matahari terbit di Kepulauan Talaud |
Bagi
seorang anak pulau, perjalanan berhari-hari di laut lepas atau berkunjung dari
satu pulau ke pulau lain sudah menjadi hal yang biasa. Bagi seorang anak pulau,
pergi berlayar adalah cara mempertahankan tradisi melaut yang diturunkan dari
nenek moyang. Mereka bermigrasi untuk mencari nafkah di pulau-pulau lain.
Perjalanan mereka ke pulau-pulau itu tidak ditempuh dalam waktu singkat. Di
masa dulu, pelayaran mereka tidaklah menumpangi kapal-kapal besi seperti kapal
PELNI atau sejenisnya, tidak juga menaiki pesawat terbang yang waktu tempuhnya hanya
beberapa jam ke Bogor dari Buton misalnya. Dahulu perjalanan mereka hanya
dengan menggunakan kapal-kapal kecil, kapal yang hanya mengandalkan tiupan
angin. Perjalanan bisa ditempuh berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan
berbulan-bulan lamanya.
***
Sore
itu, dengan menumpangi kapal Holly Merry saya bertolak dari pelabuhan Manado ke
pelabuhan kabupaten Kepulauan Talaud. Sebenarnya selain kapal laut, ada jalur
lain dengan menggunakan pesawat dari Bandar Udara Samratulangi di Manado ke Bandar
udara Melonguane. Melonguane adalah ibukota kabupaten Kepulauan Talaud. Untuk
kapal laut, butuh waktu 16 jam. Sementara via
pesawat hanya sekitar satu jam lamanya. Kabupaten Kepulauan Talaud
merupakan bagian integral dari Propinsi Sulawesi Utara. Daerah ini memisahkan
diri dari kabupaten Kepulauan Sangihe sesuai Undang-Undang No.8 Tahun 2002 yang
disahkan menjadi daerah otonom. Sebagai daerah yang belum lama mekar, boleh
dikatakan kabupaten Kepulauan Talaud telah tumbuh dan berkembang dengan cepat,
baik secara fisik maupun non fisik. Terlihat dari peningkatan jumlah penduduk,
aktifitas perekonomian, sosial dan budayanya.
aktifitas masyarakat di pelabuhan Kepulauan Talaud |
Kabupaten
kepulauan Talaud memiliki 17 pulau, 9 diantaranya tidak berpenghuni. Pulau-pulau
tersebut berada dalam 5 gugusan, yakni: Nanusa, Karakelang, Salibabu, Kabaruan,
dan Miangas. Pulau Kakorotan berada dalam gugusan Nanusa. Sebagai pendatang
baru, saya begitu penasaran dengan pulau eksotik ini. Di pagi buta, kapal yang
membawa kami sandar di pelabuhan Talaud. Sang fajar perlahan mulai naik lalu menerangi
alam. Aktivitas masyarakat di pelabuhan mulai terlihat jelas. Sejak tadi mereka
sudah menunggu akan datangnya kapal penumpang yang membawa kami. Di pagi yang
cerah itu, sebelum kami dan penumpang lain turun dari kapal, sang nahkoda
kembali memimpin doa bersama sebagai rasa syukur atas keselamatan kami semua
selama dalam perjalanan. Doa bersama itu sama dengan saat kami hendak
meninggalkan pelabuhan Manado. Mayoritas masyarakat setempat beragama Kristen Protestan.
Namun sebagai Muslim, kami tetap menghargai keyakinan masing-masing orang.
Di
pelabuhan Talaud, kami di jemput oleh bu Helda. Ia berkerja sebagai manager Pembangunan
Sentra Kelautan dan Perikanan di Pulau-pulau Kecil dan Kawasan Perbatasan. Sebelum
perjalanan dilanjutkan ke Pulau Kakorotan, kami melakukan rapat koordinasi bersama
pemerintah daerah setempat dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan. Tak lama
kemudian, menjelang siang perjalanan baru akan dilanjutkan ke Pulau Kakorotan. Dengan
menyewa Speedboat, perjalanan kami
tempuh sekitar tiga jam lamanya. Yang membuat saya terpukau adalah saat melihat
lautnya yang jernih dengan tingkat gradasi warna biru kehijauan. Begitupun
dengan visibility untuk melihat
langsung karang-karangnya yang indah.
kapal Holly Merry yang kami tumpangi |
Dua
mesin berkekuatan 40 PK mulai dinyalakan, speedboat
yang mengantar kami pun melaju dengan kencang menghantam
gelombang-gelombang kecil dilautan. Petualangan ke pulau Kakorotan pun dimulai.
Sepanjang perjalanan laut, saya menyaksikan banyak keindahan. Pulau-pulau kecil
yang tak berpenghuni itu tampak ditumbuhi banyak pohon kelapa, sementara sepanjang
bibir pantainya ditumbuhi banyak pohon mangrove. Siang itu, matahari terasa
menyengat, namun perjalanan terasa mengasyikan, gerombolan ikan lumba-lumba sesekali
menampakkan diri. Ikan-ikan itu seakan menari, menyambut kedatangan kami di
pulau-pulau terluar. Keindahan laut di ujung utara pulau Sulawesi ini
mengingatkan saya pada laut Wakatobi di Sulawesi Tenggara. Ekosistem lautnya
masih terjaga dengan baik.
Dan
kami pun tiba di pulau Kakorotan. Pulau Kakorotan yang masih bagian dari
kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud. Kecamatan Nanusa ini terdiri dari
7 pulau, 4 diantaranya tak bepenghuni, yakni pulau Garat, Mangapung, Intata,
dan Malo. Dua pulau lainnya adalah pulau Karatung (ibukota kecamatan) dan pulau
Marampit (eks ibukota kecamatan). Di pulau Kakorotan sendiri hanya ada satu
desa yaitu desa Kakorotan. Wilayah desa ini meliputi pulau Malo dan pulau
Intata. Pulau Kakorotan merupakan salah satu pulau yang berbatasan langsung
dengan negara Filipina.
tengah bersiap menuju pulau Kakorotan |
Sejarah singkat desa Kakorotan, pulau Kakorotan berada di wilayah yang tentan
terkena dampak tsunami. Dahulu, pulau Kakorotan, pulau Malo, dan pulau Intata
awalnya adalah satu kesatuan daratan. Tetapi karena beberapa kali terkena amukan
tsunami diantara tahun 1014, tahun 1628, dan sekitar tahun 1990an, maka bencana
tsunami menenggelamkan sebagian daratan pulau Intata. Tsunami itu datang dari
arah timur laut sebelah lautan pasifik. Dari peristiwa itu, maka lahir sebuah
gagasan mengenai kesepakatan yang dibangun oleh tiga orang tua yang sejak awal
mendiami pulau-pulau tersebut. Diantaranya dari Hugu Lalua kepada Ratu
Liunsanda dan Hugu Panditan. katanya:
“Iradua roote
suammarangnge, pangemokke alawo’u talla pulanga, wurru tatta’u samba wurru la’u
matataikke wulawan sanniru apan nionongnge sutahaldan”
Artinya:
“Pergilah kamu
berdua ke darat serta kumpulkanlah orang-orang yang masih hidup, peliharalah
jiwa mereka dan biarlah saya jadi korban, bertahan bersama-sama dengan
saudara-saudara kita yang sudah mati hanyut terhempas oleh ombak dan gelombang.
Pasca
peristiwa tsunami itu, penduduk yang terisisa hanya delapan orang, kemudian
mereka membentuk suku-suku. Pemerintahan desa Kakorotan secara adat sudah
terbentuk sejak abad XIII. Desa Kakorotan dulunya bernama Aolotan yang artinya “Pemujaan”.
Namun karena dialek bahasa Belanda, maka Aolotan dilafalkan menjadi Kakorotan. Mulanya,
masyarakat desa Kakorotan hanya terdiri dari dua suku, kemudian mereka kembali
membentuk empat suku. Saat itu suku Ecin dan Suud diangkat menjadi Raja atau dengan
sebutan lain dalam adat “Ratumbanua” pertama.
Ratumbanua di bantu oleh seorang
permaisuri atau disebut dengan “Inanguanua”.
Dalam kehidupan mereka, masyarakat desa Kakorotan selalu memegang teguh
semboyan nenek moyang “Upasan alit ala punnene,
uaruweunten alu ta otongnge” artinya “berat sama dipikul, ringan sama
dijinjing”.
speedboat melaju kencang |
Dalam
perkembangannya, masyarakat desa Kakorotan kini memiliki sepuluh sub etnis,
yakni suku Ecin, suku Suud, suku Wawuno, suku Melocan, suku Luli, suku Empisan,
suku Wawuisan, suku Parapa, suku Mangalun, dan suku Tanala. Masing-masing adat
dipimpin oleh satu kepala adat dan wakil kepala adat. Dari kesepuluh suku
tersebut, Ratumbanua dan Inanguanua merupakan pemimpin tertinggi dalam adat. Keduanya
di ibaratkan seperti Raja dan Permaisuri. Ratumbanua dan Inanguanua dipilih
oleh Ratumbanua dan Inanguanua sebelumnya, berdasarkan garis keturunan. Sedangkan
kepala suku dan wakil kepala suku dipilih berdasarkan musyawarah seluruh
anggota sukunya. Sistem kepemilikan suku dalam adat di desa ini dimiliki
berdasarkan garis keturunan.
Di
desa Kakorotan, hubungan kekeluargaan begitu dekat. Dalam satu desa,
keterkaitan antara keluarga satu dengan keluarga lain tidak begitu jauh. Dalam konteks
pernikahan, peran adat menjadi penting untuk mengatur hubungan antara laki-laki
dan perempuan yang hendak menikah. Adat mengatur agar pernikahan antara
laki-laki dan perempuan hanya bisa dilakukan minimal pada keturunan ke empat
sampai ke bawah. Sementara untuk mereka yang berada di keturunan pertama, kedua
dan ketiga tidak dibolehkan untuk melangsungkan pernikahan diantara mereka. Hal
lain yang diatur dalam adat, karena terdapat sepuluh suku yang berbeda,
misalnya laki-laki berasal dari suku Parapa akan menikah dengan perempuan yang
berasal dari suku Wawuisan. Setelah menikah, mereka harus memilih untuk masuk
ke salah satu suku. Tetapi setelah keduanya telah melakukan kesepakatan bersama.
Dalam konteks ini, perempuan tak selalu mengikuti pilihan laki-laki, perempuan
berhak menentukan pilihannya dan sang suami harus mengikut.
bapak Ratumbanua (ketua adat) |
Peran
kelembagaan adat dalam kehidupan masyarakat desa Kakorotan masih begitu kuat. Adat
mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat desa, mulai dari sistem kepemilikan
lahan sampai aturan-aturan lain dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sistem kepemilikan
tanah di desa ini adalah sistem kepemilikan ulayat dengan pola pemukiman
masyarakat yang berdekatan berdasarkan suku. Selain peran kelembagaan adat,
pemerintah desa yang dipimpin oleh kepala desa (Opo Lao) dan kelembagaan gereja yang dipimpin oleh kepala Dewan
Jemaat. Ketiga lembaga tersebut saling bersinergi satu sama lain untuk mengatur
kehidupan masyarakat di desa Kakorotan.
***
Malam
semakin larut, namun lelaki tua itu terus mengeluarkan kepulan asap dari
mulutnya. Setiap tarikan rokok yang di isapnya, ia mencoba untuk mengingat
kembali peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di desa atau yang
pernah di alaminya. Terkadang ia tertawa, namun tak lama kemudian ia diam dan sedih.
Bapak ketua adat Ratumbanua bercerita
banyak hal tentang sejarah desa. Ia juga bercerita tentang bagaimana dirinya
memimpin adat dan bagaimana menjaga tradisi Eha yang merupakan suatu kearifan lokal untuk menjaga kelestarian lingkungan secara bersama-sama.
kantor desa Kakorotan |
Eha merupakan larangan bagi masyarakat untuk mengambil
hasil bumi, baik hasil laut maupun hasil lain di darat pada periode waktu
tertentu. Tradisi ini telah ada sejak dulu sebagai upaya untuk tetap menjaga
keberlanjutan sumber daya alam yang ada. Tujuan Eha adalah, untuk membiasakan masyarakat hidup bersama, makan
bersama, susah dan senang bersama.
Sayangnya
ketika ingin menggali cerita Eha lebih
dalam, waktu ku tak banyak lagi untuk mengajak bapak Ratumbanua bercerita. Saya
memahami kondisi bapak Ratumbanua yang mulai kelelahan. Beliau harus mengakhiri
ceritanya dan beristrahat di malam ini. Meski demikian, beliau telah berjanji
untuk mengajak saya datang kembali kerumahnya dan melanjutkan kembali cerita-cerita
menarik desa Kakorotan. Baiklah, selamat beristirahat pak ketua adat. Selamat beristirahat
kawan-kawan.
Bogor,
10 Juni 2016
Pukul:
3.50 AM
Di
saat saya harus segera sahur sebelum waktu imsak
0 komentar:
Post a Comment