![]() |
Sumber: |
MELIHAT krisis lingkungan hidup di
Indonesia yang tak pernah bisa diselesaikan, apakah masalah kerusakan hutan, lingkungan
dan penyakit yang ditimbulkan oleh usaha-usaha pertambangan dan migas,
pencemaran lahan dan air oleh perluasan areal perkebunan kelapa sawit yang
pengelolaannya bergantung pada penggunaan bahan kimia dan racun, atau
menghilangnya ruang terbuka hijau di kota yang tiba-tiba disulap menjadi Mal,
gedung perkantoran dan pemukiman elit. Kabut misterius yang meliputi kota-kota
besar dengan pertumbuhan jumlah kendaraan dan industri skala besar. Siapapun yang
melihat masalah-masalah seperti ini, akan cepat menarik kesimpulan bahwa
ketidakberdayaan kita untuk mengatasi bencana-bencana sepertinya disebabkan
terutama bukan oleh kegagalan teknis tetapi kegagalan politik.
***
BELUM lama ini kita telah memperingati hari Bumi, sebagai bentuk rasa keprihatinan kita terhadap dampak yang
ditimbulkan oleh ancaman kehancuran ekosistem Bumi. Hal ini juga diperparah
oleh perubahan iklim global yang dihasilkan dari kegiatan industri. Berbagai bentuk
aksi dan kegiatan yang dilakukan para pemerhati untuk mengkampanyekan hari Bumi.
Jauh sebelumnya, gerakan ini sudah dimulai ditahun 1970, dimana saat itu
dicetus inisiatif bersifat global demi meningkatkan kesadaran akan pemeliharaan
Bumi. Baik lewat konservasi, melawan perubahan iklim, atau menjaga spesies yang
hampir punah.
Di Negara kita, peringatan hari
Bumi mulai ramai menyusul menjamurnya komunitas, Ornop, LSM serta organisasi
dibidang pelestarian lingkungan hidup. Hanya saja, peringatan-peringatan semacam
ini masih dianggap sebagai ajang berkumpulnya para aktivis namun minim tindak
lanjut secara nyata dilapangan. Berbagai kerusakan lingkungan hidup di Bumi masih
saja terjadi dan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan hidup serta
mengakibatkan terjadinya berbagai bencana alam. Sementara kesadaran masyarakat
cenderung menurun untuk menjaga, merawat, serta melestarikan lingkungan hidup. Upaya
melestarikan lingkungan hidup justru tidak didorong oleh mereka yang berada
dalam satu kelompok, LSM, atau organisasi yang selama ini fokus pada isu-isu
lingkungan.
Perkembangan LSM di Indonesia
memang terlihat lebih cepat, namun tidak diiringi dengan hasil yang nyata dalam
proses kerja-kerja mereka. Idealnya LSM menjadi organisasi dengan kesadaran dan
semangat sukarelawan yang lahir dari ranah sipil dalam rangka memperjuangkan
hak-hak sipil sebagai agen alternatif pembangunan. Akan tetapi,
pada kenyataannya agen pembangunan alternatif ini tidak bebas kepentingan
(Ufford dan Giri, 2002). Sebagaimana Petras dan Veltemeyer (2002) dalam Assa’di,
Hussain et, al (2009) mengemukakan
sebagai berikut:
“Ornop-ornop diseluruh dunia telah
menjadi alat terakhir untuk mobilitas naik bagi kelas-kelas terdidik yang
ambisius. Para akademisi, jurnalis dan professional telah semakin jauh dari
kepedulian awal mereka pada gerakan kiri dan miskin dana. Dan mereka kini
mengejar karier yang menguntungkan dengan mengelola Ornop yang akan memberikan
keterampilan organisatoris dan retorika serta kosa kata populis tertentu. Sekarang
ini ribuan direktur Ornop setiap hari naik kendaraan roda empat seharga US $
40.000 sebagai sarana transportasi dari rumah atau apartemen modern mereka di
pinggiran kota ke kantor-kantor dan kompleks bangunan sangat lengkap. Sementara
mereka meninggalkan anak-anak dan pekerjaan rumahtangga ditangan pembantu dan
juga kebun-kebun mereka untuk dirawat oleh para tukang kebun. Mereka lebih
akrab dan menghabiskan waktu ditempat-tempat konferensi internasional tentang
kemiskinan yang mereka ikuti (Washington, Bangkok, Tokyo, Brussels, Roma dan
lainnya) dari pada dikampung-kampung berlumpur dinegara mereka sendiri. Mereka
lebih mahir menyusun proposal baru untuk mendapatkan uang demi para ‘professional’
yang layak ditolong dari pada mengambil resiko terpukul kepalanya oleh polisi
yang menyerang demonstrasi guru sekolah di desa yang gajinya tidak dibayar
penuh. Para pemimpin Ornop adalah kelas baru yang tidak mendapatkan harta
kekayaan dari kepemilikan atau sumber-sumber pemerintah, tetapi dari dana
imperial dan kemampuannya sendiri untuk mengontrol kelompok-kelompok rakyat
yang signifikan”
Pernyataan diatas menyiratkan fakta
lapangan yang jauh dari idealism LSM sebagai bagian dari masyarakat sipil yang
berjuang untuk kesejahteraan masyarakat. LSM menjadi semacam perusahaan profit
yang mengambil keuntungan sebesar-besarnya ditengah penderitaan rakyat sipil
yang diperjuangkan. Lebih lanjut Petras dan Velmeyer (2002) mengatakan:
“Para pemimpin Ornop bisa dipandang
sebagai semacam kelompok neo-komprador yang tidak memproduksi komoditas apapun
yang bermanfaat, tetapi berperan memproduksi jasa untuk Negara-negara donor dan
menjual kemiskinan domestik untuk kekayaan pribadi”
Petras dan Veltemeyer (2002)
memberikan pandangan bahwa LSM melakukan komodifikasi kemiskinan dan isu
pembangunan tanpa melihat lembaga donornya karena semua terjebak pada kondisi
ini. Kutipan diatas juga menyiratkan kinerja LSM hanya berorientasi keuntungan
pribadi atau kelompok LSM dibanding memperjuangkan hak-hak sipil. Munculnya istilah menjual isu lingkungan, isu
kemiskinan, isu pemberdayaan dengan mengatasnamakan LSM adalah bentuk respon publik
terhadap diskursus ini. Dalam konteks ini, LSM dicurigai marak membuat
pengajuan dana dan kemudian aktivitasnya didanai oleh donor dan LSM hanya
sebagai kepanjangan tangan dari kepentingan donor.
***
PADA akhirnya, masyarakat harus
keluar dari lingkaran dan kepentingan-kepentingan LSM. Masyarakat juga bisa lebih
kritis serta membangun solidaritas. Masyarakat tidak lagi dlihat sebagai objek pembangunan.
Konsep empowerment pada dasarnya
adalah upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi
semakin efektif secara struktural, baik dalam kehidupan keluarga maupun
dimasyarakat. Gagasan pembangunan yang mengutamakan pemberdayaan masyarakat
perlu dipahami sebagai suatu proses transformasi dalam hubungan sosial,
ekonomi, budaya, dan politik. Perubahan struktur diharapkan berlangsung secara
alamiah. Proses ini diarahkan agar setiap upaya pemberdayaan masyarakat dapat
meningkatkan kapasitas masyarakat (capacity
building). Proses transformasi ini harus dapat digerakan sendiri oleh
masyarakat.
0 komentar:
Post a Comment