PERHELATAN Pilkada Serentak 9 Desember 2015 sudah berakhir.
Pesta demokrasi lokal berskala “nasional” kali ini membawa warna baru dalam
pemilihan kepala daerah di tanah air. Tentu, kebijakan pemerintah
menyelenggarakan Pilkada serentak telah melalui pertimbangan dan beberapa
faktor. Diantaranya adalah untuk menimalisir konflik-konflik yang sering
terjadi dan efisiensi penggunaan anggaran Pilkada. Namun, apakah setiap
perjalanan Pilkada bisa berjalan dengan baik tanpa ada kecurangan serta konflik
yang selalu melibatkan kebanyakan masyarakat kita? Tentu hal ini bisa terlihat
dari kedewasaan berpolitik dan berdemokrasi kita hari ini. Dari 9 Provinsi 36
Kota dan 224 Kabupaten yang menyelenggarakan Pilkada serentak gelombang pertama
9 Desember 2015 lalu, setidaknya da lima dari Provinsi Sulawesi Tenggara, salah
satunya adalah Kabupaten Muna. Meski pesta demokrasi telah selesai, namun
pertarungan kedua Pasangan Calon (Paslon) masih berlanjut sampai ditingkat
Mahkamah Konstitusi (MK).
Betapa tidak, dari tiga Pasangan Calon yang bertarung di
kabupaten Muna yakni, Paslon nomor urut 1 Rusman Emba-Malik Ditu memperoleh
47.434 suara, kemudian Paslon nomor urut 2 Arwaha Ady Saputra-La Ode Samuna
memperoleh 5.408 suara, dan Paslon nomor urut 3 LM. Baharuddin-La Pili memperoleh
47.467 suara. Melihat perbedaan perolehan suara begitu tipis 33 suara antara
Paslon nomor urut 1 dengan Paslon nomor urut 3, maka perjalanan Pilkada
Kabupaten Muna berujung sengketa di MK. Di Mahkamah Konstitusi, sidang
pembacaan putusan 147 permohonan gugatan perselisihan hasil pemilihan kepala
daerah 2015 telah diselesaikan. Dari jumlah tersebut, hanya 7 daerah yang
diterima untuk dilanjutkan ke sidang pokok perkara ditambah satu yakni
Kabupaten Halmahera Selatan diminta untuk melakukan penghitungan suara ulang.
Ketujuh daerah tersebut yakni; Kabupaten Muna, Kabupaten
Teluk Bintoni, Kabupaten Mamberamo Raja, Kabupaten Bangka Barat, Kabupaten
Kuantan Singingi, Kabupaten Kepulauan Sulaa, dan Kabupaten Solok. Dari jadwal
yang ditetapkan, sidang MK akan digelar pada 1 - 2 februari 2016 mendatang.
Gonjang-ganjing pasca pemilihan kepala daerah yang berujung sengketa sudah
seringkali terjadi dan menjadi tontonan kita bersama. Hasil perhitungan yang
dilakukan KPUD sebagai penyelenggara pemilihan ditingkat daerah bukanlah akhir
dari pertarungan dan menjadi kemutlakan. Sepanjang Undang-Undang memberi
kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan konflik-konflik
Pilkada, maka dititik itu MK selalu ramai dari laporan dugaan kecurangan di
setiap pemilihan kepala daerah.
Fenomena yang terjadi di Pilkada Muna misalnya, salah satu
pasangan calon Rusman Emba-Malik Ditu telah melaporkan dugaan kecurangan
berdasarkan data-data dan temuan yang mereka dapatkan dilapangan. Ada beberapa
persoalan yang menjadi dasar untuk disengketakan. Sebelumnya, pasangan calon
Rusman Emba-Malik Ditu juga pernah melaporkan kecurangan itu ke Panwas
Kabupaten Muna dan telah ditanggapi dengan dikeluarkannya rekomendasi
pemungutan suara ulang (PSU) dibeberapa tempat. Tetapi, hal itu bertentangan
dengan PKPU Nomor 2 Tahun 2015, dimana PSU sudah tidak bisa diulang lagi sebab
waktunya telah lewat. Tidak hanya itu, KPUD juga dinilai melanggar amanat PKPU
Nomor 2 Tahun 2015.
Hal tersebut terlihat ketika KPUD melebihi waktu dalam
melakukan tahapan dari jadwal yang sudah ditentukan. Kini, sekelumit persoalan
pemilihan kepala daerah Kabupaten Muna telah masuk dalam agenda sidang di
Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk
menyelesaikan setiap sengketa dalam Pilkada. Masuknya nama kabupaten Muna di
MK, sebagai salah satu daerah yang bersengketa dalam Pilkada, memberi tugas
tambahan bagi pihak penyelenggara. Perolehan suara terbanyak yang diraih Paslon
nomor urut 3 LM. Baharuddin dan La Pili pada posisi ini belum dipastikan aman. Sebab,
berbagai kemungkinan bisa saja terjadi, tergantung bagaimana MK melihat dan
memutuskan siapa yang berhak memenangkan pertarungan Pilkada di Kabupaten Muna
nanti. Disisi lain, tidak sedikit publik menilai miring MK dalam menangani
setiap kasus-kasus sengketa yang masuk. Rupanya, citra MK masih belum begitu
baik dimata publik karena sempat rusak akibat ulah mantan Hakim MK Akil Mochtar
yang memainkan sejumlah Pilkada yang bersengketa di MK termasuk didalamnya
Pilkada Kabupaten Buton yang juga dari Sultra. Kita sudah menyaksikan bagaimana
hakim-hakim korup memanfaatkan moment ini sebagai bisnis dalam praktik politik.
Apakah itu akan terulang lagi? Entahlah. Yang jelas, sepandai apapun tupai
melompat pasti akan terjatuh. Secerdik apapun korupsi yang mereka lakukan,
suatu saat akan tertangkap, diseret ke meja hijau dan mendekam di hotel prodeo.
Kini, jutaan rakyat di negri ini sangat berharap kepada MK
untuk senantiasa menjujung tinggi hukum dan tidak mencenderai nilai-nilai
demokrasi. Melihat kasus sengketa di Kabupaten Muna, ada banyak spekulasi yang
berkembang dimasyarakat. Perseturuan antara Paslon nomor urut 1 dan nomor urut
3 tidak hanya terjadi dilevel elit, namun juga terjadi di dalam kubu masyarakat
yang mendukung pasangan ini. Berbagai kemungkinan buruk bisa saja terjadi.
Ketika keputusan MK tidak bisa diterima dengan lapang dada dan suhu politik
meninggi, maka yang terjadi adalah konflik horizontal. Konflik-konflik yang
terjadi dimasyarakat menjadi sulit terkontrol ketika rasionalitas mereka hilang
karena iming-iming dan janji politik.
Permainan wacana menjadi sangat mudah dimainkan dan
menggiring masyarakat untuk masuk dalam pusaran politik. Sementara, publik
tidak begitu paham dengan apa yang terjadi dibelakang panggung. Mereka hanya
menangkap dari apa yang tampak, tanpa melakukan penelusuran lebih dalam. Mereka
hanyalah obyek yang selalu larut dalam wacana politik. Menjawab peluang siapa
yang memenangkan sengketa di MK tentu menjadi sulit bagi kita yang awam
terhadap politik. Kita hanya berharap para hakim MK bisa berkerja secara
profesional dan selalu terbuka dalam menyelesaikan setiap sengketa Pilkada.
Mahkamah Konstitusi menjadi titik terakhir ketika proses-proses demokratis
terlihat melenceng dan merugikan salah satu kontestan. Para pihak-pihak yang
bersengketa dan yang mengadukan dugaan kecurangan Pilkada ke MK tentu semua
dilatarbelakangi oleh berbagai temuan-temuan yang mereka dapat, serta dinilai
sebagai bentuk pelanggaran terhadap undang-undang.
Apalagi, ketika kekalahan itu adalah permainan oknum yang
dengan sengaja menggelembungkan suara untuk memenangkan salah satu pasangan
calon lain. Saat ini, kita juga bisa menangkap beberapa fakta dari
proses-proses penyelesaian sengketa Pilkada di MK. Bahwa Mahkamah Konstitusi
(MK) tengah melakukan perbaikan secara internal. MK pelan-pelan mulai memberi
warna dan bersikap tegas dalam menghadapi setiap kasus sengketa Pilkada yang
sekarang ditangani. Hal tersebut adalah cara untuk mengembalikan kepercayaan
publik terhadap marwah lembaga yang sebelumnya sempat tercoreng karena
hakim-hakim bermental korup. Sebagaimana harapan kita bersama, adalah dengan
melalui program Revolusi Mental yang selalu didengungkan oleh Presiden Jokowi.
Semoga, dari hasil keputusan MK nanti, pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa
Pilkada di kabupaten Muna bisa menerima itu dengan lapang dada.
0 komentar:
Post a Comment