perahu Lambo (Boti) di Pulau Batuatas |
Tradisi bahari masyarakat Batuatas hingga saat ini masih terus
berlangsung. Layar-layar perahu mereka masih terus terkembang mengarungi laut,
menyusuri pulau-pulau nusantara, hingga melalui setiap gelombang
di laut lepas. Dari generasi ke generasi, tradisi berlayar masyarakat Batuatas
tidak lain hanyalah ingin membuka jalur-jalur pelayaran, sebagai penyambung
antar pulau, menjadi jasa kapal pengangkut, serta dalam rangka mempertegas
identitas mereka sebagai masyarakat maritim yang telah berlangsung secara turun
temurun.
Dalam perkembangannya, pelayaran yang dilakukan oleh masyarakat Batuatas
telah bergeser ke wilayah Timur Indonesia. Misalnya, sejak dibukanya tempat
penampung di Ternate dan Bitung. Maka pelayaran tidak lagi terkosentrasi ke
pulau Jawa. Masyarakat Batuatas mulai memfokuskan jalur pelayaran ke wilayah
Sulawesi Utara dan Maluku. Selain karena alasan akses pelayaran dekat dengan
pulau Batuatas di Kabupaten Buton Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara, juga
harga jual barang tidak jauh berbeda dengan harga di Jawa. Jika pelayaran ke
Gresik Jawa Timur membutuhkan waktu paling cepat dua puluh hari atau paling
lama satu bulan, maka pelayaran ke Ternate atau Bitung hanya membutuhkan waktu
sepuluh hari lamanya. Komoditas yang paling banyak di perjualbelikan yakni
Kopra, Cengkeh, dan Teripang Laut.
***
Siang itu, matahari terasa sejengkal diatas kepala, padahal waktu
masih menunjukkan pukul 08.00 pagi waktu setempat. Sepagi itu, matahari terasa
memanggang sekujur tubuh. Tadinya, dari sinar mentari pagi itu saya ingin
menyerap vitamin untuk tubuh. Namun tak mungkin kurelakan kulit ini gosong
begitu saja. Panas menyengat di pulau Batuatas itu terlihat jelas dari
topografi pulau yang didominasi batu dan pantai. Apalagi daerah ini kering
dengan curah hujan sangat rendah.
Untuk kebutuhan sehari-hari dalam rumahtangga, sebagian masyarakat
masih mengandalkan air hujan. Bak-bak penampung air itu dibuat besar untuk
waktu beberapa lama. Ada beberapa sumber mata air dan dibuat sumur yang juga
dimanfaatkan masyarakat, hanya saja airnya terasa payau. Mesin desalinasi
bantuan dari pemerintah hanya beberapa tahun beroperasi. Setelah itu, mesin
tidak difungsikan lagi karena rusak. Beginilah nasib desa yang berada
dipulau-pulau terluar dan jauh dari akses kota. Setiap bantuan yang berikan dan
diharapkan bisa menjawab persoalan atas kebutuhan mereka justru hanya sesaat
dirasakan. Alat atau mesin yang diberikan hanya mampu dioperasikan beberapa
lama, setelah itu rusak dan menjadi barang rongsokan.
Masalah teknis itu tidak hanya terjadi di pulau Batuatas, namun
juga beberapa pulau lain di pulau Buton yang sempat ku kunjungi. Setelah ku
telusuri, kesulitannya jika terdapat alat mesin yang rusak, mereka sulit untuk
menggantinya, sebab alat-alat yang dicari tidak mereka dapatkan di toko-toko kota
terdekat. Seperti halnya mesin desalinasi di pulau Batuatas. Cukup lama mesin
itu tak digunakan lagi, sebab satu instalasi pipa mesinnya pecah sehingga air
tidak dapat mengalir dengan baik ke mesin lain. Kata seorang bapak yang
dipercaya menangani langsung mesin itu, alatnya harus dipesan keluar daerah. Ia
sudah pernah menghubungi pihak teknisi yang pernah memasang mesin itu. Namun
belum ada jawaban dari mereka. Bukan sesuatu yang baru dan aneh, segala
keterbatasan di desa-desa terluar seperti itu menjadi faktor yang cukup
berpengaruh dalam menentukan kebiasaan-kebiasaan masyarakat itu sendiri.
