Saturday, November 21, 2015

Tentang Desa, Tentang Petani Yang Terlupakan


TAK jauh dari Dramaga tempat kampus IPB berdiri, sebuah desa yang menjadi lokasi penelitian kami saat itu kembali memberi satu keyakinan pada diri saya, jika desa tak selamanya kumuh dan masyarakatnya selalu di pandang miskin. Desa yang selama ini dinilai buruk karena masyarakatnya tak memiliki pengetahuan apa-apa dan jauh lebih hebat dari mereka-mereka yang tinggal dan hidup ditengah kemewahan kota. Di desa itu saya kembali menemukan makna dari kehidupan yang sebenarnya, makna dari masyarakatnya yang hidup rukun, tentram, dan damai. Saya juga bisa melihat langsung bagaimana masyarakat desa memanfaatkan alam dengan sebaik-baiknya. Saya bisa melihat bagaimana petani membuat sawah dengan rapih sehingga indah dipandang mata, dan bagaimana para petani yang membajak sawah dengan kerbau. Tak ada bunyi mesin traktor, apalagi mendengar suara dari mesin-mesin pabrik yang kerap membuat bising di telinga. Disni, hanya ada suara gemercik air yang mengalir secara bertahap dari tingkat atas sawah sampai ke bawah. Disini hanya ada suara kerbau yang sedang bertugas membantu kerja pak tani yang membajak sawah. Suara kerbau sebagai ucapan selamat datang kepada kami yang saat itu melintasi pematang sawah. Wew...

***

PAGI sekitar pukul 06.15 WIB, saya sudah harus bersiap-siap untuk segera ke kampus menemui beberapa kawan yang rupanya juga belum lama mereka tiba di depan gedung kantor fakultas. Kawan-kawan itu adalah rekan se tim, kelompok yang dibentuk dari tugas mata kuliah Metodelogi Penelitian Sosial (MPS) sejak awal perkuliahan beberapa bulan lalu. Tugas mata kuliah itu yakni melakukan penelitian dimasyarakat. Waktu yang diberikan kurang lebih empat bulan lamanya, dengan proses penilaian akan di lihat dari sejauhmana progres dari tahapan penelitian yang telah dilakukan. Dalam penelitian yang kami lakukan, judul yang diangkat mengenai “Rasionalitas Nilai Kerja Pertanian Pada Masyarakat Pedesaan di Sekitar Perkebunan Kelapa Sawit Desa Kiara Pandak”. Penelitian ini bertujuan untuk memahami rasionalitas nilai kerja pertanian pada masyakat desa Kiara Pandak yang masyarakatnya hidup bersebelahan dengan perkebunan kelapa sawit. Kami ingin melihat sejauhmana masyarakat desa Kiara Pandak mampu mempertahankan tradisi menanam sebagai petani dengan alasan rasional mereka. Ketimbang memilih berkerja di perkebunan skala besar dan meninggalkan pertanian. Disisi lain, kami juga ingin melihat alasan kenapa masyarakat desa memilih keluar desa dan berkerja ketempat lain.

Kami pun berangkat (mas Bayu, Rozi, Rio) dengan menggunakan sepeda motor. Jalanan masih diselimuti kabut. Ini kabut bukan sembarang kabut, bukan dari kabut asap kebakaran hutan. Ini memang benar-benar kabut, kabut yang memberi kesejukan di sepanjang perjalanan kami. Jalanan masih begitu lengang dari kendaraan. Perjalanan kali ini, sedikit membasahi rasa dahaga petualanganku semenjak kembali aktif sebagai mahasiswa dan menghabiskan banyak waktu di dalam ruang kuliah. Mata ini kembali di manjakan dengan bukit dan pegunungan, juga sempat beberapa kali melewati jembatan yang dibawahnya terdapat aliran sungai dengan air yang cukup deras. Tinggal beberapa kilometer lagi kami akan sampai di desa Kiara Pandak, tapi kami memutuskan untuk beristrahat sejenak disebuah warung makan. Dari atas perbukitan, kami tidak hanya menikmati panorama alam yang begitu memukau. Namun, hidangan soto ayam yang berkuah santan khas sunda itu juga membuat lidah kita menari-nari diatas mangkuk sup. Apalagi, segelas kopi hangat dengan hati-hati diantar langsung oleh seorang gadis sunda. “makasih teh” kataku usai ia mengantarkan segelas kopi dimejaku. Saat kuseruput, kopinya memang kurang begitu manis, tapi saat memandang gadis itu, kopi ini kembali manis ku rasa.  

Desa Kiara Pandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor. Sejak zaman kerajaan dulu, masyarakatnya sudah diajarkan ilmu dan pola pertanian oleh sesepuh-sesepuh mereka. Dahulu adat masih sangat berperan dalam pertanian. Adat dan pemerintah desa secara bersama-sama membuat aturan tentang pertanian di desa. Misalnya ketika ada warga desa yang mendahului menanam padi, maka mereka akan mendapat sanksi dari adat bersama pemerintah desa. Maksud dari aturan itu sebenarnya untuk memberi kekompakkan warga dalam melakukan penanaman padi. Selain itu, jika aturan adat ini dilanggar, mereka percaya kalau akan berdampak buruk terhadap hasil pertanian. Datangnya serangan hama penyakit padi, wereng, atau tikus yang dapat merusak padi mereka. Benar kemudian, bahwa aturan adat itu juga dimaksudkan untuk meminta kekompakkan masyarakat dengan secara bersama-sama membasmi hama pernyakit yang menyerang padi mereka. Intinya adalah menjaga kekompakkan dan semangat gotong royong masyarakat desa.

Penanaman padi masih sangat sederhana dan tradisional, padi ditanam tidak menggunakan pupuk atau bahan kimia lain yang umumnya digunakan oleh petani-petani lain. Saat musim menanam padi, masyarakat desa selalu berpatokan pada bintang. Kalau bintang wuluku sudah keluar, nah barulah penanaman padi akan dilakukan. Para petani juga sebelumnya sudah menyiapkan lantaya atau tempat penyimpanan padi sebelum dinaikan ke keleyuet atau lumbung nantinya. Namun sayangnnya tradisi itu tidak bertahan berapa lama, dunia luar mulai merambah ke desa-desa dan mempengaruhi prilaku masyarakat. Kini, desa tak lagi menjadi desa sebagimana yang diharapkan oleh para leluhur. Perlahan desa mulai meninggalkan kebiasan-kebiasaan adat mereka. Para orang tua pun tak lagi mengajarkan banyak hal pada anak-anak mereka tentang pentingnya pertanian dan bagaimana pola tanam padi itu dilakukan. Tidak lagi ada generasi dari petani-petani kita saat ini. Muda-mudi telah meninggalkan pertanian hanya untuk mendapatkan kemewahan hidup yang tak pasti.

Seorang tokoh masyarakat di desa Kiara Pandak berkisah tentang kondisi desa saat ini. Menurutnya, hal itu karena kurangnya kedisiplinan para orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Sehingga masyarakat desa terutama yang anak-anak muda pindah ke kota demi untuk mencari suatu pekerjaan yang menjanjikan. Tidak sedikit dari anak-anak muda itu menggeluti satu profesi yang unik, dengan menjadi musisi jalanan. Maksudnya sebagai pengamen yang naik turun angkot. Tak ada pilihan mereka ditengah keterbatasan ekonomi keluarga dan kurangnya sumber daya manusia yang dimilki. Berbeda dengan kaum perempuan desa, kebanyakan mereka masuk kota dengan memilih tinggal dirumah –rumah mewah, yang disetiap sudut rumah terdapat CCTV, di kelilingi pagar kawat berduri, atau didepan rumah itu ada seekor anjing herder. Yah, mereka terpaksa harus berkerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) yang kerap kali mendapat perlakuan kasar dari para majikan.

Dengan melihat kondisi orang-orang desa di kota, lalu dengan ramai-ramai orang kota mengambil satu kesimpulan bahwa masyarakat desa selalu terbelakang dari masyarakat kota. Bahwa cara berpikir orang kota lebih canggih ketimbang orang desa. Bahwa dikota selalu dekat dengan kemewah dari pada di desa. Kemungkinan besar, hal inilah yang merubah pola pikir masyarakat desa dengan memilih pindah ke kota ketimbang memiilih bertani. Tanah dan sawah dijual untuk membangun rumah ditengah kota, tanah dan sawah dijual untuk membeli sepeda motor demi memenuhi keinginan sang anak tersayang, dan masih banyak lagi alasan-alasan mereka kenapa harus meninggalkan tradisi menanam di desa. “ngapainlah capek-capek tani, udah ja jual tuh sawah, beli’in motor”. kata bapak itu mencontohkan anak-anak muda di desa. Lanjut bapak itu dengan gaya kritiknya, “sepeda motor mah, semakin lama semakin karatan. Nah, kalau sawah. Semakin lama semakin bagus uey, tanahnya semakin subur”.

Mungkin ini maksud dari rasionalitas itu. Rasionalitas nilai kerja masyarakat desa yang memilih berkerja sebagai petani demi mendapatkan nafkah penghidupan (livelihood) dan mempertahankan tradisi menanam untuk kesejahteraan mereka. Kalau kita menggunakan pendekatan teori tindakan dari Max Weber, dimana tindakan sosial merupakan cara dalam menganalisa bagaimana suatu tindakan sekelompok orang atau masyarakat memiliki korelasi positif terhadap produk tindakan. Kita tahu, bahwa teori sosiologi klasik menempatkan evolusi masyarakat sebagai titik tolak bangunan teoritisnya, sebagaimana kita melihat perhatian Max Weber disini. Weber sangat serius dalam hal memahami kecenderungan tindakan atau motivasi yang dilakukan oleh subyek dalam memutuskan pilihan. Keyakinan Weber bahwa setiap tindakan atau keputusan yang dilakukan oleh salah satu individu bisa ditemukan makna obyektifitasnya.

Konsepnya tentang rasionalitas sebagai suatu metode analisa untuk mengurai arti atau tindakan dari setiap individu di dalam bertindak atau dalam memutuskan pilihan menjadi kerangka acuan bersama secara luas dimana aspek-aspek subyektif perilaku dapat dinilai secara obyektif. Meskipun teori ini paling banyak di pengaruhi oleh ilmu ekonomi, tetapi teori pilihan rasional dalam sosiologi berbeda dengan yang diterapkan dalam ilmu ekonomi. Dalam Economy and Society, Weber menetapkan garis pemisah antara ekonomi dan sosiologi ekonomi dengan mengajukan tiga unsur, yaitu (1) bahwa tindakan ekonomi adalah tindakan sosial; (2) tindakan ekonomi selalu melibatkan makna; (3) tindakan ekonomi selalu memperhatikan kekuasaan (Damsar, 2002).

Pemahaman Weber tentang tindakan rasional. Menurutnya, tidak semua perilaku dapat dimengerti sebagai manifestasi dari rasionalitas. Weber membagi tindakan rasional menjadi dua, yaitu rasionalitas instrumental dan rasionalitas yang berorientasi nilai. Rasionalitas instrumental merupakan rasionalitas paling tinggi yang meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar, berhubungan dengan tujuan tindakan, serta alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Sedangkan rasionalitas yang berorientasi pada nilai yaitu rasionalitas yang tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau merupakan nilai akhir baginya. Sementara alat-alat hanya sebagai obyek pertimbangan dan perhitungan secara sadar semata. Secara spesifik tindakan sosial menganalisa masyarakat dari segi pelakunya, tujuan-tujuannya, situasinya, norma-norma, makna yang ada didalamnya.

***

MENJELANG siang dirumah seorang tokoh masyarakat desa Kiara Pandak. Perbincangan masih berlanjut, bapak itu masih berbicara soal pertanian. Menurutnya, ada beberapa masalah yang dihadapi oleh petani-petani di desa ini. Misalnya, banyaknya lahan yang tidak digarap menjadi lahan produktif itu karena kebanyakan masyarakat desa menjual tanah mereka pada pengusaha. Kemudian setelah terbeli oleh pengusaha, tanah itu tidak di jadikan apa-apa. Rupanya pengusaha-pengusaha yang membeli tanah itu hanya mau berinventasi saja, tanpa mau menggarapnya. Tentu ini akan berdampak pada lambatnya pertumbuhan ekonomi masyarakat desa. Masalah lain adalah ketidakjelasan status kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah sehingga hal ini menyulitkan masyarakat dalam memanfaatkannya.   



Kemudian dari masalah lahan tadi, bapak itu merasakan betul perubahan perilaku masyarakat desa di banding dulu. Masyarakat desa yang mulai meninggalkan kebiasaan-kebiasaan adat. Masyarakat yang makin individualis dan meninggalkan kebiasaan saling membantu dan berkerjasama. Menurut bapak itu, kalau orang sunda bilang manusia sekarang itu sudah pangalitan, artinya setiap sikap maupun prilaku tidak sesuai dengan keadaan. Seharusnya, masyarakat tidak menjadi konsumtif dengan membeli kebutuhan dari luar. Kebutuhan di desa sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Misalkan untuk makan sehari-hari, ada beras, ada sayur, ada ikan dan lain sebagainya. Padahal disaat bersamaan, masyarakat kota mencari kebutuhan mereka di desa. Sebab, apa yang mereka makan sehari-hari dikota itu, asalnya dari desa, hasil kerja dan keringat petani-petani kita.

Memang, beberapa masyarakat desa masih memegang teguh adat dan mempertahankan kebiasaan bertani mereka. Kalaupun ada perubahan, itu datangnya dari penyuluh pertanian pemerintah dalam hal ini dinas-dinas terkait. Toh masyarakat masih menyesuaikan dengan tradisi yang mereka yakini selama ini. Misalnya, penanaman padi secara serempak, tata cara pengobatan dan lain sebagainya. Yah, semoga apa yang menjadi harapan masyarakat desa, harapan kita semua, desa tidak lagi dipersepsikan sebagai yang terbelakang, tertinggal dari kehidupan mereka yang di kota yang dianggapnya lebih sejahtera. Semoga saja tak ada lagi yang namanya “soma-soma” yang artinya memanfaatkan budaya para leluhur (adat), dari para “bangsat berdasi” yang kerap kali merusak budaya masyakarat desa.


Bogor, 21 November 2015

0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts