Monday, October 17, 2016

Konservasi Kawasan Ekosistem Leuser Berbasis Kearifan Lokal

APA yang menjadi ancaman atas berkahirnya kehidupan di planet yang bernama bumi ini adalah kerusakan hutan yang menjadi “paru-paru” pada sistem pernapasan Bumi. Paru-paru yang menjadi sistem pernapasan dengan menyerap karbondioksida yang membahayakan manusia dan menghasilkan oksigen yang diperlukan manusia. Hutan menjadi rumah bagi segala satwa, tetumbuhan, dan sumber penghidupan manusia. Nah ketika deforestasi hutan terjadi dimana-mana, maka proses pernapasan Bumi menjadi sesak, bahkan kehilangan denyut dan mati. Pada titik itu, kehidupan bisa dikatakan berakhir. Kerusakan hutan alam menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan hidup kita di planet Bumi ini. Ketika hutan kita lenyap, maka tak ada lagi hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Hutan bagian dari ekosistem, yang memberi suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi.  Ironinya, terjadinnya kerusakan hutan adalah akibat dari ulah manusia itu sendiri.

***

INDONESIA merupakan pemilik hutan tropis ketiga di dunia dengan luas kawasan mencapai 130,68 juta hektare. Kondisi ini juga menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Data FAO menyebutkan, hutan Indonesia secara total menyimpan 289 gigaton karbon dan memegang peranan penting menjaga kestabilan iklim dunia. Meski demikian, laju deforestasi hutan juga begitu cepat membuat luas hutan berkurang. Tercatat, setiap tahun ada 450 ribu hektare hutan yang mengalami degradasi dan deforestasi. Kerusakan dan ancaman paling besar terhadap hutan alam kita adalah penebangan liar, alih fungsi hutan menjadi perkebunan, kebakaran hutan, perburuan satwa liar, eksploitasi hutan yang tidak ramah lingkungan, ekspansi pemukiman, industri, serta kegiatan ekstrasi lain yang menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem hutan dan lingkungan disekitarnya. 

Sebagaimana hutan-hutan lain di Indonesia, luas total tutupan hutan Indonesia dari data dari Forest Watch Indonesia (FWI), Papua merupakan daerah yang memiliki proporsi tutupan hutan terluas di Indonesia, dengan presentase 38,72 persen, di ikuti Kalimantan 31,02 persen, Sumatera 13, 39 persen, Sulawesi 10,25 persen, Maluku 4,26 persen, Bali-Nusa Tenggara 1,34 persen dan Jawa 1,02 persen. Tutupan hutan sebagai salah satu indikator kondisi hutan terus berkurang sejalan dengan intervensi dan eksploitasi yang dilakukan oleh manusia. Satu dari sekian kawasan hutan yang di lindungi di Indonesia adalah Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang terletak di dua provinsi, yakni Aceh dan provinsi Sumatera Utara. Oleh UNESCO, pada tahun 2004 Kawasan Ekosistem Leuser dinyatakan sebagai Situs Warisan Dunia. Kawasan ini telah menjadi rumah dari 105 spesies mamalia, 382 spesies burung dan setidaknya 95 spesies reptil. Kawasan Ekosistem Leuser selain menjadi ‘spon raksasa’ sebagai daerah reasapan air, kawasan ini juga masih dihuni spesies-spesies langka seperti Harimau, Orang Utan, Gajah, dan Macan Tutul. Namun keberadaan hewan-hewan ini semakin terancam seiring dengan perburuannya yang begitu masif. 

Melihat kerusakan yang terus terjadi, pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 memberikan kewenangan kepada pemerintah Aceh dalam hal pengelolaan dan pelestarian lingkungan. Kemudian dua tahun setelahnya pemerintah menetapkan Kawasan Ekosistem Leuser  sebagai Kawasan Strategis Nasional melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Meski begitu, terjadi tarik-menarik kepentingan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Peningkatan status kawasan menjadi Kawasan Strategi Nasional rupanya tak disambut baik oleh pemerintah daerah Aceh. Tepatnya di tahun 2013 lalu, ketika Qanun atau peraturan daerah yang mengatur penyelenggaraan pemerintah di Provinsi Aceh ditetapkan. Pemerintah daerah Aceh kemudian menetapkan Qanun atau peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh tahun 2013-2033, dengan sengaja tidak memasukan KEL dalam RTRW Aceh. Padahal status KEL sudah ditingkatkan menjadi Kawasan Strategis Nasional sebagaimana yang tertuang dalam PP No. 26 tahun 2008. Alih-alih pemerintah daerah dengan tidak memasukan KEL dalam desain rencana tata ruang Aceh tentu patut dipertanyakan. Ironisnya lagi, Peraturan Daerah (PERDA) tersebut dibuat tidak merujuk dan mengabaikan peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Singkatnya, Qanun RTRW Aceh melanggar sejumlah Undang-Undang dan berpotensi merusak hutan di Kawasan Ekosistem Leuser. Potensi kerusakan hutan yang dimaksud adalah kewenangan pemerintah daerah dalam hal pengelolaan hutan serta pemberian izin kepada investor tambang, izin perkebenunan kelapa sawit serta izin pengolahan kayu di dalam Kawasan Ekosistem Leuser. Pastinya, ketika KEL tidak memiliki kekuatan hukum, maka akan membuka keran sejumlah pihak untuk melakukan eksploitasi lingkungan hidup. Pada titik ini, terjadilah deforestasi hutan dan kehancuran ekosistem.

***

PERTUMBUHAN jumlah penduduk memberi tekanan besar pada bumi, pola konsumsi manusia semakin berlebih serta tuntutan manusia terhadap lingkungan semakin besar dan menimbulkan kerusakan alam. Maka, kehadiran manusia akan menjadi ancaman terhadap jaringan kehidupan bumi. Rupanya tanpa kita disadari, manusia sudah melampaui daya dukung biosfer dengan memberi beban lebih pada kapasitas metabolisme planet untuk menyerap, memperkaya, dan mendaur ulang.

Alam sudah menunjukkan tanda-tanda kerusakan itu kepada kita. Ketika tuntutan manusia terhadap lingkungan semakin besar maka dampaknya adalah terjadi degradasi tanah, polusi, hilangnya keanekaragaman hayati, serta lenyapnya hutan dari permukaan bumi. Tanda-tanda lain ketika alam menunjukkan batas-batasnya yakni menyusutnya cadangan air. Di beberapa daerah masyarakat semakin kesulitan untuk mendapatkan air bersih, gelombang panas mulai terjadi, turunnya populasi hewan, dan berkurangnya hasil panen yang kini mulai dirasakan para petani dan nelayan-nelayan kita.

Masyarakat perkotaan terlalu bangga akan gaya hidup material mereka. Kebiasaan konsumsi yang di lakukan orang-orang kota ini meminta ongkos yang sangat besar dari lingkungan. Pemakaian energi secara berlebihan, dibukanya tambang, limbah pabrik, asap kendaraan, gedung-gedung mewah, dan hal-hal lain membuat atmosfer, perairan pesisir, sungai, hutan, dan tanah akan mengalami masalah besar. Sistem daya dukung bumi ini beresiko akan dirusak oleh semakin tingginya gelombang konsumsi manusia. Bahayanya, orang-orang desa mulai mengidamkan gaya hidup orang-orang kota.
Mungkin kondisi inilah yang oleh Stiglitz disebut sebagai “Kutukan Sumber Daya Alam”. Sebuah kondisi ironis yang timbul dari melimpahnya kekayaan SDA yang justru malah menciptakan kehancuran. Mengapa Stiglitz menyebut sumber daya alam yang melimpah dengan “Kutukan Sumber Daya Alam”? alasannya adalah pemerintah terlalu mengandalkan sumber daya alam bahkan dalam pengelolaannya menyerahkannya pada insvestor. Pemerintah terlanjur terjebak dalam lubang globalisasi dan tidak mampu mengendalikan kuasa pasar bebas untuk mengeruk komoditas yang dihasilkan SDA. Sehingga pemerintah tidak mampu melakukan konservasi dan recovery. Menurut Stiglitz (2007), hal ini merupakan akibat kegagalan globalisasi. Lebih lanjut, dengan sangat tajam Stiglitz menggambarkan apabila ada banyak berlian di tengah ruangan, setiap orang di dalamnya akan berusaha mengambilnya. Orang yang paling kuat mempunyai kesempatan besar untuk berhasil, dan tidak ingin membagi dengan yang lain kecuali apabila mereka dipaksa harus melakukannya.
Kasus yang terjadi di Aceh dan Sumatera Utara tidak ubahnya demikian. Kekayaan sumber daya alamnya mengundang banyak orang untuk berebut menguasainya. Berbagai cara dilakukan untuk dapat meraup sebanyak-banyak hasil alamnya. Semangat inilah yang terkandung dalam kapitalisme yang membonceng globalisasi ekonomi. Ada banyak cara yang perlu kita lakukan agar keberlanjutan menjadi suatu kenyataan. Kita bisa memupuk suatu etika pribadi untuk bersikap sederhana secara material yang disertai dengan kesadaran akan lingkungan. Secara praktis, ini bentuk komitmen kita agar lebih sedikit dalam mengkonsumsi bahan-bahan yang merusak lingkungan. 

Sebagaimana kita lihat masyarakat adat di pulau Kakorotan, Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara. Mereka melakukan konservasi melalui tradisi Eha dan Mane’e. Eha dan Mane’e adalah pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal (local wisdom). Eha dan Mane’e adalah suatu bentuk pengelolaan sumber daya alam dengan mempertimbangkan dampak yang akan terjadi di masa akan datang. Ketika sumber daya alam di eksploitasi secara berlebihan, maka akan berujung pada terjadinya tragedy of the common. Sejak dulu, masyarakat Kakorotan memiliki mekanisme dalam memanfaatkan dan melestarikan sumber daya alam secara berkelanjutan. Mereka merumuskan aturan dalam pemanfaatan sumber daya alam bersifat common property. Aturan adat tersebut di pahami sebagai bentuk kearifan lingkungan yang harus di jalankan dalam tata nilai kehidupan. Hal itu telah menyatu dalam bentuk agama, budaya, dan adat istiadat. Sebagaimana Keraf (2002), bahwa semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Lembaga adat sangat berperan dalam mengatur aspek-aspek kehidupan masyarakat desa. Mulai dari sistem kepemilikan lahan, pengelolaan laut dan pesisir, sampai pada urusan pernikahan. Meski demikian, lembaga adat tidak berjalan sendiri. Pemerintahan desa dan lembaga gereja (dewan jemaat) saling bersinergi dalam menjaga tatanan sosial termasuk menjalankan dan mematuhi larangan-larangan yang telah disepakati dalam Eha dan Mane’e.

Tidak hanya di Pulau Kakorotan, di beberapa daerah lain juga bentuk pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam secara kearifan lokal juga dilakukan secara turun-temurun. Misalnya, Awig-Awig di Lombok dan Bali yang memuat aturan adat dalam berinteraksi dan mengelola sumber daya alam dan lingkungan, Kapamalian di Banjar di Kalimantan Selatan yang memuat aturan-aturan (pantangan) dalam pengelolaan lingkungan misalnya larangan membuka hutan keramat, Sasi di Maluku yang juga memuat aturan adat dalam mengelola lingkungan termasuk pemanfaatan sumber daya alam, atau Panglima Laot di Aceh, yang mengatur tata cara penangkapan ikan di laut (meupayang).

***

SALAH satu yang menjadi hak masyarakat adat adalah mempertahankan identitas kultural demi generasi selanjutnya serta memperoleh akses hak atas tanah dalam mengelola sumber daya alam. Namun di negara kita, peraturan hukum belum memberi ruang bagi masyarakat adat dalam mengelola hutan sebagai sumber mata pencaharian mereka. Pada titik ini, posisi negara berada dalam kepentingan korporasi dan kapital. Hukum adat dibenturkan dengan hukum negara demi kepentingan masuknya investor.

Kebiasaan masyarakat adat dalam memanfaatkan hutan secara tradisional adalah salah satu cara untuk menjaga hutan dari kegiatan eksploitatif yang berlebihan. Banyak fakta di negara kita, misalnya ketika ekspansi perkebunan kelapa sawit menggerus luasan hutan alam yang selama ini menjadi penyangga bagi ekosistem alam dan ketahanan pangan bagi masyarakat adat yang berada didalamnya. Terjadinya konversi lahan menjadi areal perkebunan kelapa sawit mengakibatkan sejumlah areal pertanian tanaman pangan masyarakat lokal mengalami kerusakan serius. Bagi masyarakat lokal yang di dalam dan sekitar hutan, deforestasi dan degradasi hutan sangat berdampak pada seluruh aspek kehidupan.

Bagi masyarakat adat disekitar maupun didalam hutan, kehilangan hutan adat menyebabkan masyarakat tidak mampu lagi mengatur hidupnya sendiri. Kehilangan hutan adat mereka salah satunya karena ekspansi perkebunan kelapa sawit semakin meluas. Mau tak mau, masyarakat lokal yang tadinya masih dapat mengelola hutan untuk bertahan hidup, kini tak lagi dapat mengolah lahan pertanian dan terpaksa harus bekerja pada perusahan-perusahan kelapa sawit. Kenyataan lain yang tidak dapat dipungkiri ketika kekuasaan para pemodal lebih berkuasa ketimbang para pejabat setempat yang memberi izin untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit. Praktek-praktek buruk seringkali diperlihatkan oleh mereka, seperti adanya kriminalisasi, pengambilan paksa lahan masyarakat, penggusuran perkampungan dan masih banyak lagi praktek-praktek lain yang merampas hak-hak manusia.

***

PERJUANGAN masyarakat dalam menjaga hutan di Kawasan Ekosistem Leuser bukan baru kali ini, namun sudah terjadi jauh sebelum undang-undang itu lahir, jauh sebelum Perda pemerintah Aceh tentang RTRW itu ditetapkan. Sekitar tahun 1920 silam, para tetua adat lebih dulu berkumpul dalam suatu musyawarah untuk menyelamatkan KEL. Mereka telah memiliki pandangan bahwa suatu saat kawasan itu benar-benar akan menjadi surga terakhir bagi satwa di Sumatera. 

Oleh karena itu, "Mengingat pentingnya keberadaan ekosistem dan keanekaragaman hayati, maka sudah seharusnya pemerintah memberikan perlindungan serta payung hukum yang bisa menjamin keberlangsungannya dimasa depan. Di Aceh, Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) adalah mata rantai uama bagi lingkungan sekitarnya. Upaya untuk melindunginya harus ditempuh dengan tetap memasukkannya dalam perencanaan ruang, serta tidak menurunkan statusnya karena pertimbangan pragmatis."




0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts