Wednesday, June 22, 2016

Eha dan Mane'e, Konservasi Berbasis Kearifan Lokal


Ketika pertumbuhan jumlah penduduk memberi tekanan besar pada bumi, ketika pola konsumsi manusia semakin berlebih, ketika tuntutan manusia terhadap lingkungan semakin besar dan menimbulkan kerusakan alam, atau ketika kehadiran manusia justru menjadi ancaman jaringan kehidupan bumi. Rupanya tanpa kita disadari, manusia sudah melampaui daya dukung biosfer dengan memberi beban lebih pada kapasitas metabolisme planet untuk menyerap, memperkaya, dan mendaur ulang.

Alam sudah menunjukkan tanda-tanda kerusakan itu kepada kita. Ketika tuntutan manusia terhadap lingkungan semakin besar maka dampaknya adalah terjadi degradasi tanah, poplusi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan hutan gundul semakin luas. Tanda-tanda lain ketika alam menunjukkan batas-batasnya yakni menyusutnya cadangan air. Di beberapa daerah masyarakat semakin kesulitan untuk mendapatkan air bersih, gelombang panas mulai terjadi, turunnya populasi hewan, dan berkurangnya hasil panen yang kini mulai dirasakan para petani dan nelayan-nelayan kita.

Masyarakat perkotaan terlalu bangga akan gaya hidup material mereka. Kebiasaan konsumsi yang di lakukan orang-orang kota ini meminta ongkos yang sangat besar dari lingkungan. Pemakaian energi secara berlebihan, dibukanya tambang, limbah pabrik, asap kendaraan, gedung-gedung mewah, dan hal-hal lain membuat atmosfer, perairan pesisir, sungai, hutan, dan tanah akan mengalami masalah besar. Sistem daya dukung bumi ini beresiko akan dirusak oleh semakin tingginya gelombang konsumsi manusia. Bahayanya, orang-orang desa mulai mengidamkan gaya hidup orang-orang kota.

***

Karena rasa penarasan saya tentang cerita Eha dan Mane’e di pulau Kakorotan, malam itu saya kembali mendatangi bapak ketua adat Ratumbanua di kediamannya. Ini kali berikutnya saya mengajak beliau bercerita. Sebab, di malam sebelumnya cerita kami terputus karena beliau ingin beristrahat.

kepala desa kakorotan (baju hitam) bersama Inanguanua/permaisuri raja (baju putih)
dalam do'a
Mengawali cerita, bapak ketua adat Ratumbanua selama ini mengkhawatirkan kondisi lingkungan hidup di pulau mereka. Pulau yang tak begitu luas ini setiap tahun semakin tergerus. Air laut mulai naik ke daratan. Sekitar lima meter daratan pulau itu terkikis oleh hantaman ombak dan sudah menumbangkan banyak pohon yang tumbuh disekitar pantai. Abrasi tersebut menjadi ancaman serius keberadaan pulau Kakorotan. Jika tidak dilakukan pencegehan, maka bisa dipastikan pulau Kakorotan akan rata dengan permukaan air laut. Tidak lain, masalah ini di karenakan oleh aktivitas manusia itu sendiri. Dampak pemanasan global ditambah dengan reklamasi pantai yang kini masif terjadi di sejumlah daerah menjadi penyebab naiknya suhu bumi dan naiknya permukaan air laut.   

Kesadaran masyarakat desa Kakorotan untuk menjaga ekosistem begitu kuat. Pesan-pesan agar selalu menjaga kelestarian lingkungan tidak hanya disuarakan dalam rapat-rapat bersama pemerintah desa, tapi juga dalam setiap musyawarah adat atau disetiap pertemuan-pertemuan keagamaan. Masyarakat begitu peduli dengan lingkungan. Kesadaran kolektif mereka terbentuk atas sejarah dan peristiwa yang dialami oleh para pendahulu mereka di pulau Kakorotan. Ketika gempa yang disusul dengan gelombang tsunami meluluhlantakan dan menenggelamkan sebagian daratan pulau mereka. Tentu mereka masih menyimpan trauma atas kejadian itu. Apalagi keberadaan pulau mereka yang langsung berhadapan dengan laut lepas samudera pasifik.

Perubahan iklim yang terjadi berdampak pada perubahan sosial dan budaya. Berbagai kajian sosial menemukan bahwa pola hubungan sosial berkaitan erat dengan pola perubahan iklim. Jika tidak ada upaya dari kita untuk memperbaiki kondisi lingkungan mulai dari sekarang, maka dampak yang ditimbulkan akan semakin besar. Sistem pembangunan berkelanjutan semakin sulit untuk dicapai. Pemecahan jangka panjang pada masalah degradasi lingkungan terletak pada konsep keberlanjutan. Meskipun hal ini sulit untuk di definisikan dengan tepat. Gagasan dasarnya adalah menggunakan sumber daya bumi dalam rangka memenuhi kebutuhan kita dengan cara yang sedemikian, sehingga generasi-generasi masa depan masih mampu memenuhi kebutuhan mereka dalam standar kehidupan yang cukup nyaman.

Ada banyak cara yang perlu kita lakukan agar keberlanjutan menjadi suatu kenyataan. Kita bisa memupuk suatu etika pribadi untuk bersikap sederhana secara material yang disertai dengan kesadaran akan lingkungan. Secara praktis, ini bentuk komitmen kita agar lebih sedikit dalam mengkonsumsi bahan-bahan yang merusak lingkungan. Sebagaimana masyarakat adat di pulau Kakorotan yang melakukan konservasi melalui tradisi Eha dan Mane’e. Eha dan Mane’e adalah pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal (local wisdom). Eha dan Mane’e adalah suatu bentuk pengelolaan sumber daya alam dengan mempertimbangkan dampak yang akan terjadi di masa akan datang. Sebab ketika sumber daya alam dieksploitasi secara berlebihan, maka akan berujung pada terjadinya tragedy of the common.

abrasi di pulau Kakorotan

Sejak dulu, masyarakat Kakorotan memiliki mekanisme dalam memanfaatkan dan melestarikan sumber daya alam secara berkelanjutan. Mereka merumuskan aturan dalam pemanfaatan sumber daya alam bersifat common property. Aturan adat tersebut di pahami sebagai bentuk kearifan lingkungan yang harus di jalankan dalam tata nilai kehidupan. Hal itu telah menyatu dalam bentuk agama, budaya, dan adat istiadat. Sebagaimana Keraf (2002), bahwa semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis.

Lembaga adat sangat berperan dalam mengatur aspek-aspek kehidupan masyarakat desa. Mulai dari sistem kepemilikan lahan, pengelolaan laut dan pesisir, sampai pada urusan pernikahan. Meski begitu, lembaga adat tidak berjalan sendiri. Pemerintahan desa dan lembaga gereja (Dewan Jemaat) saling bersinergi dalam menjaga tatanan sosial termasuk menjalankan dan mematuhi larangan-larangan yang telah disepakati dalam Eha dan Mane’e.

Mengenai Eha, ruangnya dibuat menjadi dua bagian, yakni Eha darat dan Eha Laut. Dalam  Eha darat, pada waktu-waktu tertentu masyarakat dilarang untuk mengambil hasil kebun mereka. Apalagi sampai mengambil hasil kebun milik orang lain tanpa di tahu oleh pemiliknya. Selain berdasarkan kepemilikan, Eha juga melarang setiap orang untuk melakukan penebangan pohon. Bahkan merobek selembar daun pun ada sanksinya.

Berbeda dengan Eha darat, Eha Laut berada di laut. Wilayah Eha laut adalah wilayah Ranne yang merupakan zona dimana masyarakat dilarang untuk menangkap atau mengambil hasil laut dalam periode waktu tertentu. Wilayah-wilayah yang masuk dalam Ranne diberi bendera sebagai penanda agar masyarakat tidak masuk dalam wilayah itu sebelum Mane’e di buka. Selama Eha laut berlangsung, seluruh masyarakat patuh terhadap aturan-aturan dalam adat yang sebelumnya sudah disepakati bersama. Masyarakat Kakorotan juga wajib menjaga wilayah-wilayah yang masuk dalam Eha, baik Eha darat maupun Eha laut.


Eha dan Mane’e adalah karifan lokal yang dimiliki masyarakat desa Kakorotan dan sudah berlangsung sejak turun-temurun. Tradisi yang mereka miliki terus di pertahankan demi menjaga lingkungan dan keberlanjutan hidup. Masyarakat percaya, bahwa upacara tahunan Mane’e tidak hanya sebagai acara seremonial dengan menghadirkan pejabat publik, tapi bagaimana memaknai prosesi acara Mane’e, bahwa ada relasi antara Tuhan, alam, dan manusia yang saling terintegrasi satu sama lain.

Ratumbanua sebagai pemimpin tertinggi dalam adat (raja), Inanguanua sebagai pendamping raja (permaisuri), serta anggota kelembagaan adat lainnya memiliki tugas dan tanggungjawab masing-masing dalam menjalankan segala keputusan yang telah diambil dalam setiap musyawarah adat. Demikian dengan pemerintah desa dan dewan jemaat, yang juga saling mengisi dan memberi masukan dalam setiap pengambilan keputusan.

Di beberapa daerah lain, juga ada kearifan lokal yang serupa dengan Eha dan Mane’e dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan. Misalnya, Awig-Awig di Lombok dan Bali yang memuat aturan adat dalam berinteraksi dan mengelola sumber daya alam dan lingkungan, Kapamalian di Banjar di Kalimantan Selatan yang memuat aturan-aturan (pantangan) dalam pengelolaan lingkungan misalnya larangan membuka hutan keramat, atau Sasi di Maluku yang juga memuat aturan adat dalam mengelola lingkungan termasuk pemanfaatan sumber daya alam.

***

Sebagai pemimpin adat di desa Kakorotan, Ratumbanua dengan tegas menjalankan aturan-aturan adat. Fungsi pengawasan dalam adat terus di jalankan. Masyarakat desa pun tergerak untuk saling berkerjasama, merawat harmonisasi diantara mereka, menjaga lingkungan demi keberlangsungan hidup mereka. Bahwa jauh sebelum pemerintah mengeluarkan satu kebijakan tentang konservasi, masyarakat adat desa Kakorotan sudah lebih dulu mengenal model konsevasi berdasarkan pengetahuan dan kearifan lokal yang mereka miliki.

tapal batas negara

Di desa Kakorotan, saya mendapat banyak pelajaran tentang bagaimana masyarakat adat mengelola dan memanfaatkan lingkungan hidup tanpa merusaknya. Saya pun kian menyadari, bahwa selama ini kita hanya ingin hidup nyaman, tapi setiap tindakan untuk mencapai kenyamanan itu kita sering mengorbankan mahluk lain dan lingkungannya. Mestinya orang-orang kota mau bertanggung jawab atas kondisi alam yang telah dirusaknya, dari emisi gas rumah kaca dan bahan-bahan penyebab polusi lainnya. Sementara masyarakat desa hanya mendapatkan polusi udara, air, suara, dan timbel dari mereka yang hidup nyaman. Ketidakadilan lingkungan bukan hanya produk dari perbedaan ekonomi, tetapi juga karena ketidaksetaraan sosial dan rasial.


22 Juni 2016   

0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts