PAGI itu, aku bersama tim bertolak dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Bandara Samratulangi Manado. Berada di ujung jazirah pulau Sulawesi, penduduk kota Manado mayoritas berasal dari suku Minahasa, namun sub suku Tombulu merupakan penduduk asli. Saat kami tiba, sebuah kalimat “Salam Baku Dapa di Kota Manado” terpampang diatas pintu keluar terminal. Kelompok pemusik yang berada disudut ruang terminal juga menyambut setiap orang yang datang. Mereka memperkenalkan budaya melalui musik yang dimainkan. Benar, bandara menjadi pintu gerbang utama sebuah kota. Bandara menjadi halaman depan untuk memperkenalkan budaya, wisata, dan keberagaman suatu daerah.
***
SAAT ini, aku terlibat dalam kegiatan riset yang dilakukan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil, Sub Direktorat Penguatan Masyarakat Adat dan Lokal. Bentuknya adalah kajian tentang masyarakat adat dan mencoba menganalisis isu-isu terkini tentang permasalahan yang dihadapi masyarakat desa, serta mengidentifikasi apa-apa yang menjadi kebutuhan mereka. Hasil dari kajian nanti menjadi dasar dan upaya untuk meningkatkan peran serta mereka dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan pesisir. Secara spesifik, kajian ini bertujuan untuk: (a) melakukan identifikasi dan pemetaan masalah, kebutuhan, dan potensi yang dimiliki masyarakat adat, (b) mengindentifikasi kelembagaan adat/lokal dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan pesisir, (c) melakukan perencanaan pemberdayaan masyarakat adat/lokal melalui pengelolaan serta pelestarian SDKP di pulau-pulau kecil berdasarkan kearifan lokal selama lima tahun kedepan.
Jika di Bogor Jawa Barat aku bisa melihat gunung Salak yang begitu perkasa dengan ketinggiannya mencapai 2.221 mdpl. Maka di kota Nyiur Melambai Manado, aku bisa melihat gunung Klabat yang ketinggiannya mencapai 2.100 mdpl. Tak jauh dari gunung Klabat, ada juga gunung Lokon di Tomohon, yang memiliki ketinggian 1.580 mdpl. Secara administratif wilayahnya juga masih dalam cakupan Provinsi Sulawesi Utara.
Ada beberapa kemiripan dari kedua daerah ini. Misalnya, letak dan geografi berada diantara gunung-gunung serta kondisi tanah yang subur dan alamnya yang sejuk. Selain Landscape alamnya, kesamaan lain kota Manado dan Bogor adalah jumlah angkot yang hampir tak terhitung dan berhamburan disetiap jalan. Angkutan transportasi dalam kota ini menjadi sumber mata pencaharian masyarakat dari sektor jasa. Di Bogor, orang-orang telah lama mengganti istilah kota Hujan menjadi kota Seribu Angkot. Sama halnya di Manado, para sopir angkot itu berkata kalau Manado kini telah berganti istilah. Jika dulu dikenal dengan kota Nyiur Melambai, sekarang menjadi kota sejuta angkot. Wah, kalah jumlah dengan Bogor kale ya?
Rupanya tidak, itu hanya asumsi masyarakat saja. Mereka melihat kesemrautan lalu lintas jalan raya lalu membuat satu kesimpulan tetang jumlah angkot. Menurutku, kota Manado terbilang cukup tertata bila dibandingkan dengan Bogor. Apalagi kalau dilihat jumlah penduduk antara kota Manado dan Bogor sungguh jauh berbeda. Penduduk Bogor itu sekitar 950. 334 jiwa, sementara Manado hanya 410. 481 jiwa, itu di tahun 2010.
Tak hanya itu, yang membuat kedua daerah ini banyak dibicarakan oleh kaum lelaki adalah wanita-wanita cantiknya. Mereka (kaum lelaki) seolah membuat zonasi antara perempuan di wilayah barat dan wilayah timur Indonesia. Para bidadari itu seolah menjadi representasi atas perempuan tercantik di Indonesia. Jika ingin melihat wanita cantik asal timur, maka berkunjunglah di Manado Sulawesi Utara dan kalau ingin melihat wanita cantik ala Indonesia barat, maka lihatlah wanita-wanita cantik nan anggun di Jawa Barat. Tetapi anggapan itu hanya pandangan subjektif sebagian lelaki, yang sebenarnya ukuran kecantikan itu hanyalah perspektif masing-masing orang saja.
Terlepas siapa wanita-wanita cantik itu, hari ini aku bersama tim tengah menunggu jadwal keberangkatan ke pulau Talaud dari pelabuhan Manado. Dan beberapa hari kedepan, roadmap ini akan berlanjut dengan mengunjungi pulau-pulau terluar lainnya, masih diujung utara pulau Sulawesi. Pulau-pulau kecil itu menjadi pagar perbatasan antara negara Filipina dan Indonesia. Beberapa pulau kecil kita masih jarang terjamah oleh tangan-tangan pemerintah. Akses laut selalu menjadi kendala untuk mendorong pembangunan. Itulah kenapa sarana prasarana selalu minim. Termasuk teknologi dan informasi. Yah, bersiap-siap untuk tak terkoneksi internet. Jangankan online, sinyal telepon saja dipastikan tidak ada. Selamat deh.
Meski begitu, pengalaman ini terasa sangat mengasyikan. Aku bisa menikmati perjalanan ini dengan passion ingin belajar banyak dari hal-hal baru. Pengetahuan itu sangatlah luas, membentang laksana samudra. Yup, sebentar lagi kapal yang membawa kami akan menarik jangkarnya, melepas tali, lalu melaju di laut lepas, melintasi Samudera Pasifik yang gelombangnya minta ampun. Baiklah kawan.
Manado, Sulawesi Utara, 30 Mei 2016