang, dan masih banyak lagi alasan-alasan mereka
kenapa harus meninggalkan tradisi menanam di desa. “ngapainlah capek-capek tani, udah ja jual tuh sawah, beli’in motor”. kata
bapak itu mencontohkan anak-anak muda di desa. Lanjut bapak itu dengan gaya
kritiknya, “sepeda motor mah, semakin
lama semakin karatan. Nah, kalau sawah. Semakin lama semakin bagus uey,
tanahnya semakin subur”.
Mungkin
ini maksud dari rasionalitas itu. Rasionalitas nilai kerja masyarakat desa yang
memilih berkerja sebagai petani demi mendapatkan nafkah penghidupan (livelihood) dan mempertahankan tradisi
menanam untuk kesejahteraan mereka. Kalau kita menggunakan pendekatan teori
tindakan dari Max Weber, dimana tindakan sosial merupakan cara dalam
menganalisa bagaimana suatu tindakan sekelompok orang atau masyarakat memiliki
korelasi positif terhadap produk tindakan. Kita tahu, bahwa teori sosiologi
klasik menempatkan evolusi masyarakat sebagai titik tolak bangunan teoritisnya,
sebagaimana kita melihat perhatian Max Weber disini. Weber sangat serius dalam
hal memahami kecenderungan tindakan atau motivasi yang dilakukan oleh subyek
dalam memutuskan pilihan. Keyakinan Weber bahwa setiap tindakan atau keputusan
yang dilakukan oleh salah satu individu bisa ditemukan makna obyektifitasnya.
Konsepnya
tentang rasionalitas sebagai suatu metode analisa untuk mengurai arti atau
tindakan dari setiap individu di dalam bertindak atau dalam memutuskan pilihan
menjadi kerangka acuan bersama secara luas dimana aspek-aspek subyektif
perilaku dapat dinilai secara obyektif. Meskipun teori ini paling banyak di
pengaruhi oleh ilmu ekonomi, tetapi teori pilihan rasional dalam sosiologi
berbeda dengan yang diterapkan dalam ilmu ekonomi. Dalam Economy and Society, Weber menetapkan garis pemisah antara ekonomi
dan sosiologi ekonomi dengan mengajukan tiga unsur, yaitu (1) bahwa tindakan
ekonomi adalah tindakan sosial; (2) tindakan ekonomi selalu melibatkan makna;
(3) tindakan ekonomi selalu memperhatikan kekuasaan (Damsar, 2002).
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhbSFBLE-1WFGLLCjYbDd3d5K0Vs4wMP8MG7pOUzuDDemi2LDQQRn5BdGsN8hyphenhyphen9Z00wPydA7A-b-jdOy4cYDUVgH1sGz9ropcdodIK7n7yF92T7M3J7C3ZLLPAfSCn56DSjDJF29qN1pPY/s400/20151114_131004.jpg)
Pemahaman
Weber tentang tindakan rasional. Menurutnya, tidak semua perilaku dapat
dimengerti sebagai manifestasi dari rasionalitas. Weber membagi tindakan
rasional menjadi dua, yaitu rasionalitas instrumental
dan rasionalitas yang berorientasi
nilai. Rasionalitas instrumental merupakan rasionalitas paling tinggi yang
meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar, berhubungan dengan tujuan
tindakan, serta alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Sedangkan rasionalitas yang berorientasi pada nilai yaitu rasionalitas yang
tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang
bersifat absolut atau merupakan nilai akhir baginya. Sementara alat-alat hanya
sebagai obyek pertimbangan dan perhitungan secara sadar semata. Secara spesifik
tindakan sosial menganalisa masyarakat dari segi pelakunya, tujuan-tujuannya,
situasinya, norma-norma, makna yang ada didalamnya.
***
MENJELANG
siang dirumah seorang tokoh masyarakat desa Kiara Pandak. Perbincangan masih
berlanjut, bapak itu masih berbicara soal pertanian. Menurutnya, ada beberapa
masalah yang dihadapi oleh petani-petani di desa ini. Misalnya, banyaknya lahan
yang tidak digarap menjadi lahan produktif itu karena kebanyakan masyarakat
desa menjual tanah mereka pada pengusaha. Kemudian setelah terbeli oleh
pengusaha, tanah itu tidak di jadikan apa-apa. Rupanya pengusaha-pengusaha yang
membeli tanah itu hanya mau berinventasi saja, tanpa mau menggarapnya. Tentu
ini akan berdampak pada lambatnya pertumbuhan ekonomi masyarakat desa. Masalah
lain adalah ketidakjelasan status kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah
sehingga hal ini menyulitkan masyarakat dalam memanfaatkannya.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhI15_C9Ob0nV7fUAe-v3OXqP2QeLNOeU6IVGE9lrAn0CoNhQcKmLKTN60mnZULUySH2n0TIQ6t6Kk4r-SM9yacKfCpsbvo6WSXk5Lz8owqUW-fd4_4AurTxgkFM9da5T1yJYtHOcN-a2U/s640/20151114_130933.jpg)
Kemudian
dari masalah lahan tadi, bapak itu merasakan betul perubahan perilaku
masyarakat desa di banding dulu. Masyarakat desa yang mulai meninggalkan kebiasaan-kebiasaan
adat. Masyarakat yang makin individualis dan meninggalkan kebiasaan saling
membantu dan berkerjasama. Menurut bapak itu, kalau orang sunda bilang manusia
sekarang itu sudah pangalitan,
artinya setiap sikap maupun prilaku tidak sesuai dengan keadaan. Seharusnya,
masyarakat tidak menjadi konsumtif dengan membeli kebutuhan dari luar. Kebutuhan
di desa sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Misalkan untuk makan
sehari-hari, ada beras, ada sayur, ada ikan dan lain sebagainya. Padahal disaat
bersamaan, masyarakat kota mencari kebutuhan mereka di desa. Sebab, apa yang
mereka makan sehari-hari dikota itu, asalnya dari desa, hasil kerja dan
keringat petani-petani kita.
Memang,
beberapa masyarakat desa masih memegang teguh adat dan mempertahankan kebiasaan
bertani mereka. Kalaupun ada perubahan, itu datangnya dari penyuluh pertanian pemerintah
dalam hal ini dinas-dinas terkait. Toh masyarakat masih menyesuaikan dengan
tradisi yang mereka yakini selama ini. Misalnya, penanaman padi secara
serempak, tata cara pengobatan dan lain sebagainya. Yah, semoga apa yang
menjadi harapan masyarakat desa, harapan kita semua, desa tidak lagi
dipersepsikan sebagai yang terbelakang, tertinggal dari kehidupan mereka yang
di kota yang dianggapnya lebih sejahtera. Semoga saja tak ada lagi yang namanya
“soma-soma” yang artinya memanfaatkan
budaya para leluhur (adat), dari para “bangsat berdasi” yang kerap kali merusak
budaya masyakarat desa.
Bogor, 21 November 2015