Sunday, December 20, 2015

Mahasiswa Juga Manusia Biasa



“Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia”. - Soe Hok Gie

***

DUNIA begitu terbuka lebar, disaat bersamaan kebebasan hampir tiada batas. Tidak terkecuali bagi seorang mahasiswa yang selalu lantang dengan kalimat-kalimat kritis dan menentang setiap yang dianggap salah, atau yang bertentangan dengan rasio mereka. Mereka kerap disebut sebagai seorang aktivis, yang dengan berani menentang setiap kebijakan yang tidak manusiawi, kebijakan yang dinilai salah dan tidak memihak kepada rakyat kecil. Aktivis itu tidak hanya berbicara keras dipanggung demokrasi, dengan berbabagai atribut kelompok dan ikat kepala tanda perlawanan. Mereka tidak hanya mengibarkan idealis ditengah cuaca terik, meski panas sepanas api dari ban bekas yang membara diatas aspal. Meski demikian, hati mereka terus dibasahi embun dan keikhlasan untuk menyuarakan setiap kata ketidakadilan.

Sayangnnya, mimpi setiap mahasiswa itu tak selalu sama. Sebagaimana mimpi Soe Hok Gie dari sepenggal kalimat diatas. Secara naluriah, tabiat manusia memang tak selalu sama. Lingkungan dan tingkat pendidikan bisa menjadi faktor lain yang mempengaruhi perkembangan setiap individu. Kita bisa melihat dan menarik banyak contoh dari hal-hal kecil dalam sebuah organisasi, kelompok, atau komunitas. Berdinamika dalam sebuah kelompok mahasiswa akan sangat menarik jika frame nya adalah ilmiah dan akademis. Sebagaimana berdebatan ilmiah diantara para scientists soal temuan-temuan mereka. Kita terlalu lama berada dalam sebuah "tempurung" kecil dengan style dan cara lama yang tak progres. Sementara diluar sana, manusia-manusia dengan masif terus bergerak dengan cepat demi kemajuan dan perkembangannya.   

Era reformasi telah lama berlalu dengan meninggalkan banyak perubahan dalam tatanan pemerintahan. Reformasi telah melahirkan banyak generasi aktivis-aktivis jalanan. Mulai dari kelompok mahasiswa sampai kelompok masyarakat sipil atau Buruh. Meskti begitu, setiap kebebasan telah diatur dalam konstitusi negara kita. Seperti halnya, kebebasan setiap mahasiswa dalam institusi pendidikan. Hak mereka adalah belajar, tetapi hak-hak mereka menuntut pendidikan akan bisa terwujud jika kewajiban mereka membayar telah terbayar. Pendidikan tak selalu gratis, sama halnya ketika penyedia toilet mengharuskan setiap orang untuk membayar fasilitas yang telah kita gunakan. Semakin tinggi pendidikan yang ingin dicapai, semakin besar biaya yang hendak kita keluarkan.

Tetapi, apakah kita harus dibelenggu dengan masalah biaya pendidikan. Apakah karena merasa tak mampu, maka kita sudah merasa puas. Padahal, ada banyak ruang dan peluang dari program bantuan pendidikan yang telah disediakan pemerintah. Semua kembali pada diri masing-masing. Apakah kita sudah siap “membuang diri” dan mencoba untuk keluar dari zona nyaman lalu mencari hal baru yang menantang. Sekuat apa usaha kita untuk menaiki setiap tapak demi tapak jalan menanjak itu, apakah genggaman mimpi itu sudah benar-benar kuat hingga tak ada celah untuk keluar. Jika telah siap, kenapa harus menundanya. Kenapa harus menunggu matahari terbit untuk bangkit dari pembaringan. Kenapa harus malu dengan matahari yang sudah terlanjur bersinar. Bergeraklah dan jangan menunggu langit gelap, jangan menunggu matahari kembali keperaduannya. Jangan menunggu lama kawan, jangan sampai matahari tak nampak lagi menyinari alam raya ini. Jika matahari sudah tidak berjalan sebagaimana mestinya, itu pertanda kehidupan akan berakhir.

Dari kutipan dalam buku Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie diatas hendaklah dipahami penuh makna, demi membentang wawasan kita yang telah lama kaku hingga menimbulkan banyak sekat-sekat kelompok. Sebaiknya kita mengingat kembali pesan-pesan para leluhur yang sungguh bijak itu, agar kita tak selalu hebat dalam memandang orang lain. Kita bisa saling mengingatkan ketika itu salah, tanpa harus menebar fitnah dan mencari kesalahan. Sebab, disisi lain kita selalu lemah karena tak bersatu dan tak saling membesarkan. Kita selalu merasa hebat didepan orang-orang yang tak banyak tahu. 

Kita terlihat dengan kebiasaan berbicara secara terbuka, tanpa disaring lebih dulu mana yang pantas dan tidak pantas. Kita selalu merasa tahu segala-galanya, tetapi justru semakin mempertebal keangkuhan diri kita sendiri. Seharusnya kita bisa lebih teduh dan menunduk meski jabatan, karier atau nama telah meninggi. Kita bisa melihat padi, setinggi apapun tumbuhan itu tetap saja akan membungkuk karena beban dari sebuah tanggungjawab.

“Sebagai bahan refleksi diakhir tahun 2015. Sampai jumpa di tahun 2016, semoga bisa lebih baik demi mengejar mimpi-mimpi”


Jakarta, 20 Agustus 2015   

0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts