Wednesday, April 27, 2016

Sebuah Paradoks Gerakan LSM

Sumber: opusfilm.com
MELIHAT krisis lingkungan hidup di Indonesia yang tak pernah bisa diselesaikan, apakah masalah kerusakan hutan, lingkungan dan penyakit yang ditimbulkan oleh usaha-usaha pertambangan dan migas, pencemaran lahan dan air oleh perluasan areal perkebunan kelapa sawit yang pengelolaannya bergantung pada penggunaan bahan kimia dan racun, atau menghilangnya ruang terbuka hijau di kota yang tiba-tiba disulap menjadi Mal, gedung perkantoran dan pemukiman elit. Kabut misterius yang meliputi kota-kota besar dengan pertumbuhan jumlah kendaraan dan industri skala besar. Siapapun yang melihat masalah-masalah seperti ini, akan cepat menarik kesimpulan bahwa ketidakberdayaan kita untuk mengatasi bencana-bencana sepertinya disebabkan terutama bukan oleh kegagalan teknis tetapi kegagalan politik.

***

BELUM lama ini kita telah memperingati hari Bumi, sebagai bentuk rasa keprihatinan kita terhadap dampak yang ditimbulkan oleh ancaman kehancuran ekosistem Bumi. Hal ini juga diperparah oleh perubahan iklim global yang dihasilkan dari kegiatan industri. Berbagai bentuk aksi dan kegiatan yang dilakukan para pemerhati untuk mengkampanyekan hari Bumi. Jauh sebelumnya, gerakan ini sudah dimulai ditahun 1970, dimana saat itu dicetus inisiatif bersifat global demi meningkatkan kesadaran akan pemeliharaan Bumi. Baik lewat konservasi, melawan perubahan iklim, atau menjaga spesies yang hampir punah.

Di Negara kita, peringatan hari Bumi mulai ramai menyusul menjamurnya komunitas, Ornop, LSM serta organisasi dibidang pelestarian lingkungan hidup. Hanya saja, peringatan-peringatan semacam ini masih dianggap sebagai ajang berkumpulnya para aktivis namun minim tindak lanjut secara nyata dilapangan. Berbagai kerusakan lingkungan hidup di Bumi masih saja terjadi dan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan hidup serta mengakibatkan terjadinya berbagai bencana alam. Sementara kesadaran masyarakat cenderung menurun untuk menjaga, merawat, serta melestarikan lingkungan hidup. Upaya melestarikan lingkungan hidup justru tidak didorong oleh mereka yang berada dalam satu kelompok, LSM, atau organisasi yang selama ini fokus pada isu-isu lingkungan.

Perkembangan LSM di Indonesia memang terlihat lebih cepat, namun tidak diiringi dengan hasil yang nyata dalam proses kerja-kerja mereka. Idealnya LSM menjadi organisasi dengan kesadaran dan semangat sukarelawan yang lahir dari ranah sipil dalam rangka memperjuangkan hak-hak sipil sebagai agen alternatif pembangunan. Akan tetapi, pada kenyataannya agen pembangunan alternatif ini tidak bebas kepentingan (Ufford dan Giri, 2002). Sebagaimana Petras dan Veltemeyer (2002) dalam Assa’di, Hussain et, al (2009) mengemukakan sebagai berikut:

“Ornop-ornop diseluruh dunia telah menjadi alat terakhir untuk mobilitas naik bagi kelas-kelas terdidik yang ambisius. Para akademisi, jurnalis dan professional telah semakin jauh dari kepedulian awal mereka pada gerakan kiri dan miskin dana. Dan mereka kini mengejar karier yang menguntungkan dengan mengelola Ornop yang akan memberikan keterampilan organisatoris dan retorika serta kosa kata populis tertentu. Sekarang ini ribuan direktur Ornop setiap hari naik kendaraan roda empat seharga US $ 40.000 sebagai sarana transportasi dari rumah atau apartemen modern mereka di pinggiran kota ke kantor-kantor dan kompleks bangunan sangat lengkap. Sementara mereka meninggalkan anak-anak dan pekerjaan rumahtangga ditangan pembantu dan juga kebun-kebun mereka untuk dirawat oleh para tukang kebun. Mereka lebih akrab dan menghabiskan waktu ditempat-tempat konferensi internasional tentang kemiskinan yang mereka ikuti (Washington, Bangkok, Tokyo, Brussels, Roma dan lainnya) dari pada dikampung-kampung berlumpur dinegara mereka sendiri. Mereka lebih mahir menyusun proposal baru untuk mendapatkan uang demi para ‘professional’ yang layak ditolong dari pada mengambil resiko terpukul kepalanya oleh polisi yang menyerang demonstrasi guru sekolah di desa yang gajinya tidak dibayar penuh. Para pemimpin Ornop adalah kelas baru yang tidak mendapatkan harta kekayaan dari kepemilikan atau sumber-sumber pemerintah, tetapi dari dana imperial dan kemampuannya sendiri untuk mengontrol kelompok-kelompok rakyat yang signifikan”  
Pernyataan diatas menyiratkan fakta lapangan yang jauh dari idealism LSM sebagai bagian dari masyarakat sipil yang berjuang untuk kesejahteraan masyarakat. LSM menjadi semacam perusahaan profit yang mengambil keuntungan sebesar-besarnya ditengah penderitaan rakyat sipil yang diperjuangkan. Lebih lanjut Petras dan Velmeyer (2002) mengatakan:

“Para pemimpin Ornop bisa dipandang sebagai semacam kelompok neo-komprador yang tidak memproduksi komoditas apapun yang bermanfaat, tetapi berperan memproduksi jasa untuk Negara-negara donor dan menjual kemiskinan domestik untuk kekayaan pribadi”
Petras dan Veltemeyer (2002) memberikan pandangan bahwa LSM melakukan komodifikasi kemiskinan dan isu pembangunan tanpa melihat lembaga donornya karena semua terjebak pada kondisi ini. Kutipan diatas juga menyiratkan kinerja LSM hanya berorientasi keuntungan pribadi atau kelompok LSM dibanding memperjuangkan hak-hak sipil.  Munculnya istilah menjual isu lingkungan, isu kemiskinan, isu pemberdayaan dengan mengatasnamakan LSM adalah bentuk respon publik terhadap diskursus ini. Dalam konteks ini, LSM dicurigai marak membuat pengajuan dana dan kemudian aktivitasnya didanai oleh donor dan LSM hanya sebagai kepanjangan tangan dari kepentingan donor.

***

PADA akhirnya, masyarakat harus keluar dari lingkaran dan kepentingan-kepentingan LSM. Masyarakat juga bisa lebih kritis serta membangun solidaritas. Masyarakat tidak lagi dlihat sebagai objek pembangunan. Konsep empowerment pada dasarnya adalah upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik dalam kehidupan keluarga maupun dimasyarakat. Gagasan pembangunan yang mengutamakan pemberdayaan masyarakat perlu dipahami sebagai suatu proses transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Perubahan struktur diharapkan berlangsung secara alamiah. Proses ini diarahkan agar setiap upaya pemberdayaan masyarakat dapat meningkatkan kapasitas masyarakat (capacity building). Proses transformasi ini harus dapat digerakan sendiri oleh masyarakat.

0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts