ADA saja cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan
lama yang masih diwarisi secara turun-temurun oleh masyarakat desa. Secara umum,
masyarakat desa adalah masyarakat tradisional yang kehidupannya masih banyak
dilumuri oleh adat istiadat. Adat istiadat menjadi suatu norma yang mencakup
segala konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan dalam
kehidupan. Kehidupan masyarakat desa yang damai dan tenteram menjadi satu
penilaian tentang bagaimana cara mereka merawat budaya dengan sungguh-sungguh.
Di pulau Buton Sulawesi Tenggara, sejak
ratusan tahun yang lalu ada banyak tradisi yang di wariskan dari para leluhur. Dari sekian banyak tradisi yang di pertahankan itu, diantaranya
adalah Pidoano Kuri atau acara adat
tahunan masyarakat desa Wabula di Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara. Pelaksanaan
Pidoano Kuri biasanya dilaksanakan
pada bulan Juli atau pasca lebaran Idul Fitri bersamaan dengan pulangnya
masyarakat Wabula yang merantau dari berbagai daerah.
Bagi masyarakat Wabula, Pidoano Kuri tidak hanya dilihat sebagai acara tahunan yang wajib
dilaksanakan oleh adat, Pidoano Kuri
juga tidak hanya sebatas menjalankan serangkaian ritual-ritual adat agar tak
hilang ditelan zaman, namun Pidoano Kuri lebih
pada rasa syukur masyarakat desa Wabula atas panen yang didapat. Melalui acara
adat Pidoano Kuri, ada banyak makna
yang tersimpan dalam setiap ritualnya. Masyarakat percaya, acara adat tahunan Pidoano Kuri selama ini telah menjadi
pengikat demi memperkuat kekeluargaan mereka di desa, ritual Pidoano Kuri juga lebih mendekatkan
mereka pada Maha Pencipta, serta bagaimana masyarakat bisa menjaga sumber daya
alam dan memanfaatkannya secara berkelanjutan. Melalui Pidoano Kuri, hasil jerih payah masyarakat
bisa dinikmati secara bersama-sama. Masyarakat percaya, munculnya wabah
penyakit, terjadinya gagal panen, atau datangnya musibah itu di sebabkan oleh
masalah dalam menjalankan adat. Misalnya ketika Parabela (kepala adat) telah menyimpang dari norma kelembagaan
adat.
***
ANGIN di malam itu bertiup cukup kencang.
Dari luar Galampa (tempat pertemuan),
saya menyaksikan seluruh pemuka adat duduk bersila melingkari ruangan bangunan
itu. Dalam pejam, mereka tertunduk seraya memanjatkan doa. Malam itu hening,
hanya ada suara-suara bisik yang terdengar dari dalam Galampa, namun suara itu semakin jelas ketika doa-doa terdengar
ramai diucapkan. Masyarakat mulai berdatangan dengan membawa Talang (wadah) yang sudah di isi dengan
aneka jenis makanan tradisional.
Di hadapan para tetua adat, tersaji aneka
jenis makanan yang telah disiapkan oleh para perempuan-perempuan di desa.
Sebelum santap bersama, para tetua adat melakukan doa bersama sebagai ucapan
syukur dan permohonan agar hasil pertanian dan perikanan selalu diberi
keberkahan dan keberlimpahan di tahun-tahun berikutnya.
Usai santap bersama, acara kemudian
dilanjutkan dengan tarian. Tarian dimalam itu hanya dilakukan oleh para tetua
adat laki-laki, bergantian tak henti hingga subuh menjelang terbitnya fajar. Usai
shalat subuh, pagi itu tarian kembali dilanjutkan. Kali ini tak hanya tetua
adat laki-laki yang menari, namun perempuan-perempuan di desa itu juga ikut
menari bersama.
Gandha kembali di
tabuh, terdengar bertalu-talu mengiringi tarian. Tari Linda mengayun lamban mengikuti dentuman Ghanda dan nyanyian para tetua adat. Tari Linda digambarkan sebagai asal usul kehidupan manusia. Selain tari Linda, tari Mangaru memiliki daya tarik
tersendiri, sebab para penari menunjukkan jurus-jurus silat, terjadi duel dan
saling serang menggunakan tombak, perisai, dan keris yang terhunus. Dahulu
tarian ini adalah simbol perlawanan dalam menjaga serangan-serangan pihak luar
yang mencoba mengganggu pertahanan dan keamanan teritorial kesultanan Buton.
Bagi masyarakat Wabula, acara adat dilakukan
dua kali dalam setahun. Pertama, acara adat yang diselenggarakan di bulan
Februari. Masyarakat Wabula mengenalnya dengan acara adat Mata’ano Galampa, dan yang ke kedua di bulan Juli ini adalah
ritual adat Pidoano Kuri. Acara adat
ini dimulai dengan Dupa’ayano ganda atau
pembukaan dengan memukul gendang.
Ada semacam larangan yang dibuat oleh lembaga
adat dan harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat desa Wabula. Misalnya ada
larangan untuk mengadakan pesta atau acara-acara dengan membunyikan gendang dan
memainkan alat musik. Bentuknya seperti diberlakukan “buka-tutup” yang memang sudah
diatur dalam adat. Di bulan Februari, kegiatan adat berlangsung selama tiga
hari, acara adat ini dikenal juga dengan Mata’ano
Galampa sekaligus menjadi awal kalau selama beberapa bulan masyarakat
dilarang menabuh Ghanda (alat musik
tradisional) dan membuat acara-acara besar sampai menunggu waktu dibukanya
kembali acara adat berikutnya di bulan Juli. Acara adat ini dikenal dengan Pidoano Kuri.
***
DESA Wabula berada di wilayah pesisir selatan
pulau Buton. Pantainya menghadap langsung dengan laut Banda. Kegiatan menangkap
ikan adalah salah satu sumber mata pencaharian mereka dilaut. Masyarakat membuat
Keramba di sepanjang pantai. Ketika air laut surut, kita bisa berjalan sejauh
satu kilometer. Dalam mengelola sumber daya alam, masyarakat masih memegang
erat pada kebiasaan-kebiasaan dalam adat. Seperti misalnya larangan dalam
mengambil ikan pada waktu-waktu tertentu. Ketika laut masih dalam status Ombo, masyarakat dilarang untuk
mengambil hasil laut.
Adat sangat berperan mengatur masyararakat
dalam mengakses sumber daya alam. Modelnya adalah kepemilikan bersama. Namun
dalam pemanfaatannya kembali pada aturan-aturan adat. Parabela (kepala adat) menjadi aktor yang berperan penting dalam menegakkan
hukum adat. Parabela bersama Imam dan
Kepala Desa juga saling mengisi. Mereka secara bersama merumuskan suatu
kebijakan melalui rapat-rapat musyawarah adat. Parabela adalah seorang yang dipercaya dan ditunjuk berdasarkan
silsilah garis keturunan. Dalam menjalankan tugasnya, Parabela bersama Imam dan kepala desa saling bersinergi. Melihat
karakteristik masyakarat desa Wabula, mereka sangat tunduk pada hukum-hukum
adat.
Adat begitu kental di masyarakat, misalnya
saja ketika ada dua belah pihak yang bertikai. Maka permasalahan tersebut
diserahkan ke adat, Parabela bersama
perangkatnya melakukan musyawarah guna mencari jalan keluar atas permasalahan
diantara mereka. Untuk mencari siapa benar dan siapa salah, maka perangkat adat
bersama imam melakukan ritual adat, atau di kenal dengan Kaleo-leo untuk membuktikan kebenaran diantara mereka. Setelah
dilakukan musyawarah adat, kedua orang yang berseteru itu lalu di bawa ke laut
untuk dimandikan. Mereka tak hanya disaksikan oleh para pemuka adat dan imam, tapi
seluruh masyarakat desa ikut menyaksikan prosesi Kaleo-leo demi mencari tahu siapa sebenarnya yang telah
menyembunyikan kesalahan itu. Dalam ritual Kaleo-leo,
keduanya ditenggelamkan secara bersamaan, jika ada salah satu diantaranya yang bersalah,
maka ia tak tahan menahan pedihnya air laut. Tubuhnya serasa ditusuk-tusuk
ketika terkena air laut. Sementara bagi
yang tidak bersalah, ia bisa bertahan dalam air laut.
***
DESA Wabula menjadi salah satu desa yang
menjadi fokus perhatian pemerintah daerah dalam mendorong sektor pariwisata di
Kabupaten Buton. Umumnya, rumah-rumah di desa ini masih berbentuk rumah
panggung namun sudah ditunjang dengan fasilitas yang cukup memadai, seperti
sarana air bersih, listrik dan jaringan telepon seluler. Sepanjang pantainya ditumbuhi pohon kepala dan dibangun beberapa wale-wale atau semacam pondok-pondok tempat peristrahatan nelayan.
Potensi desa Wabula untuk dijadikan sebagai
desa adat sangat memungkinkan bila dilihat dari karakteristik masyarakatnya
yang masih berpegang pada hukum-hukum adat. Peran kelembagaan adat tidak hanya
menjaga harmonisasi hubungan diantara mereka, namun juga mempertebal iman,
hubungan antara manusia dan Maha Pencipta, atau hubungan antara manusia dan
alam. Nah, pada titik ini mestinya pemerintah daerah tidak hanya gencar menjual
desa Wabula sebagai desa adat. Tetapi mesti ada satu bentuk pengakuan secara
yuridis untuk mengesahkan desa Wabula sebagai desa adat.
Buton, 22 Juli 2016
0 komentar:
Post a Comment