MENJELANG berakhirnya perkuliahan semester pertama tahun ini dan memasuki Ujian Akhir Semester (UAS), saya mencoba membuat catatan ringkas sebagaimana permintaan bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS sebagai dosen mata kuliah Epistema.
Terhitung sejak memasuki minggu ketujuh, perkuliahan ini telah dianggap selesai. Dengan catatan, setiap mahasiswa diharuskan membuat tugas menelaah disertasi atau tesis. Tugas tersebut diberikan sebagai nilai di Ujian Akhir Semester (UAS). Dalam semester ganjil tahun pertama kuliah, mata kuliah Epistema (Peta) Filsafat Ilmu Sosial menjadi mata kuliah wajib bagi mahasiswa (S2/S3) program studi Sosiologi Pedesaan Fakultas Ekologi Manusia IPB. Mereka yang membawakan mata kuliah ini adalah; Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, Dr. Djuara Lubis, MS, Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS, DEA. Ketiga dosen tersebut merupakan “jebolan” luar negeri yang kemampuan mengajarnya sudah mumpuni.
***
DI pertemuan pertama perkuliahan, para pengajar terlebih dulu menjelaskan garis-garis besar program pengajaran. Dengan deskripsi, bahwa mata kuliah tersebut merupakan mata kuliah matrikulasi. Pertama, Menjelaskan trajektori dan eksistensi ilmu-ilmu sosial khususnya Sosiologi Pedesaan sebagai sains. Kedua, Memperdalam pemahaman tentang arkeologi pengetahuan, pembentukan logika baru, dinamika ilmu-ilmu sosial, pribumisasi ilmu sosial di Indonesia, kontestasi pengetahuan, sikap ilmiah, dan etika pembebasan. Mata kuliah ini juga memberikan penjelasan terkait ontologi, epistemologi, hingga aksiologi ilmu-ilmu sosial khususnya Sosiologi Pedesaan. Ketiga, Menjelaskan Sosiologi Pedesaan dalam ilmu-ilmu sosial. Selanjutnya juga menjelaskan paradigma-paradigma dalam ilmu-ilmu sosial mulai dari Positivistik, Post-Positivistik, Konstruktivisme, Kritis, hingga Partisipatoris.
Setelah mengikuti mata kuliah ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami ontologi, epistemologi hingga aksiologi Sosiologi Pedesaan dan posisi Sosiologi Pedesaan dalam ilmu-ilmu sosial. Serta mampu melakukan refleksi atas posisi diri dalam peta Ilmu Sosial yang berlandaskan etika moral. Selama perkuliahan epistema berlangsung, tugas-tugas yang diberikan lebih pada membuat paper atau makalah. Saya menganggap tugas-tugas mata kuliah yang diberikan selama ini bukanlah beban yang harus dipikul dengan sangat terpaksa. Meskipun sebenarnya, di awal-awal kuliah semester pertama ini saya harus bisa menyesuaikan iklim belajar di IPB yang intensitas belajarnya cukup tinggi bila dibandingkan dengan kampus saya dulu semasa S1. Sejak duduk di bangku S2, saya bisa merasakan betul nuansa akademik begitu kental. Disini ilmu pengetahuan di bentang luas demi memahamkan materi-materi kuliah kepada setiap mahasiswa. Disni kita semua ditempa untuk bisa belajar dengan baik. Pada mata kuliah ini, Prof. Dr. Endriatmo Soetarto lebih dulu memabawakan materi kuliah Epistema.
Diawal, beliau menjelaskan refleksi atas konstruksi pengetahuan, filsafat dan pemikiran sosial hingga pergeseran ilmuwan sosial dari “pro Negara ke yang “pro Masyarakat” serta bagaimana Negara dan Ilmu Sosial di Asia Tenggara. Di akhir pertemuan kuliah bersama Prof Amo (sapaan akrab), beliau sempat menjelaskan Relevansi Sosial atau Relevansi Intelektual sebagaimana juga banyak dijelaskan dalam buku Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan karya Ignas Kleden. Setelah beberapa kali pertemuan, Prof Amo diganti dengan bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS. Pak Djuara kembali memperdalam materi ini dengan pokok bahasan Epistemologi Sains Sosial. Materi ini akan memetakan posisi paradigma dalam penelitian sosial. Beliau memahamkan ke setiap mahasiswa bahwa pentingnya paradigma sebagai kacamata dalam melakukan penelitian. Sebagaimana yang dijelaskan Kuhn (1962) bahwa paradigma adalah perangkat cara pikir dan cara pandang yang di dalamnya terdapat pola yang telah mapan menjiwai tata pikir dan tata laku seorang manusia (dalam hal ini ilmuwan) dalam melihat dan merespon suatu fenomena. Paradigma memiliki implikasi yang luas terhadap posisi ilmuwan dalam peta perkembangan ilmu pengetahuan, karena paradigma ibarat template berfikir yang di dalamnya berisi hukum, nilai, teori, model, hingga konsekuensi metodologis yang harus dilakukan oleh ilmuwan dalam kerangka ilmiah. Paradigma ini kemudian mapan karena diakui, digunakan, dan dipertahankan dalam komunitas ilmiah yang meyakini akan kebenaran paradigma itu sendiri.
***
SEBAGAI mahasiswa baru, tentu hasrat belajar saya begitu besar. Fokus belajar masih tertuju pada setiap materi-materi kuliah. Disini, waktu menjadi sangat penting untuk semua tugas-tugas, waktu terasa sempit hingga tak ada ruang untuk santai sekedar ngobrol diwarung-warung kopi atau ada sedikit celah agar bisa “cuci mata” di mall-mall. Di masa-masa seperti itu, tidak ada “ampun” bagi kita untuk terus membaca demi memahami setiap penjelasan materi-materi perkuliahan.
Makanya, kalau stamina tidak dijaga, sudah dipastikan akan jatuh sakit dengan tangan terimpus. Pada titik ini, kesehatan menjadi sangat penting apalagi dimasa-masa perkuliahan dan dimusim-musim tugas berlangsung. Beginilah sistem pendidikan, dengan berbagai aturan main yang harus ditaati dan dijalankan. Sebuah pendidikan yang tidak sekedar memberi gelar, tapi yang paling penting adalah mampu melahirkan lulusan-lulusan berkualitas dan mumpuni. Itulah kenapa kampus ini tak ingin ada lulusannya keluar hanya dengan membawa selembar ijasah saja. Perbedaan masih terlihat begitu jelas, sistem pendidikan di wilayah barat lebih maju dan modern, sementara kita di wilayah timur masih sangat tertinggal.
Apalagi, kampus tak memberi pendidikan yang selayaknya. Beberapa kampus swasta tak ubahnya seperti “pasar rombengan” yang memperdanggangkan gelar dan selembar ijasah kepada mahasiswa. Pada akhirnya, kampus-kampus yang berorientasi bisnis itu langsung ditindak tegas dan ditutup karena dianggap sudah tidak layak. Semoga kasus ini tidak terjadi pada kampus-kampus swasta lain di negara kita. Memang, sistem pendidikan masih terlihat belum begitu baik. Pendidikan masih belum merata di Indonesia. Misalnya kita bisa melihat wajah pendidikan di daerah-daerah Indonesia bagian timur atau daerah-daerah terpencil yang pendidikannya sangat jauh tertinggal. Begitupun dengan sarana dan tenaga pengajar yang minim dan kualitasnya rendah, jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga perguruan tinggi di daerah-daerah maju lainnya di tanah air.
Kebanyakan mahasiswa yang berasal dari timur bisa merasakan cara belajar kampus-kampus besar di tanah jawa jauh lebih baik ketimbang didaerah tempat mereka belajar dulu. Mahasiswa yang kebanyakan berasal dari timur dituntut untuk bisa beradaptasi dengan kemampuan belajar mahasiswa lain, yang umumnya cara belajar mereka lebih maju dan moderen. Mau tak mau, ketertinggalan itu harus dikejar secepat mungkin. Perlahan, metode belajar mulai dirubah. Waktu-waktu luang dimanfaatkan untuk membaca dan menulis, analisis dan riset-riset lapangan kian dipertajam demi memahami setiap kasus dan masalah yang terjadi dimasyarakat, jejaring pertemanan juga mulai di bangun bersama mahasiswa-mahasiswa lain.
Di beberapa kampus ternama, para dosen mencoba untuk memahami kondisi belajar setiap mahasiswa yang berasal dari timur. Terkadang kampus memberi suatu kebijakan dalam proses penilaian. Mahasiswa-mahasiwa yang berasal dari timur Indonesia bisa dipahami kemampuan proses belajar mereka disana. Sehingga, pihak kampus melihat mereka secara arif. Perlahan tapi pasti, kemampuan mereka terus bertambah. Hal itu karena passion dan kecintaan mereka terhadap ilmu pengetahuan. Mereka mampu untuk bertahan hingga masa akhir studi, mereka selalu tampil percaya diri dan tak pernah malu dengan kemampuan yang dimilki. Bagi mereka, target yang hendak dicapai bukanlah mendapatkan hasil dan iming-iming sebuah perkerjaan. Tapi bagi mereka, kuliah adalah proses menemukan makna, makna dari semua ilmu, yang manfaatnya sangat begitu luar biasa.