Friday, January 8, 2016

Problematika dan Romantisme Tentang Desa


DI sebuah desa terpencil di bawah kaki gunung Halimun Salak, desa yang hijau dan sejuk. Hari itu, langit tampak mulai gelap, matahari mulai ditutup dengan awan-awan tebal dan hitam. Hujan tak lama lagi akan mengguyur, sepeda motor yang kami bawa mulai melaju dengan cepat. Perjalanan menantang dengan medan yang cukup berbahaya. Jalannya menanjak, disebelahnya terdapat jurang yang begitu curam. Tak berapa jauh, kembali sepeda motor kami menuruni lembah dengan kondisi jalan tanah dan bebatuan. Tetapi perjalanan kembali terbayar dengan pemandangan yang sungguh menakjubkan. Sejauh mata memandang, kita bisa melihat bentangan sawah yang dibuat para petani serupa tangga-tangga. Saya bisa melihat dari kejauhan, kerbau-kerbau sedang membantu petani menggembala sawah. Saya juga bisa melihat, bagaimana para petani mengumpulkan beras hasil panen mereka. Padi-padi dikumpul lalu diikat seperti buah apel. Itulah kenapa mereka sering menyebutnya padi apel. 

***

WAKTU sudah memasuki siang, saat kami singgah disalah satu desa. Disitu, saya bertemu dengan beberapa orang warga. Kami berbincang-bincang disatu warung sambil menyeruput kopi sekedar menghangatkan badan ditengah cuaca dingin sehabis hujan dan masih diselimuti kabut. Mendengarkan cerita-cerita warga, beberapa dari mereka berkeja sebagai buruh tani. Masyarakat desa yang tidak memiliki lahan, memilih untuk mengelola sawah milik orang lain yang hasilnya nanti akan dibagi. Mereka lebih baik menjadi buruh tani untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. Beras-beras yang dihasilkan pun tak mampu memenuhi kebutuhan pasar. Sementara, warga lain memilih untuk berdagang yang modalnya dipinjam dari para rentenir dengan bunga berlipat-lipat.

Bisa kita rasakan, keuntungan yang didapat dari dagang kecil-kecilan itu hasilnya tak seberapa. Bahkan beberapa warga “gulung tikar” karena hasil dari penjualan tak bisa didapat. Lain hal dengan mereka yang berkerja sebagai gurandil atau penambang ilegal pertambangan emas dibawah kaki gunung pongkor. Sejak masuknya PT Antam di Desa Bantarkaret Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Masyarakat dari berbagai daerah mulai berdatangan. Mereka tidak hanya datang menambang secara sembunyi-sembunyi, namun juga membangun camp sebagai rumah-rumah mereka. Ditempat itu tidak hanya diramaikan para pendatang yang mencari emas, tapi juga para pedagang yang datang membuka lapak-lapak jualan. Tak disangka, tempat itu kini serupa kampung dengan berbagai aktivitas. Sesekali juga tempat itu diramaikan oleh aparat penegak hukum berbaju cokelat yang meminta jatah dari para penambang ilegal (gurandil). 

Diantara orang-orang yang menemani saya bercerita saat itu, seorang bapak mengaku sebagai gurandil dengan pengalaman pernah mencari emas dibeberapa daerah yang memiliki tambang emas. Bapak itu mulai menggeluti pekerjaan gurandil sejak dua puluh tahun silam. Ia sudah merasakan pahit manisnya menambang dari satu daerah ke daerah lain. Salah satu daerah yang pernah dikunjunginya adalah Kabupaten Bombana, satu daerah di Sulawesi Tenggara. Ia berkisah tentang bagaimana suka dukanya menjadi seorang penambang liar dengan resiko yang begitu tinggi. Ia bercerita bagaimana menyusuri lorong-lorong sempit dan tinggal selama berhari-hari dalam terowongan tambang. Ia juga bercerita tentang pengalaman pahit melihat teman-temannya yang tewas tertimbun tanah saat sedang mencongkel emas. Meski pengalamannya begitu menyeramkan, ia tak pernah takut dan kapok untuk terus menambang. Dan mungkin, kegiatan menambang itu sudah menjadi bagian dari dirinya. Pekerjaan yang memacu adrenalin dengan tantangan-tantangan berat. “Meskipun sudah puluhan tahun menggurandil, tapi kehidupan saya masih biasa-biasa saja”, ucapnya. 

Sejak perusahan masuk dan mengekspoitasi tambang emas, prilaku hidup masyarakat desa mulai berubah. Pekerjaan yang tadinya ke sawah dan ke kebun mulai ditinggalkan demi satu pekerjaan yang belum tentu bisa membawa keberkahan. Demi “Kilau Emas” yang nilai keuntungannya bisa lebih besar dari nilai bulir-bulir beras. Secara perlahan, masyarakat disekitar tambang mulai meninggalkan kebiasaan-kebiasaan mereka dalam adat. Beberapa tokoh dan pemimpin di desa memilih untuk berkongsi dengan para kapital demi mempertahankan peran-peran penting dan untuk mendapatkan keuntungan lebih besar dari pertambangan. Tanpa harus berkerja susah payah menggarap sawah atau tanpa harus menunggu lama padi-padi mereka panen. Praktis, mereka lebih baik menjual tanah dan sawah kepada para pengusaha dengan harga tak seberapa. Praktis, mereka lebih baik berkerjasama dengan pemerintah yang memperbolehkan perusahaan menambang diatas tanah-tanah leluhur mereka hanya karena iming-iming kemakmuran dan kesejahteraan. 

Di desa itu, tradisi menanam mulai ditinggalkan. Secara perlahan masyarakat desa pun berubah menjadi masyarakat yang konsumtif. Mereka lebih baik membeli beras, cabe, singkong, sayur, atau tempe di mall-mall ketimbang capek-capek menanam dan memproduksinya sendiri. Saat ini, fenomena sosial seperti kemiskinan merupakan salah satu fokus perhatian para peneliti. Dengan dasar bahwa pembangunan suatu negara tidak hanya dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi saja, melainkan juga harus dilihat dari segi pemerataan pembangunan itu sendiri sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan suatu negara. Ketidakmerataan dalam suatu pembangunan nasional sesungguhnya tidak terbatas dari masalah kemiskinan saja. Golongan masyarakat miskin muncul sebagai akibat perubahan struktur ekonomi menuju modern yang tidak seimbang. Jika dalam suatu pembangunan mengabaikan pemerataan ekonomi maka dampak yang timbul dari pembangunan tersebut adalah masalah-masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial.

***

DALAM studi-studi Sosiologi Ekonomi yang pernah dilakukan, sebagian besar studi diarahkan terhadap bagaimana masyarakat memenuhi kebutuhan dan mencapai kemakmuran atau kesejahteraan. Topik itu sering tidak terpisahkan dengan topik-topik kemiskinan yang menjadi fokus perhatian studi Sosiologi Ekonomi. Sosiolog Klasik seperti Weber dan Durkheim memfokuskan bidang studi ini tentang bagaimana aktor atau masyarakat memenuhi kebutuhan hidup mereka. 

Mengenai konsep aktor, penjelasan transaksi ekonomi semuanya dilandasi individualisme. Hal ini juga yang mendasari pemikiran Adam Smith dalam karyanya “An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations” bahwa motif manusia melakukan kegiatan ekonomi didasari oleh interes pribadi. Motif kepentingan individu yang didorong aliran pemikiran liberalisme akhirnya melahirkan sistem ekonomi pasar bebas yang berkembang menjadi sistem ekonomi kapitalis. Hal inilah yang memiliki perbedaan dari sudut pandang sosiologi. Para ekonom cenderung menganggap tindakan ekonomi dapat ditarik dari hubungan antara preferensi selera dengan harga ataupun jasa pada sisi lainnya. Sementara pandangan sosiolog memberi makna tindakan aktor yang dikonstruksi secara historis. 

Ketika kita mengaitkan dengan melihat perspektif para sosiolog klasik tentang masyarakat modern, mereka mempelajari melalui analisis komparasi dengan masyarakat pra modern atau dikenal dengan masyarakat tradisionil. Marx melihat masyarakat modern dari perspektif ekonomi kapitalisnya, Weber melihat adanya perubahan rasionalisasi menjadi rasionalisasi formal, dan Durkheim melihat adanya peningkatan solidaritas organik dan menurunnya kesadaran kolektif. Kemudian dari perspektif ketiga embah sosiolog itu, mereka mengkhawatirkan arah dan sisi negatif masyarakat modern. Sisi-sisi negatif yang dimaksud adalah; ketika Marx melihat pada alienasi dan eksploitasi yang dialami kalangan buruh, ketika Weber mengkhawatirkan penjara besi rasionalitas (iron cage rasionality), dan ketika Durkheim mengkhawatirkan anomie yang dialami masyarakat karena begitu cepatnya perubahan yang tidak bisa selalu diikuti oleh semua orang. Sama halnya ketika para sosiolog modern seperti, Anthony Giddens, Ulrich Beck, Georde Ritzer, Zygmunt Bauman dan Habermas menggambarkan masyarakat modern. 

*** 

DALAM perjalanan saya ke desa-desa dibawah kaki gunung itu, saya melihat ada beberapa desa yang telah berubah sebagaimana pemahaman kita tentang desa. Bahwa desa yang masyarakatnya masih saling bahu membahu dalam berkerjasama. Desa yang alamnya masih terjaga serta bagaimana petani-petani memanfaatkan lahan untuk bertani dan berkebun. Bahwa desa sebagaimana desa dengan nilai-nilai budaya serta norma-norma yang masih terpelihara. Namun karena perkembangan yang semakin maju, desa tak mampu membendung laju modernisasi. Modernisasi berhasil menggerus segala aspek kehidupan masyarakat. Yang pada akhirnya, desa-desa “jebol” karena tak mampu menahan derasnya arus kapitalisasi yang mulai merambah dan mendominasi struktur-struktur di desa. Desa semakin terpuruk, masyarakatnya menjadi “budak” di negeri sendiri.

Mungkinkah, tema-tema yang selalu hadir tentang membangun desa, atau tentang sejumlah program-program pemberdayaan yang turun langsung dimasyarakat ini tak mampu lagi memberi perubahan sebagaimana masyarakat desa harapkan. Apakah mungkin ini hanya sebuah romantisme ketika kita berbicara tentang desa. Harapan kita terlalu besar untuk mempertahankan desa sebagaimana desa dimasa-masa lalu, yang alamnya masih perawan, yang masyarakatnya masih bergotong royong, yang disana-sini ada sawah, kebun dan aliran sungai. Sayangnya, saat ini kita terlanjur mempersepsikan desa itu miskin, masyarakatnya terbelakang dan jauh dari moderniasi. Kita terlalu cepat mengambil satu kesimpulan bahwa di desa itu identik dengan kemiskinan dan masyarakatnya tak memiliki pengetahuan apa-apa. Sehingga program-program pemberdayaan hanya dilihat sebagai proyek menggiurkan.

So, inilah yang menjadi tantangan kita hari ini.


Bogor, 8 January 2015

0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts