![]() |
Sumber: foto yadilaode |
Suatu malam di Muara Angke Jakarta Utara. Mobil kami perlahan memasuki jalan ke dermaga penyebrangan Kepulauan Seribu. Kami di sambut bau amis dari darah ikan yang menyengat dan air laut yang masuk menggenangi ruas jalan. Benar, permukaan air laut sudah rata dengan darat. Sepanjang bibir pantai berjejer rumah-rumah kumuh. Di areal dermaga, para pedagang kaki lima mencoba bertahan dengan membuka lapak. Saat malam begini, mereka hanya membuka kelambu dan tidur sepanjang malam bersama keluarga. Dingin, nyamuk dan bau amis darah ikan sepertinya akrab bagi mereka. Meskipun kondisi ini sangat kontras dengan kehidupan mereka yang hidup nyaman di bangunan berpuluh-puluh lantai itu.
"Beli rokoknya bu..."suaraku sedikit kencang saat membangunkan pedagang itu. Ibu itu sudah sangat terlelap, saya harus berulang-ulang memanggilnya, saya harus menunggu beberapa lama di depan lapak dagangannya, sementara sang ibu masih memeluk erat sang buah hati yang kelihatan dingin. Ibu itupun akhirnya bangun dan memberikan sebungkus rokok.
Kapal nanti beroprasi pukul delapan pagi. Malam itu kami harus nginap di terminal dermaga. Mencari tempat yang pas untuk merebahkan badan, kursi dan meja menjadi tempat pembaringan malam itu. Meski serangan nyamuk bertubi-tubi, meski hidung tak bersahabat dengan udara disekitar. Mungkin butuh beberapa lama bisa beradaptasi dengan lingkungan, mungkin sama dengan mereka-mereka yang sejak awal tinggal disekitar sini. Malam terasa begitu lama, berharap pagi dan bergegas pergi dari tempat ini. Rasanya mata ini tak sanggup melihat kehidupan yang begitu jauh dari kata layak. Pagi pun tiba, namun matahari kurang begitu jelas, suhu udara pagi juga terasa panas. Jangan harap, pagi di ibukota akan sama dengan pagi di desa-desa. Pagi di ibukota berkabut asap pabrik.
Dan akhirnya, loket penjualan tiket di buka. Kami memesan tiket untuk empat orang. Tiket di hargai empat puluh ribu rupiah sekali perjalanan. Dengan kapal Kerapu 3, speedboat ini melaju kencang, memakai dua mesin berkekuatan 300 pk. Tak sampai dua jam, kami tiba di pulau Pari, salah satu pulau di Kepulauan Seribu Kabupaten administrasi di Provinsi DKI Jakarta. Ibukota Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu ada di pulau Pramuka. Hanya ada dua kecamatan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, yakni Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan memiliki tiga kelurahan yaitu Kelurahan Pulau Tidung, Kelurahan Pulau Pari, dan Kelurahan Pulau Untung Jawa. Kecamatan Kepulauan Seribu Utara juga memiliki tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Pulau Kelapa, Kelurahan Pulau Harapan, dan Kelurahan Pulau Panggang.
![]() |
Sumber: foto yadilaode |
Tujuan kami adalah ke pulau Pari. Pulau Pari sendiri hanya memiliki 1 RW dan 4 RT. Ibukota kelurahan ada di pulau Lancang Besar. Pulau ini berada diantara gugusan pulau lain. Keindahan alam pantainya menjadi daya tarik untuk di kunjungi. Kali ini kami datang bukan sebagai wisatawan. Sama ketika kapal kami sandar di dermaga pulau Pari, para Guide mencoba menawarkan tempat tinggal. Rumah-rumah mereka dijadikan homestay yang di persewakan. Biasanya setiap libur tiba, pulau Pari kebanjiran pengunjung, hampir semua homestay terisi. Ada tiga pantai yang menjadi mangnet pulau Pari, yakni pantai Pasir Perawan, Pantai Kresek, dan Pantai Bintang. Pantai-pantai ini untuk sementara masih dikelola oleh masyarakat, tapi tidak menutup kemungkinan akan diambil alih oleh pihak swasta. Perusahaan masuk dalam rangka mengelola kawasan wisata. Hotel-hotel akan dibangun diatas tanah yang mereka beli.
Pemerintah daerah awalnya menyepakati bahwa kawasan Pulau Pari adalah kawasan pemukiman warga. Sebagaimana Perda RTRW Provinsi DKI Jakarta No. 6 Tahun 1999, bahwa pulau Pari difungsikan untuk perumahan. Dahulu, sumber daya laut pulau Pari masih dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat. Seperti misalnya rumput laut dan ikan. Masyarakat masih bisa memenuhi kebutuhan hidup dari bertani rumput laut dan mencari ikan, "Dulu rumput laut masih bisa di ekspor, sekarang mah sudah tidak bisa lagi, rumput laut banyak yang mati, itu tuh sejak perusahaan masuk, sejak beberapa pulau disini di reklamasi, ditambah lagi reklamasi teluk Jakarta, batu-batu karang disekitar pulau diambil untuk reklamasi. Nah, darisitu tuh hasil tangkapan kita berkurang, rumput laut sudah tidak jadi lagi. Makanya lebih baik menjadi guide dan menyewakan rumah-rumah kami". Ujar seorang warga di pulau Pari.
Perubahan ini tidak hanya terjadi dalam masyarakat, namun perubahan juga terjadi pada lingkungan, dimana keanekaragaman hayati telah di rusak. Industri pariwisata memang menggiurkan, dimana keuntungan bisa didulang dari jumlah pengunjung yang datang. Tapi apakah sektor ini bisa menguntungkan masyarakat pulau atau justru menjadi ancaman atas kerusakan ekologi dan keberlanjutan hidup manusia. Kita tunggu catatan selanjutnya.
Tentunya harap, berharap dan penuh harapan pulau pari tetap bermasyarakat walau saat ini di topang oleh wisata lokal yang dirintisnya 5 tahun silam sebagai sumber penghidupan masyarakatnya. Walau Akses menuju pelabuhan penyeberangan di kali adem muara angke sangat tidak mengenakan dan tidak sedap di pandang mata, ini semua bagian dari jakarta yang harus juga jadi perhatian. Terlebih lagi pulau pari yang dilanda kisruhnya rumah tinggal mereka yang diklaim tanahnya milik perusahaan yang akan dikenakan sewa atau lain sebagainya, masyarakat 5 generasi ini sudah menggantungkan hidupnya di pulau pari dan menunggu keadilan yang belum kunjung datang.
ReplyDelete