![]() |
Ilustrasi (Sumber: food.detik.com) |
Seperti hari-hari lain, segelas kopi ku sesap dengan pelan dan hati-hati. Dengan pelan biar
terasa nikmat, dengan hati-hati agar lidah tak hangus. Pagi ini bersama segelas
kopi dan catatan dari A.N. Luthfi, Razif, M. Fauzi tentang Kronik Agraria
Indonesia.
Catatan ini sedikit
menyinggung nasib para petani kopi di Pasundan Jawa Barat sekitar tahun 1720
silam. Dimana VOC mewajibkan warga Pasundan untuk menanam kopi dengan jumlah dan
harga yang sudah ditentukan. Tak hanya itu, cara kerja petani kopi pun dipaksa
dan mendapat perlakuan kasar dari VOC. Nanti sekitar tahun 1870, mereka
melakukan perlawanan dan tanam paksa kopi pun dihentikan.
***
Tentang nasib
petani kopi dizaman itu, perjalanan mereka penuh dengan kegetiran dan tekanan
dari rezim VOC yang melakukan penguasaan tanah. Politik agraria yang lahir dari
rezim VOC, Kolonial Hindia-Belanda, Orde Lama, Orde Baru, hingga pemerintahan
kita sekarang adalah cerminan sikap dan cara mereka menghadapi pertumbuhan
kapitalisme.
“Agraria
adalah akibat, Kapitalisme adalah Sebab”. Saya kemudian menatap tajam cairan di
dalam gelas, ini berisi kopi yang menurutku tak hanya terbatas pada frame warna
hitam, ini tak segampang kita menghabiskan cairan kopi lalu meninggalkan ampas
dalam gelas, atau duduk berjam-jam disudut warung kopi dan menjadi pengamat politik
amatiran di kampung-kampung, ini diluar kebiasaan hari-hari kita bersama kopi, bahwa ada jejak atau peristiwa yang memilukan dari para
petani kopi kita, yang dulu dipaksa dan hak-hak mereka dirampas.
Persoalan agraria akan menjadi persoalan serius ketika kita telah memisahkan tanah dari ikatan sosio-kulturalnya dan menempatkan tanah sebagai barang komiditi. Ketika memasukan tanah dalam mekanisme pasar, menjadikan bahan dagangan, ditawar-tawar, dimonopoli, maka akan melahirkan guncangan dalam masyarakat, baik secara sosial, ekonomi, politik, ekologi, dan budaya.
Persoalan agraria akan menjadi persoalan serius ketika kita telah memisahkan tanah dari ikatan sosio-kulturalnya dan menempatkan tanah sebagai barang komiditi. Ketika memasukan tanah dalam mekanisme pasar, menjadikan bahan dagangan, ditawar-tawar, dimonopoli, maka akan melahirkan guncangan dalam masyarakat, baik secara sosial, ekonomi, politik, ekologi, dan budaya.
Dari sepenggal
kisah petani kopi dalam kronik agrarian Indonesia, membawa saya untuk memahami
perjuangan para petani kopi saat itu. Perjuangan itu tak hanya untuk mendapatkan
hak-hak mereka atas tanah, tapi mereka juga melakukan perlawanan dan berhasil keluar dari belenggu VOC.
Segelas kopi ini tak hanya berisi air dengan komposisi gula dan kopi hitam. Tapi lebih
dari apa yang ku sesap pada setiap tetesnya. Saatnya untuk menuntaskan tugas-tugas hari ini.
***
0 komentar:
Post a Comment