Pulau Batuatas merupakan salah satu wilayah kecamatan yang berada
di Kabupaten Buton Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kecamatan Batuatas
memiliki luas wilayah 7,18 Km2 , atau terdapat 7
desa yang kini dihuni 10.587 jiwa (tahun 2014), yakni: Desa Batuatas Liwu, Desa
Batuatas Barat, Desa Tolando Jaya, Desa Batuatas Timur, Desa Wacuala, Desa
Taduasa, dan Desa Wambongi. Ditahun 2014, jumlah penduduk laki-laki lebih besar
dibandingkan jumlah penduduk perempuan, yang ditunjukkan dari nilai sex
ratio melebihi 100 persen, yakni 101,81 persen. (Batuatas dalam angka,
BPS Kab. Buton 2016).
Di pulau Batuatas, jumlah laki-laki memang lebih unggul dengan
jumlah perempuan, namun pada waktu-waktu tertentu, jumlah perempuan di pulau
itu bisa lebih banyak dari jumlah laki-laki. Pengembaraan dan pelayaran yang
dilakukan oleh kaum lelaki mengungkap satu fakta bahwa mereka lebih banyak
menghabiskan waktu di luar pulau Batuatas ketimbang melakukan aktivitas di
dalam pulau. Sebagaimana kisah bapak La Ode Risari (60), beliau menunjukkan
tekad bulat yang ditunjang dengan pengalaman dan pengetahuan yang cukup luas
tentang ruang laut dan pengalaman melakukan pelayaran domestik. Baginya,
pengalaman yang didapat dari teman atau pelaut-pelaut lain merupakan motivasi
tersendiri yang ditunjang dengan pengalaman diri sendiri. Oleh karena itu,
pengetahuan dan wawasan itu lebih banyak tumbuh dari pengalaman nyata ketimbang
diperoleh melalui pendidikan formal.
ketika layar dikembangkan |
Ada beberapa hal yang mendorong orang Batuatas untuk melanjutkan
tradisi berlayar mereka; Pertama, letak geografis yang
strategis pada jalur pelayaran dan perdagangan nusantara dan
internasional. Secara geografis, sebelah Utara Kecamatan Batuatas
berbatasan dengan Laut Banda, sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores,
sebelah Timur berbatasan dengan Laut Flores, dan sebelah Barat berbatasan
dengan Laut Flores. Kedua, keadaan alam yang berbukit dan
berbatu sehingga kurang mendukung untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian.
Jenis tanaman bahan makanan yang paling banyak ditanam yaitu tanaman ubi kayu.
Selain itu, tanaman perkebunan hanya ditanami jambu mete dan kelapa. Untuk
peternakan, ada dua jenis yang dikembangkan yaitu ternak kecil (kambing) dan
unggas (ayam dan bebek). Sementara disektor perikanan, masyarakat Batuatas
kurang begitu menggelutinya. Aktivitas mencari ikan tidak menjadi salah
satu sasaran untuk mengembangakan ekonomi mereka. Mencari ikan hanya untuk
memenuhi kebutuhan rumahtangga saja. Ketiga, falsafah hidup
mereka yang menjunjung tinggi semangat kebaharian. Sejarah pelayaran dan
perdagangan maritim masyarakat Batuatas telah mengungkap adanya jalinan
hubungan sosial, ekonomi, dan politik yang telah terbangun dan menjadi dasar
bagi terbentuknya integrasi bangsa dalam perkembangan kemaritiman di Indonesia.
Hal tersebut dapat terlihat dari kelompok-kelompok etnis yang telah menjalin
persahabatan dan persaudaraan sebagai buah dari jaringan pelayaran dan
perdagangan maritim, pada titik ini pelaut-pelaut Batuatas telah memainkan
peranan besar.
Tradisi pengembaraan pelaut Batuatas sebagai pewaris budaya
maritim telah melalui pengalaman yang cukup panjang. Mereka telah memiliki peta
jalur pelayaran yang digolongkan menjadi empat arah angin, yakni Barat, Timur,
Utara, dan Selatan. Pertama, pelayaran menuju barat dari Pulau
Batuatas kemudian menyusuri Selat Selayar menuju Selat Madura hingga tiba di
pelabuhan Gresik atau Probolinggo, dan selanjutnya ada yang terus menuju
Singapura, Johor, Pulau Pinang di Malaysia Barat. Mereka menggunakan perahu layar
tanpa mesin, melalui rute dari Batuatas-Buton-Selat Selayar-Selat Karimata-Laut
Cina Selatan dengan menyusuri Pesisir Timur Semenanjung Malaysia-Pesisir Timur
Thailand, menyeberangi Teluk Siam, ke Pesisir Selatan Kamboja, menyusuri
pesisir Timur Vietnam-Hongkong sampai ke daratan Cina (Kanton, Shanghai dan
menyusuri sungai sampai di Peking). Di Negeri Cina, mereka tinggal selama 4-6
bulan bekerja di perkebunan kapas sambil menunggu angin utara untuk kembali ke
Batuatas melalui Selat Buton dengan rute seperti tersebut atau melalui rute
Cina-Kepulauan Jepang-Kepulauan Philipina-Laut Sulawesi-Kepulaun Maluku/Pesisir
Timur Sulawesi-sampai kembali di Batuatas.
Ubi Kayu, kebutuhan pokok masyarakat Batuatas |
Kedua, pelayaran menuju timur ke Maluku, Irian Jaya, dan Kepulauan
Pasifik seperti ke Negara Palau. Pelayaran menuju kawasan ini dimulai dari
Pulau Batuatas melalui Selat Buton, Kepulauan Maluku, Irian Jaya, Papua Nugini,
dan beberapa negara di Kawasan Pasifik Selatan seperti Kepulauan Palau, Samoa,
dan Kaledonia Baru. Ketiga, pelayaran menuju utara ke Sulawesi
Tengah (Banggai dan Toli-Toli), Sulawesi Utara (Gorontalo, Bitung, dan Manado),
sebagian diantara mereka langsung ke Malaysia Timur melalui Tarakan, Nunukan
(Kalimantan Timur), ke Kalimantan Utara melalui Sabah (Tawau, Lahaddatuk, dan
Sandakan), sampai ke Brunai Darussalam. Di beberapa wilayah ditemukan pemukiman
etnis Buton termasuk di dalamnya suku Cia-Cia-Batuatas. Mereka bekerja dalam
berbagai sektor kehidupan bahkan diantara mereka telah ada yang menjadi warga
negara Malaysia. Sebagian lagi menuju ke Philipina Selatan melalui Kepulauan
Sulawesi Utara dan Maluku. Keempat, pelayaran menuju ke
selatan melalui rute Pulau Batuatas, Flores, Solor, Sumbawa, Kupang, Dili, dan
bahkan diantara mereka tidak sedikit melakukan pelayaran sampai ke perairan Benua
Australia atau dipantai Utara Benua Australia.
Pola pemukiman mereka umumnya tidak jauh dari pelabuhan, dan hidup
berdampingan dengan pemukiman orang Bugis/Makassar. Mereka bermukim dengan
sistem koloni yaitu pola pemukiman berkelompok sesuai dengan etnisnya, tidak
berbaur secara bebas dengan penduduk etnik lainnya. Tetapi mereka dapat hidup
berdampingan dengan koloni (perkampungan) Orang Bugis/Makassar. Ini dapat
diterima karena kedua etnik ini memiliki persamaan latar belakang sosial
ekonomi yaitu sistem mata pencaharian sebagai pelayar/nelayan dan pedagang.
Sebelum ditemukan teknologi navigasi, masyarakat Batuatas dalam
melakukan pelayaran menggunakan tanda-tanda alam dan melalui
instuisi. Tanda-tanda alam tersebut antara lain adalah bentuk awan,
keadaan langit, warna dan jenis air laut, pantulan sinar matahari atau cahaya
bulan, letak bintang di langit, hembusan angin, letak pulau, gunung, tanjung,
teluk, dan selat. Dengan intuisi mereka dapat mengetahui jika akan ada bahaya
yang mengancam. Inilah yang dijadikan sebagai pengganti kompas dalam pelayaran
mereka. Pelayar Batuatas (Suku Cia-cia) mengenal istilah "pilotase" yaitu
seorang navigator dapat memperhitungkan posisinya cukup dengan melihat berbagai
tanda alam yang tampak di darat, "rewu’i tayi" yaitu
kotoran di laut, dan kabut di udara.
Seorang navigator dapat melakukan perhitungan deduksi dengan
melihat kedudukan matahari, bulan, dan bintang. Perkembangan pelayaran niaga
orang Batuatas sejalan dengan ditemukannya teknik berlayar "O’opal" (bahasa
Cia-cia) yang sebelumnya hanya dikenal teknik berlayar "ngoi’i
belaka" (bahasa Cia-cia) dan teknik "nopusilangi" (bahasa
Cia-cia). " ngoi’i belaka" adalah teknik berlayar
lurus yaitu arah angin datang dari belakang. "Nopusilangi" pelayaran
dengan posisi menyilang dan membentuk sudut antara 90-180 derajat.
Berlayar "Opal" adalah teknik berlayar bersiku-siku
sampai di tempat tujuan. Dalam teknik "O’opal" ini
diperlukan keahlian dalam mengarahkan haluan sebab arah angin datang hampir
dari muka (membentuk sudut antara 0-90 derajat).
Dalam melakukan pelayaran, para pelaut Batuatas melakukan kegiatan
niaga (perdagangan). Barang komoditi ekspor yang dibawa oleh para pelayar niaga
Batuatas pada umumnya adalah rotan, damar, agel, kopra, cengkeh, pala,
teripang, dan berbagai hasil laut lainnya. Komoditas rotan, damar, kopra,
cengkeh, pala, kulit binatang, dan teripang diekspor ke Singapura dan Malaysia,
sedangkan untuk ke Cina, diekspor agel dan teripang. Sejak tahun 1926 dimulai
perdagangan kopra, cengkeh, dan pala dari Kepulauan Maluku ke kawasan Barat Nusantara
sampai ke Singapura dan Malaysia.
![]() |
Batuatas tampak dari bukit |
Pada mulanya perdagangan tersebut mendapat rintangan dari
pemerintah Belanda, karena keuntungannya berlipat ganda sehingga para pelayar
harus melakukan pelayaran secara ilegal khususnya ke Singapura dan Malaysia. Fenomena
tersebut berlanjut sampai akhir abad XX ini, di mana para pelayar niaga orang
Batuatas dan orang Buton dan Buton Selatan pada umumnya tetap melakukan
pelayaran niaga ke Singapura, Malaysia, Philipina, dan Australia serta wilayah
Pasifik lainnya. Bagi pelaut Batuatas, pengalaman pengembaraan yang
panjang diakuinya telah memperkaya pengetahuan dan wawasan ruang samudera
dengan dunia internasional.
***
Dalam perjalanan pulang dari pulau Batuatas, saya mengajak cerita
salah seorang ABK kapal yang kami tumpangi. Di usia tuanya, bapak itu sedikit
bercerita tentang pengalamannya melakukan pelayaran. Tadinya bapak itu tidak
hanya melakukan pelayaran domestik dengan mengunjungi pulau-pulau di tanah air
saja. Namun beliau juga pernah sampai negara-negara tetangga seperti Malaysia
dan Philipina, bahkan beliau memiliki seorang istri disana. Dari cerita-cerita
saya dengan bapak itu, beliau berkisah tentang pengalamannya membawa kapal
layar yang tak bermesin hingga sampai ke negara-negara itu. Ber bulan-bulan lamanya,
hanya dengan mengandalkan tiupan angin dan sistem navigasi tradisional melalui
bacaan bintang dilangit atau dengan intuisinya.
kapal yang kami tumpangi |
Mengunjungi desa-desa terluar seperti ini, banyak hal menarik yang dapat
dipetik dan menjadi daya tarik tersendiri. Kita dapat belajar banyak dari
mereka, tentang lingkungannya, tentang strategi bertahan hidup masyarakatnya,
tentang adat dan budaya yang terus dipertahankan itu. Bahwa ditengah gersangnya
tanah di pulau itu, masyarakat Batuatas mempunyai satu cara tersendiri untuk
mendapatkan sumber kehidupan. Bahwa dengan memanfaatkan ruang laut, mereka
dapat memenuhi kebutuhan hidup. Mencari kehidupan dilaut dan melakukan
pelayaran ke pulau-pulau memang bukan perkara mudah. