Friday, June 10, 2016

Mereka Terluar, Mereka yang Terdepan

matahari terbit di Kepulauan Talaud
Bagi seorang anak pulau, perjalanan berhari-hari di laut lepas atau berkunjung dari satu pulau ke pulau lain sudah menjadi hal yang biasa. Bagi seorang anak pulau, pergi berlayar adalah cara mempertahankan tradisi melaut yang diturunkan dari nenek moyang. Mereka bermigrasi untuk mencari nafkah di pulau-pulau lain. Perjalanan mereka ke pulau-pulau itu tidak ditempuh dalam waktu singkat. Di masa dulu, pelayaran mereka tidaklah menumpangi kapal-kapal besi seperti kapal PELNI atau sejenisnya, tidak juga menaiki pesawat terbang yang waktu tempuhnya hanya beberapa jam ke Bogor dari Buton misalnya. Dahulu perjalanan mereka hanya dengan menggunakan kapal-kapal kecil, kapal yang hanya mengandalkan tiupan angin. Perjalanan bisa ditempuh berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan lamanya.    

***

Sore itu, dengan menumpangi kapal Holly Merry saya bertolak dari pelabuhan Manado ke pelabuhan kabupaten Kepulauan Talaud. Sebenarnya selain kapal laut, ada jalur lain dengan menggunakan pesawat dari Bandar Udara Samratulangi di Manado ke Bandar udara Melonguane. Melonguane adalah ibukota kabupaten Kepulauan Talaud. Untuk kapal laut, butuh waktu 16 jam. Sementara via pesawat hanya sekitar satu jam lamanya. Kabupaten Kepulauan Talaud merupakan bagian integral dari Propinsi Sulawesi Utara. Daerah ini memisahkan diri dari kabupaten Kepulauan Sangihe sesuai Undang-Undang No.8 Tahun 2002 yang disahkan menjadi daerah otonom. Sebagai daerah yang belum lama mekar, boleh dikatakan kabupaten Kepulauan Talaud telah tumbuh dan berkembang dengan cepat, baik secara fisik maupun non fisik. Terlihat dari peningkatan jumlah penduduk, aktifitas perekonomian, sosial dan budayanya.

aktifitas masyarakat di pelabuhan Kepulauan Talaud
Kabupaten kepulauan Talaud memiliki 17 pulau, 9 diantaranya tidak berpenghuni. Pulau-pulau tersebut berada dalam 5 gugusan, yakni: Nanusa, Karakelang, Salibabu, Kabaruan, dan Miangas. Pulau Kakorotan berada dalam gugusan Nanusa. Sebagai pendatang baru, saya begitu penasaran dengan pulau eksotik ini. Di pagi buta, kapal yang membawa kami sandar di pelabuhan Talaud. Sang fajar perlahan mulai naik lalu menerangi alam. Aktivitas masyarakat di pelabuhan mulai terlihat jelas. Sejak tadi mereka sudah menunggu akan datangnya kapal penumpang yang membawa kami. Di pagi yang cerah itu, sebelum kami dan penumpang lain turun dari kapal, sang nahkoda kembali memimpin doa bersama sebagai rasa syukur atas keselamatan kami semua selama dalam perjalanan. Doa bersama itu sama dengan saat kami hendak meninggalkan pelabuhan Manado. Mayoritas masyarakat setempat beragama Kristen Protestan. Namun sebagai Muslim, kami tetap menghargai keyakinan masing-masing orang.

Di pelabuhan Talaud, kami di jemput oleh bu Helda. Ia berkerja sebagai manager Pembangunan Sentra Kelautan dan Perikanan di Pulau-pulau Kecil dan Kawasan Perbatasan. Sebelum perjalanan dilanjutkan ke Pulau Kakorotan, kami melakukan rapat koordinasi bersama pemerintah daerah setempat dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan. Tak lama kemudian, menjelang siang perjalanan baru akan dilanjutkan ke Pulau Kakorotan. Dengan menyewa Speedboat, perjalanan kami tempuh sekitar tiga jam lamanya. Yang membuat saya terpukau adalah saat melihat lautnya yang jernih dengan tingkat gradasi warna biru kehijauan. Begitupun dengan visibility untuk melihat langsung karang-karangnya yang indah.

kapal Holly Merry yang kami tumpangi
Dua mesin berkekuatan 40 PK mulai dinyalakan, speedboat yang mengantar kami pun melaju dengan kencang menghantam gelombang-gelombang kecil dilautan. Petualangan ke pulau Kakorotan pun dimulai. Sepanjang perjalanan laut, saya menyaksikan banyak keindahan. Pulau-pulau kecil yang tak berpenghuni itu tampak ditumbuhi banyak pohon kelapa, sementara sepanjang bibir pantainya ditumbuhi banyak pohon mangrove. Siang itu, matahari terasa menyengat, namun perjalanan terasa mengasyikan, gerombolan ikan lumba-lumba sesekali menampakkan diri. Ikan-ikan itu seakan menari, menyambut kedatangan kami di pulau-pulau terluar. Keindahan laut di ujung utara pulau Sulawesi ini mengingatkan saya pada laut Wakatobi di Sulawesi Tenggara. Ekosistem lautnya masih terjaga dengan baik.

Dan kami pun tiba di pulau Kakorotan. Pulau Kakorotan yang masih bagian dari kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud. Kecamatan Nanusa ini terdiri dari 7 pulau, 4 diantaranya tak bepenghuni, yakni pulau Garat, Mangapung, Intata, dan Malo. Dua pulau lainnya adalah pulau Karatung (ibukota kecamatan) dan pulau Marampit (eks ibukota kecamatan). Di pulau Kakorotan sendiri hanya ada satu desa yaitu desa Kakorotan. Wilayah desa ini meliputi pulau Malo dan pulau Intata. Pulau Kakorotan merupakan salah satu pulau yang berbatasan langsung dengan negara Filipina.

tengah bersiap menuju pulau Kakorotan
Sejarah singkat desa Kakorotan, pulau Kakorotan berada di wilayah yang tentan terkena dampak tsunami. Dahulu, pulau Kakorotan, pulau Malo, dan pulau Intata awalnya adalah satu kesatuan daratan. Tetapi karena beberapa kali terkena amukan tsunami diantara tahun 1014, tahun 1628, dan sekitar tahun 1990an, maka bencana tsunami menenggelamkan sebagian daratan pulau Intata. Tsunami itu datang dari arah timur laut sebelah lautan pasifik. Dari peristiwa itu, maka lahir sebuah gagasan mengenai kesepakatan yang dibangun oleh tiga orang tua yang sejak awal mendiami pulau-pulau tersebut. Diantaranya dari Hugu Lalua kepada Ratu Liunsanda dan Hugu Panditan. katanya:

“Iradua roote suammarangnge, pangemokke alawo’u talla pulanga, wurru tatta’u samba wurru la’u matataikke wulawan sanniru apan nionongnge sutahaldan”
Artinya:
Pergilah kamu berdua ke darat serta kumpulkanlah orang-orang yang masih hidup, peliharalah jiwa mereka dan biarlah saya jadi korban, bertahan bersama-sama dengan saudara-saudara kita yang sudah mati hanyut terhempas oleh ombak dan gelombang.

Pasca peristiwa tsunami itu, penduduk yang terisisa hanya delapan orang, kemudian mereka membentuk suku-suku. Pemerintahan desa Kakorotan secara adat sudah terbentuk sejak abad XIII. Desa Kakorotan dulunya bernama Aolotan yang artinya “Pemujaan”. Namun karena dialek bahasa Belanda, maka Aolotan dilafalkan menjadi Kakorotan. Mulanya, masyarakat desa Kakorotan hanya terdiri dari dua suku, kemudian mereka kembali membentuk empat suku. Saat itu suku Ecin dan Suud diangkat menjadi Raja atau dengan sebutan lain dalam adat “Ratumbanua” pertama. Ratumbanua di bantu oleh seorang permaisuri atau disebut dengan “Inanguanua”. Dalam kehidupan mereka, masyarakat desa Kakorotan selalu memegang teguh semboyan nenek moyang “Upasan alit ala punnene, uaruweunten alu ta otongnge” artinya “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”.

speedboat melaju kencang
Dalam perkembangannya, masyarakat desa Kakorotan kini memiliki sepuluh sub etnis, yakni suku Ecin, suku Suud, suku Wawuno, suku Melocan, suku Luli, suku Empisan, suku Wawuisan, suku Parapa, suku Mangalun, dan suku Tanala. Masing-masing adat dipimpin oleh satu kepala adat dan wakil kepala adat. Dari kesepuluh suku tersebut, Ratumbanua dan Inanguanua merupakan pemimpin tertinggi dalam adat. Keduanya di ibaratkan seperti Raja dan Permaisuri. Ratumbanua dan Inanguanua dipilih oleh Ratumbanua dan Inanguanua sebelumnya, berdasarkan garis keturunan. Sedangkan kepala suku dan wakil kepala suku dipilih berdasarkan musyawarah seluruh anggota sukunya. Sistem kepemilikan suku dalam adat di desa ini dimiliki berdasarkan garis keturunan.

Di desa Kakorotan, hubungan kekeluargaan begitu dekat. Dalam satu desa, keterkaitan antara keluarga satu dengan keluarga lain tidak begitu jauh. Dalam konteks pernikahan, peran adat menjadi penting untuk mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan yang hendak menikah. Adat mengatur agar pernikahan antara laki-laki dan perempuan hanya bisa dilakukan minimal pada keturunan ke empat sampai ke bawah. Sementara untuk mereka yang berada di keturunan pertama, kedua dan ketiga tidak dibolehkan untuk melangsungkan pernikahan diantara mereka. Hal lain yang diatur dalam adat, karena terdapat sepuluh suku yang berbeda, misalnya laki-laki berasal dari suku Parapa akan menikah dengan perempuan yang berasal dari suku Wawuisan. Setelah menikah, mereka harus memilih untuk masuk ke salah satu suku. Tetapi setelah keduanya telah melakukan kesepakatan bersama. Dalam konteks ini, perempuan tak selalu mengikuti pilihan laki-laki, perempuan berhak menentukan pilihannya dan sang suami harus mengikut.  

bapak Ratumbanua (ketua adat)
Peran kelembagaan adat dalam kehidupan masyarakat desa Kakorotan masih begitu kuat. Adat mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat desa, mulai dari sistem kepemilikan lahan sampai aturan-aturan lain dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sistem kepemilikan tanah di desa ini adalah sistem kepemilikan ulayat dengan pola pemukiman masyarakat yang berdekatan berdasarkan suku. Selain peran kelembagaan adat, pemerintah desa yang dipimpin oleh kepala desa (Opo Lao) dan kelembagaan gereja yang dipimpin oleh kepala Dewan Jemaat. Ketiga lembaga tersebut saling bersinergi satu sama lain untuk mengatur kehidupan masyarakat di desa Kakorotan.

***

Malam semakin larut, namun lelaki tua itu terus mengeluarkan kepulan asap dari mulutnya. Setiap tarikan rokok yang di isapnya, ia mencoba untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di desa atau yang pernah di alaminya. Terkadang ia tertawa, namun tak lama kemudian ia diam dan sedih. Bapak ketua adat Ratumbanua bercerita banyak hal tentang sejarah desa. Ia juga bercerita tentang bagaimana dirinya memimpin adat dan bagaimana menjaga tradisi Eha yang merupakan suatu kearifan lokal untuk menjaga kelestarian lingkungan secara bersama-sama.

kantor desa Kakorotan
Eha merupakan larangan bagi masyarakat untuk mengambil hasil bumi, baik hasil laut maupun hasil lain di darat pada periode waktu tertentu. Tradisi ini telah ada sejak dulu sebagai upaya untuk tetap menjaga keberlanjutan sumber daya alam yang ada. Tujuan Eha adalah, untuk membiasakan masyarakat hidup bersama, makan bersama, susah dan senang bersama.

Sayangnya ketika ingin menggali cerita Eha lebih dalam, waktu ku tak banyak lagi untuk mengajak bapak Ratumbanua bercerita. Saya memahami kondisi bapak Ratumbanua yang mulai kelelahan. Beliau harus mengakhiri ceritanya dan beristrahat di malam ini. Meski demikian, beliau telah berjanji untuk mengajak saya datang kembali kerumahnya dan melanjutkan kembali cerita-cerita menarik desa Kakorotan. Baiklah, selamat beristirahat pak ketua adat. Selamat beristirahat kawan-kawan.



Bogor, 10 Juni 2016

Pukul: 3.50 AM
Di saat saya harus segera sahur sebelum waktu imsak

0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts