Ketika pertumbuhan
jumlah penduduk memberi tekanan besar pada bumi, ketika pola konsumsi manusia
semakin berlebih, ketika tuntutan manusia terhadap lingkungan semakin besar dan
menimbulkan kerusakan alam, atau ketika kehadiran manusia justru menjadi
ancaman jaringan kehidupan bumi. Rupanya tanpa kita disadari, manusia sudah
melampaui daya dukung biosfer dengan memberi beban lebih pada kapasitas metabolisme
planet untuk menyerap, memperkaya, dan mendaur ulang.
Alam sudah
menunjukkan tanda-tanda kerusakan itu kepada kita. Ketika tuntutan manusia
terhadap lingkungan semakin besar maka dampaknya adalah terjadi degradasi
tanah, poplusi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan hutan gundul semakin luas.
Tanda-tanda lain ketika alam menunjukkan batas-batasnya yakni menyusutnya
cadangan air. Di beberapa daerah masyarakat semakin kesulitan untuk mendapatkan
air bersih, gelombang panas mulai terjadi, turunnya populasi hewan, dan
berkurangnya hasil panen yang kini mulai dirasakan para petani dan
nelayan-nelayan kita.
Masyarakat
perkotaan terlalu bangga akan gaya hidup material mereka. Kebiasaan konsumsi
yang di lakukan orang-orang kota ini meminta ongkos yang sangat besar dari
lingkungan. Pemakaian energi secara berlebihan, dibukanya tambang, limbah pabrik,
asap kendaraan, gedung-gedung mewah, dan hal-hal lain membuat atmosfer,
perairan pesisir, sungai, hutan, dan tanah akan mengalami masalah besar. Sistem
daya dukung bumi ini beresiko akan dirusak oleh semakin tingginya gelombang
konsumsi manusia. Bahayanya, orang-orang desa mulai mengidamkan gaya hidup
orang-orang kota.
***
Karena
rasa penarasan saya tentang cerita Eha dan
Mane’e di pulau Kakorotan, malam itu saya kembali mendatangi bapak ketua adat Ratumbanua di kediamannya. Ini kali
berikutnya saya mengajak beliau bercerita. Sebab, di malam sebelumnya cerita kami terputus karena beliau ingin beristrahat.
kepala desa kakorotan (baju hitam) bersama Inanguanua/permaisuri raja (baju putih) |
dalam do'a |
Mengawali
cerita, bapak ketua adat Ratumbanua selama
ini mengkhawatirkan kondisi lingkungan hidup di pulau mereka. Pulau yang tak
begitu luas ini setiap tahun semakin tergerus. Air laut mulai naik ke daratan. Sekitar
lima meter daratan pulau itu terkikis oleh hantaman ombak dan sudah menumbangkan
banyak pohon yang tumbuh disekitar pantai. Abrasi tersebut menjadi ancaman serius keberadaan pulau Kakorotan. Jika tidak dilakukan pencegehan, maka bisa
dipastikan pulau Kakorotan akan rata dengan permukaan air laut. Tidak lain, masalah
ini di karenakan oleh aktivitas manusia itu sendiri. Dampak pemanasan global ditambah
dengan reklamasi pantai yang kini masif terjadi di sejumlah daerah menjadi
penyebab naiknya suhu bumi dan naiknya permukaan air laut.
Kesadaran masyarakat
desa Kakorotan untuk menjaga ekosistem begitu kuat. Pesan-pesan agar selalu
menjaga kelestarian lingkungan tidak hanya disuarakan dalam rapat-rapat bersama
pemerintah desa, tapi juga dalam setiap musyawarah adat atau disetiap
pertemuan-pertemuan keagamaan. Masyarakat begitu peduli dengan lingkungan. Kesadaran
kolektif mereka terbentuk atas sejarah dan peristiwa yang dialami oleh para
pendahulu mereka di pulau Kakorotan. Ketika gempa yang disusul dengan gelombang
tsunami meluluhlantakan dan menenggelamkan sebagian daratan pulau mereka. Tentu
mereka masih menyimpan trauma atas kejadian itu. Apalagi keberadaan pulau
mereka yang langsung berhadapan dengan laut lepas samudera pasifik.
Perubahan iklim
yang terjadi berdampak pada perubahan sosial dan budaya. Berbagai kajian sosial
menemukan bahwa pola hubungan sosial berkaitan erat dengan pola perubahan
iklim. Jika tidak ada upaya dari kita untuk memperbaiki kondisi lingkungan
mulai dari sekarang, maka dampak yang ditimbulkan akan semakin besar. Sistem pembangunan
berkelanjutan semakin sulit untuk dicapai. Pemecahan jangka panjang pada
masalah degradasi lingkungan terletak pada konsep keberlanjutan. Meskipun hal
ini sulit untuk di definisikan dengan tepat. Gagasan dasarnya adalah
menggunakan sumber daya bumi dalam rangka memenuhi kebutuhan kita dengan cara
yang sedemikian, sehingga generasi-generasi masa depan masih mampu memenuhi
kebutuhan mereka dalam standar kehidupan yang cukup nyaman.
Ada banyak cara yang perlu kita lakukan agar keberlanjutan menjadi suatu
kenyataan. Kita bisa memupuk suatu etika pribadi untuk bersikap sederhana
secara material yang disertai dengan kesadaran akan lingkungan. Secara praktis,
ini bentuk komitmen kita agar lebih sedikit dalam mengkonsumsi bahan-bahan yang
merusak lingkungan. Sebagaimana masyarakat adat di pulau Kakorotan yang
melakukan konservasi melalui tradisi Eha dan
Mane’e. Eha dan Mane’e adalah
pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan
lokal (local wisdom). Eha dan Mane’e adalah suatu bentuk pengelolaan
sumber daya alam dengan mempertimbangkan dampak yang akan terjadi di masa
akan datang. Sebab ketika sumber daya alam dieksploitasi secara berlebihan, maka akan
berujung pada terjadinya tragedy of the
common.
abrasi di pulau Kakorotan |
Sejak dulu,
masyarakat Kakorotan memiliki mekanisme dalam memanfaatkan dan melestarikan
sumber daya alam secara berkelanjutan. Mereka merumuskan aturan dalam
pemanfaatan sumber daya alam bersifat common
property. Aturan adat tersebut di pahami sebagai bentuk kearifan lingkungan
yang harus di jalankan dalam tata nilai kehidupan. Hal itu telah menyatu dalam
bentuk agama, budaya, dan adat istiadat. Sebagaimana Keraf (2002), bahwa semua
bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau
etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas
ekologis.
Lembaga adat
sangat berperan dalam mengatur aspek-aspek kehidupan masyarakat desa. Mulai dari
sistem kepemilikan lahan, pengelolaan laut dan pesisir, sampai pada urusan
pernikahan. Meski begitu, lembaga adat tidak berjalan sendiri. Pemerintahan
desa dan lembaga gereja (Dewan Jemaat) saling bersinergi dalam menjaga tatanan
sosial termasuk menjalankan dan mematuhi larangan-larangan yang telah
disepakati dalam Eha dan Mane’e.
Mengenai Eha, ruangnya dibuat menjadi dua bagian,
yakni Eha darat dan Eha Laut. Dalam Eha
darat, pada waktu-waktu tertentu masyarakat dilarang untuk mengambil hasil
kebun mereka. Apalagi sampai mengambil hasil kebun milik orang lain tanpa di
tahu oleh pemiliknya. Selain berdasarkan kepemilikan, Eha juga melarang setiap orang untuk melakukan penebangan pohon.
Bahkan merobek selembar daun pun ada sanksinya.
Berbeda dengan
Eha darat, Eha Laut berada di laut. Wilayah
Eha laut adalah wilayah Ranne yang merupakan zona dimana
masyarakat dilarang untuk menangkap atau mengambil hasil laut dalam periode
waktu tertentu. Wilayah-wilayah yang masuk dalam Ranne diberi bendera sebagai penanda agar masyarakat tidak masuk
dalam wilayah itu sebelum Mane’e di
buka. Selama Eha laut berlangsung,
seluruh masyarakat patuh terhadap aturan-aturan dalam adat yang sebelumnya
sudah disepakati bersama. Masyarakat Kakorotan juga wajib menjaga wilayah-wilayah
yang masuk dalam Eha, baik Eha darat maupun Eha laut.
Eha dan Mane’e adalah karifan lokal yang dimiliki masyarakat desa Kakorotan
dan sudah berlangsung sejak turun-temurun. Tradisi yang mereka miliki terus di
pertahankan demi menjaga lingkungan dan keberlanjutan hidup. Masyarakat percaya,
bahwa upacara tahunan Mane’e tidak
hanya sebagai acara seremonial dengan menghadirkan pejabat publik, tapi
bagaimana memaknai prosesi acara Mane’e, bahwa ada relasi antara Tuhan, alam, dan manusia yang saling terintegrasi
satu sama lain.
Ratumbanua sebagai pemimpin tertinggi
dalam adat (raja), Inanguanua sebagai
pendamping raja (permaisuri), serta anggota kelembagaan adat lainnya memiliki
tugas dan tanggungjawab masing-masing dalam menjalankan segala keputusan
yang telah diambil dalam setiap musyawarah adat. Demikian dengan pemerintah desa dan
dewan jemaat, yang juga saling mengisi dan memberi masukan dalam setiap
pengambilan keputusan.
Di beberapa
daerah lain, juga ada kearifan lokal yang serupa dengan Eha dan Mane’e dalam mengelola
dan memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan. Misalnya, Awig-Awig di Lombok dan Bali yang memuat
aturan adat dalam berinteraksi dan mengelola sumber daya alam dan lingkungan, Kapamalian di Banjar di Kalimantan
Selatan yang memuat aturan-aturan (pantangan) dalam pengelolaan lingkungan
misalnya larangan membuka hutan keramat, atau Sasi di Maluku yang juga memuat aturan adat dalam mengelola
lingkungan termasuk pemanfaatan sumber daya alam.
***
Sebagai pemimpin adat di desa Kakorotan, Ratumbanua dengan tegas menjalankan aturan-aturan adat. Fungsi pengawasan dalam adat terus di jalankan. Masyarakat desa pun tergerak untuk saling berkerjasama, merawat harmonisasi diantara mereka, menjaga lingkungan demi keberlangsungan hidup mereka. Bahwa jauh sebelum pemerintah mengeluarkan satu kebijakan tentang konservasi, masyarakat adat desa Kakorotan sudah lebih dulu mengenal model konsevasi berdasarkan pengetahuan dan kearifan lokal yang mereka miliki.
tapal batas negara |
Di desa Kakorotan, saya mendapat banyak pelajaran tentang bagaimana masyarakat adat mengelola dan memanfaatkan lingkungan hidup tanpa merusaknya. Saya pun kian menyadari, bahwa selama ini kita hanya ingin
hidup nyaman, tapi setiap tindakan untuk mencapai kenyamanan itu kita sering mengorbankan
mahluk lain dan lingkungannya. Mestinya orang-orang kota mau bertanggung jawab atas kondisi alam yang telah dirusaknya, dari emisi gas
rumah kaca dan bahan-bahan penyebab polusi lainnya. Sementara masyarakat desa hanya mendapatkan
polusi udara, air, suara, dan timbel dari mereka yang hidup nyaman. Ketidakadilan lingkungan bukan hanya produk dari perbedaan
ekonomi, tetapi juga karena ketidaksetaraan sosial dan rasial.
22 Juni 2016
0 komentar:
Post a Comment