Sunday, January 31, 2016

Babak Baru Pertarungan Pilkada Kabupaten Muna

PERHELATAN Pilkada Serentak 9 Desember 2015 sudah berakhir. Pesta demokrasi lokal berskala “nasional” kali ini membawa warna baru dalam pemilihan kepala daerah di tanah air. Tentu, kebijakan pemerintah menyelenggarakan Pilkada serentak telah melalui pertimbangan dan beberapa faktor. Diantaranya adalah untuk menimalisir konflik-konflik yang sering terjadi dan efisiensi penggunaan anggaran Pilkada. Namun, apakah setiap perjalanan Pilkada bisa berjalan dengan baik tanpa ada kecurangan serta konflik yang selalu melibatkan kebanyakan masyarakat kita? Tentu hal ini bisa terlihat dari kedewasaan berpolitik dan berdemokrasi kita hari ini. Dari 9 Provinsi 36 Kota dan 224 Kabupaten yang menyelenggarakan Pilkada serentak gelombang pertama 9 Desember 2015 lalu, setidaknya da lima dari Provinsi Sulawesi Tenggara, salah satunya adalah Kabupaten Muna. Meski pesta demokrasi telah selesai, namun pertarungan kedua Pasangan Calon (Paslon) masih berlanjut sampai ditingkat Mahkamah Konstitusi (MK).

Betapa tidak, dari tiga Pasangan Calon yang bertarung di kabupaten Muna yakni, Paslon nomor urut 1 Rusman Emba-Malik Ditu memperoleh 47.434 suara, kemudian Paslon nomor urut 2 Arwaha Ady Saputra-La Ode Samuna memperoleh 5.408 suara, dan Paslon nomor urut 3 LM. Baharuddin-La Pili memperoleh 47.467 suara. Melihat perbedaan perolehan suara begitu tipis 33 suara antara Paslon nomor urut 1 dengan Paslon nomor urut 3, maka perjalanan Pilkada Kabupaten Muna berujung sengketa di MK. Di Mahkamah Konstitusi, sidang pembacaan putusan 147 permohonan gugatan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah 2015 telah diselesaikan. Dari jumlah tersebut, hanya 7 daerah yang diterima untuk dilanjutkan ke sidang pokok perkara ditambah satu yakni Kabupaten Halmahera Selatan diminta untuk melakukan penghitungan suara ulang.

Ketujuh daerah tersebut yakni; Kabupaten Muna, Kabupaten Teluk Bintoni, Kabupaten Mamberamo Raja, Kabupaten Bangka Barat, Kabupaten Kuantan Singingi, Kabupaten Kepulauan Sulaa, dan Kabupaten Solok. Dari jadwal yang ditetapkan, sidang MK akan digelar pada 1 - 2 februari 2016 mendatang. Gonjang-ganjing pasca pemilihan kepala daerah yang berujung sengketa sudah seringkali terjadi dan menjadi tontonan kita bersama. Hasil perhitungan yang dilakukan KPUD sebagai penyelenggara pemilihan ditingkat daerah bukanlah akhir dari pertarungan dan menjadi kemutlakan. Sepanjang Undang-Undang memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan konflik-konflik Pilkada, maka dititik itu MK selalu ramai dari laporan dugaan kecurangan di setiap pemilihan kepala daerah.

Fenomena yang terjadi di Pilkada Muna misalnya, salah satu pasangan calon Rusman Emba-Malik Ditu telah melaporkan dugaan kecurangan berdasarkan data-data dan temuan yang mereka dapatkan dilapangan. Ada beberapa persoalan yang menjadi dasar untuk disengketakan. Sebelumnya, pasangan calon Rusman Emba-Malik Ditu juga pernah melaporkan kecurangan itu ke Panwas Kabupaten Muna dan telah ditanggapi dengan dikeluarkannya rekomendasi pemungutan suara ulang (PSU) dibeberapa tempat. Tetapi, hal itu bertentangan dengan PKPU Nomor 2 Tahun 2015, dimana PSU sudah tidak bisa diulang lagi sebab waktunya telah lewat. Tidak hanya itu, KPUD juga dinilai melanggar amanat PKPU Nomor 2 Tahun 2015.

Hal tersebut terlihat ketika KPUD melebihi waktu dalam melakukan tahapan dari jadwal yang sudah ditentukan. Kini, sekelumit persoalan pemilihan kepala daerah Kabupaten Muna telah masuk dalam agenda sidang di Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan setiap sengketa dalam Pilkada. Masuknya nama kabupaten Muna di MK, sebagai salah satu daerah yang bersengketa dalam Pilkada, memberi tugas tambahan bagi pihak penyelenggara. Perolehan suara terbanyak yang diraih Paslon nomor urut 3 LM. Baharuddin dan La Pili pada posisi ini belum dipastikan aman. Sebab, berbagai kemungkinan bisa saja terjadi, tergantung bagaimana MK melihat dan memutuskan siapa yang berhak memenangkan pertarungan Pilkada di Kabupaten Muna nanti. Disisi lain, tidak sedikit publik menilai miring MK dalam menangani setiap kasus-kasus sengketa yang masuk. Rupanya, citra MK masih belum begitu baik dimata publik karena sempat rusak akibat ulah mantan Hakim MK Akil Mochtar yang memainkan sejumlah Pilkada yang bersengketa di MK termasuk didalamnya Pilkada Kabupaten Buton yang juga dari Sultra. Kita sudah menyaksikan bagaimana hakim-hakim korup memanfaatkan moment ini sebagai bisnis dalam praktik politik. Apakah itu akan terulang lagi? Entahlah. Yang jelas, sepandai apapun tupai melompat pasti akan terjatuh. Secerdik apapun korupsi yang mereka lakukan, suatu saat akan tertangkap, diseret ke meja hijau dan mendekam di hotel prodeo.

Kini, jutaan rakyat di negri ini sangat berharap kepada MK untuk senantiasa menjujung tinggi hukum dan tidak mencenderai nilai-nilai demokrasi. Melihat kasus sengketa di Kabupaten Muna, ada banyak spekulasi yang berkembang dimasyarakat. Perseturuan antara Paslon nomor urut 1 dan nomor urut 3 tidak hanya terjadi dilevel elit, namun juga terjadi di dalam kubu masyarakat yang mendukung pasangan ini. Berbagai kemungkinan buruk bisa saja terjadi. Ketika keputusan MK tidak bisa diterima dengan lapang dada dan suhu politik meninggi, maka yang terjadi adalah konflik horizontal. Konflik-konflik yang terjadi dimasyarakat menjadi sulit terkontrol ketika rasionalitas mereka hilang karena iming-iming dan janji politik.

Permainan wacana menjadi sangat mudah dimainkan dan menggiring masyarakat untuk masuk dalam pusaran politik. Sementara, publik tidak begitu paham dengan apa yang terjadi dibelakang panggung. Mereka hanya menangkap dari apa yang tampak, tanpa melakukan penelusuran lebih dalam. Mereka hanyalah obyek yang selalu larut dalam wacana politik. Menjawab peluang siapa yang memenangkan sengketa di MK tentu menjadi sulit bagi kita yang awam terhadap politik. Kita hanya berharap para hakim MK bisa berkerja secara profesional dan selalu terbuka dalam menyelesaikan setiap sengketa Pilkada. Mahkamah Konstitusi menjadi titik terakhir ketika proses-proses demokratis terlihat melenceng dan merugikan salah satu kontestan. Para pihak-pihak yang bersengketa dan yang mengadukan dugaan kecurangan Pilkada ke MK tentu semua dilatarbelakangi oleh berbagai temuan-temuan yang mereka dapat, serta dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap undang-undang.


Apalagi, ketika kekalahan itu adalah permainan oknum yang dengan sengaja menggelembungkan suara untuk memenangkan salah satu pasangan calon lain. Saat ini, kita juga bisa menangkap beberapa fakta dari proses-proses penyelesaian sengketa Pilkada di MK. Bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) tengah melakukan perbaikan secara internal. MK pelan-pelan mulai memberi warna dan bersikap tegas dalam menghadapi setiap kasus sengketa Pilkada yang sekarang ditangani. Hal tersebut adalah cara untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap marwah lembaga yang sebelumnya sempat tercoreng karena hakim-hakim bermental korup. Sebagaimana harapan kita bersama, adalah dengan melalui program Revolusi Mental yang selalu didengungkan oleh Presiden Jokowi. Semoga, dari hasil keputusan MK nanti, pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa Pilkada di kabupaten Muna bisa menerima itu dengan lapang dada.

0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts