“Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia”. - Soe Hok Gie
***
DUNIA begitu terbuka lebar, disaat bersamaan kebebasan hampir
tiada batas. Tidak terkecuali bagi seorang mahasiswa yang selalu lantang dengan
kalimat-kalimat kritis dan menentang setiap yang dianggap salah, atau yang
bertentangan dengan rasio mereka. Mereka kerap disebut sebagai seorang aktivis,
yang dengan berani menentang setiap kebijakan yang tidak manusiawi, kebijakan
yang dinilai salah dan tidak memihak kepada rakyat kecil. Aktivis itu tidak
hanya berbicara keras dipanggung demokrasi, dengan berbabagai atribut kelompok
dan ikat kepala tanda perlawanan. Mereka tidak hanya mengibarkan idealis
ditengah cuaca terik, meski panas sepanas api dari ban bekas yang membara
diatas aspal. Meski demikian, hati mereka terus dibasahi embun dan keikhlasan
untuk menyuarakan setiap kata ketidakadilan.
Sayangnnya, mimpi setiap mahasiswa itu tak selalu sama. Sebagaimana
mimpi Soe Hok Gie dari sepenggal kalimat diatas. Secara naluriah, tabiat manusia
memang tak selalu sama. Lingkungan dan tingkat pendidikan bisa menjadi faktor
lain yang mempengaruhi perkembangan setiap individu. Kita bisa melihat dan
menarik banyak contoh dari hal-hal kecil dalam sebuah organisasi, kelompok,
atau komunitas. Berdinamika dalam sebuah kelompok mahasiswa akan sangat menarik
jika frame nya adalah ilmiah dan
akademis. Sebagaimana berdebatan ilmiah diantara para scientists soal temuan-temuan mereka. Kita terlalu lama berada
dalam sebuah "tempurung" kecil dengan style
dan cara lama yang tak progres. Sementara diluar sana, manusia-manusia
dengan masif terus bergerak dengan cepat demi kemajuan dan perkembangannya.
Era reformasi telah lama berlalu dengan meninggalkan banyak
perubahan dalam tatanan pemerintahan. Reformasi telah melahirkan banyak
generasi aktivis-aktivis jalanan. Mulai dari kelompok mahasiswa sampai kelompok
masyarakat sipil atau Buruh. Meskti begitu, setiap kebebasan telah diatur dalam
konstitusi negara kita. Seperti halnya, kebebasan setiap mahasiswa dalam
institusi pendidikan. Hak mereka adalah belajar, tetapi hak-hak mereka menuntut
pendidikan akan bisa terwujud jika kewajiban mereka membayar telah terbayar. Pendidikan
tak selalu gratis, sama halnya ketika penyedia toilet mengharuskan setiap orang
untuk membayar fasilitas yang telah kita gunakan. Semakin tinggi pendidikan
yang ingin dicapai, semakin besar biaya yang hendak kita keluarkan.
Tetapi, apakah kita harus dibelenggu dengan masalah biaya
pendidikan. Apakah karena merasa tak mampu, maka kita sudah merasa puas. Padahal,
ada banyak ruang dan peluang dari program bantuan pendidikan yang telah
disediakan pemerintah. Semua kembali pada diri masing-masing. Apakah kita sudah
siap “membuang diri” dan mencoba untuk keluar dari zona nyaman lalu mencari hal
baru yang menantang. Sekuat apa usaha kita untuk menaiki setiap tapak demi
tapak jalan menanjak itu, apakah genggaman mimpi itu sudah benar-benar kuat
hingga tak ada celah untuk keluar. Jika telah siap, kenapa harus menundanya. Kenapa
harus menunggu matahari terbit untuk bangkit dari pembaringan. Kenapa harus malu
dengan matahari yang sudah terlanjur bersinar. Bergeraklah dan jangan menunggu langit
gelap, jangan menunggu matahari kembali keperaduannya. Jangan menunggu lama
kawan, jangan sampai matahari tak nampak lagi menyinari alam raya ini. Jika matahari
sudah tidak berjalan sebagaimana mestinya, itu pertanda kehidupan akan
berakhir.
Dari kutipan dalam buku Catatan Seorang Demonstran karya Soe
Hok Gie diatas hendaklah dipahami penuh makna, demi membentang wawasan kita
yang telah lama kaku hingga menimbulkan banyak sekat-sekat kelompok. Sebaiknya
kita mengingat kembali pesan-pesan para leluhur yang sungguh bijak itu, agar
kita tak selalu hebat dalam memandang orang lain. Kita bisa saling mengingatkan
ketika itu salah, tanpa harus menebar fitnah dan mencari kesalahan. Sebab,
disisi lain kita selalu lemah karena tak bersatu dan tak saling membesarkan. Kita
selalu merasa hebat didepan orang-orang yang tak banyak tahu.
Kita terlihat dengan
kebiasaan berbicara secara terbuka, tanpa disaring lebih dulu mana yang pantas
dan tidak pantas. Kita selalu merasa tahu segala-galanya, tetapi justru semakin
mempertebal keangkuhan diri kita sendiri. Seharusnya kita bisa lebih teduh dan
menunduk meski jabatan, karier atau nama telah meninggi. Kita bisa melihat
padi, setinggi apapun tumbuhan itu tetap saja akan membungkuk karena beban dari
sebuah tanggungjawab.
“Sebagai bahan refleksi diakhir tahun 2015. Sampai jumpa di
tahun 2016, semoga bisa lebih baik demi mengejar mimpi-mimpi”
Jakarta, 20 Agustus 2015
0 komentar:
Post a Comment