Sunday, February 28, 2016

Pudarnya Gotong royong Masyarakat Kota

Aktivitas masyarakat desa di pesisir pantai pulau Buton

ADA yang khas dari budaya kita di negeri ini, yaitu tentang gotong royong. Istilah asli buatan Indonesia yang berarti berkerja bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan atau hasil. Mengenai gotong royong, bangsa kita adalah bangsa yang plural dengan beragam suku, agama, dan budaya. Bangsa kita adalah bangsa yang kuat, karena masyarakatnya yang selalu bersatu. Keberagamanlah yang menyatukan itu. Namun apakah kegotongroyongan itu masih melekat dimasyarakat kota kita? apakah kita masih menemukan kesahajaan orang-orang kota itu?, apa pernah ketika berjalan dikawasan rumah-rumah elit dan mewah kita diberi tumpangan berteduh disaat hujan deras mengguyur? atau pernahkah ketika berada dalam kereta listrik kita disambut hangat dan senyum dari penumpang-penumpang lain? Mungkin maksud dari pernyataan-pertanyaan itu hanyalah kegelisahan kita saat melihat masyarakat kota yang serba individualis dan acuh tak acuh. Tetapi inilah kota, dengan beragam macam persoalan yang selalu kita temui. 

***

TEPAT seminggu lalu, saya berkesempatan pulang ke kampung halaman di Buton, sebuah pulau kecil di tenggara pulau Sulawesi. Kedatangan itu hanya sekedar mengisi libur semester awal yang tidak begitu lama. Kedatangan itu juga sekaligus mengamati beberapa masyarakat dilokasi rencana penelitian yang telah kuangkat dalam judul penelitian. Bagi saya, perjalan ke desa-desa itu sangat menyenangkan. Selain menikmati pesona alamnya, juga sambutan dari masyarakatnya yang ramah-ramah. Setiap ada tamu yang berkunjung kerumah-rumah mereka, tuan rumah selalu mempersilahkan untuk tinggal sebentar. Apalagi, setiap tamu selalu dijamu dengan makanan khas kampung. Khusus desa-desa di kampung halaman saya di pulau Buton, saya selalu merasa bangga dengan desa-desa dipesisir pulau ini. Meski kehidupan masyarakatnya sangat sederhana, tetapi mereka tetap menjaga nilai-nilai agama dan budaya sebagai norma-norma yang mereka tidak boleh langgar. Keramahan setiap warga tercermin dari sikap mereka yang selalu terbuka kepada siapa saja yang berkunjung di desa mereka.
   
Siang itu matahari begitu terik, kakiku terus melangkah menyusuri pantai. Ada banyak perbedaan ketika mengunjungi desa-desa di pelosok timur dengan desa-desa yang ada ditanah jawa, khususnya beberapa desa yang pernah saya kunjungi di Bogor Jawa Barat. Pertama, perbedaan iklim dan letak geografis desa, Kedua, perbedaan kultur masyarakatnya, Ketiga, sumber mata pencaharian masyarakatnya. Desa-desa Bogor dikenal subur dan sejuk, itu karena letak desa berada di lembah dan di atas perbukitan. Masyarakatnya cenderung memanfaatkan lahan untuk bertani dan berkebun, sementara masyarakat desa dikampung halaman saya lebih memanfaaatkan laut untuk mencari ikan. Mereka memiliki cara dan strategi tersendiri dalam bertahan hidup. Dengan memanfaatkan alam sebagai sumber kehidupan.

Dialog bersama ketua adat dan perangkat desa
Hal lain yang saya rasakan adalah budaya masyarakatnya. Kebanyakan desa-desa di Bogor telah bertransformasi layaknya kota, masyarakatnya lebih maju dan modern. Selain aksesnya lebih dekat dengan kota, juga desa-desa ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Misalnya, banyak lahan desa disulap menjadi perumahan dan pertokoan, terjadi mekanisasi di sektor pertanian, atau kebiasaan-kebiasaan dalam adat yang mulai ditinggalkan masyarakat desa. Sungguh ini berbeda dengan masyarakat desa yang tinggal di pelosok timur dan jauh dari akses ke kota. Saya selalu membandingkan ini ketika berdiskusi dengan kawan-kawan kampus. Saya bisa berbangga karena desa-desa di kampung halaman masih terjaga kealamiannya, serta masyarakat desa yang tetap menjalankan tradisi-tradisi dalam adat. Meskipun kita akui desa-desa dikampung halaman iklimnya tak sesejuk desa-desa di Jawa Barat. Tapi, bukan tidak memiliki potensi sumber dsya alam yang berlimpah. Desa-desa itu justru kaya dan masyarakatnya lebih survive dengan apa yang mereka miliki.

Dalam sebuah diskusi, seorang kawan asal Maluku juga berkisah kalau desa-desa di kampungnya sangat berbeda dari desa-desa di Bogor. Ia bisa saksikan masyarakat desa disini telah bertransformasi dan jauh lebih modern. Bangunan-bangunan mewah justru banyak ia temukan di desa-desa Bogor. Supermaket kian menjamur di hampir setiap tempat di desa. Dinamika kehidupan masyarakatnya lebih kompetitif dan selalu tertutup. Sangat tampak, kegotongroyongan itu telah ditinggalkan masyarakat desa. Kawan itu lalu membandingkan dengan desa-desa di Maluku, ia selalu melihat bagaimana masyarakat di desanya bergotongroyong membangun sarana ibadah, atau bagaimana masyarakat saling membantu membetulkan rumah tetangga, juga bagaimana para nelayan yang saling kerjasama mencari ikan dan hasilnya akan dibagi bersama. 

Ada hal-hal unik dan membahagiakan ketika tinggal di desa. Yang pasti, kita tidak lagi menemukan budaya gotongroyong itu ditengah kota dimana masyarakatnya serba tertutup dan individualis. Kita tidak bisa menemukan keramahan orang-orang kota yang serba curiga. Jangan berharap untuk mendapatkan sesuatu yang gratis ditengah kota. Kehidupan masyarakatnya serba matematis dan materialis. Padahal ketika orang-orang kota itu berkunjung kesuatu desa, jamuan masyarakat desa begitu luar biasa kepada mereka. Disinilah keunikan desa, dengan terus menjaga kegotongroyongan sebagai simbol keragaman, kesederhanaan serta kebersamaan sebagai budaya yang telah ada sejak turun temurun. 


Bogor, 28 February 2016

0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts