Lampu merkuri ditepi jalan itu telah lama menyala, sebelum malam, atau mungkin tak pernah padam. Seorang lelaki berdiri tak jauh dari tiang lampu jalan. Malam itu memang hujan, kadang deras, kadang gerimis. Lelaki itu lama menanti, bukan karena hujan yang menghadang, ia memang sengaja berada dibawah sinar lampu jalanan, ia sedang menanti seseorang, entah siapa.
Malam semakin larut, hujanpun tak kunjung reda, malah semakin deras, tapi ia tak beranjak selangkahpun. Ia masih ditepi jalan yang kian sepi dari para pejalan. Namun yang dinantinya belum juga menunjukkan tanda-tanda. Ia tetap menanti, walau dingin karena basah, walau dingin menusuk tulang. Ia sama sekali tak menyalahkan hujan yang mengguyurnya.
Tampak lelaki itu mulai gelisah. Bukan karena ia kedinginan, ia khawatir sampai selarut ini yang ditunggunya belum juga datang. Sesekali ia membuka layar mobile phone, dimatikan, lalu dibukanya lagi. Ia memang gelisah, tak seperti malam-malam biasa ditempat itu.
Satu jam atau hampir dua jam, hanya ada satu atau dua kendaraan yang melintasi jalan. Malam kian sepi hanya ada lelaki dan tiang lampu penerang jalan. Hujan mulai reda, tebawa angin namun masih menyisahkan dingin. Sedingin lelaki itu menunggu seseorang yang hampir tiba.
Benar, sinar lampu sebuah mobil dari kejauhan melejit diatas jalan yang basah, ia semakin basah. Mobil itu lalu berhenti tepat ditepi jalan tempat ia biasa memarkirkan motor bututnya. Siapa gerangan? Rupanya itu dia, dia yang ditunggunya sejak tadi, sebelum hujan, lalu gerimis, sampai hujan lagi. Apapun itu hanya tanda-tanda alam.
Malam itu tak sekedar datangnya hujan, bahkan lebih dari hujan, basah atau dingin. Ia hanya tertunduk, meratapi apa-apa yang harus disesali. Apa yang ditunggunya hanyalah sebuah mobil, seorang lelaki bersama seorang wanita. Lelaki itu datang diwaktu yang tak tepat. Seharusnya ia datang dimusim lain, diwaktu ketika bulan dan bintang-bintang bertaburan dimalam hari.
Jakarta, 23 Mei 2016
0 komentar:
Post a Comment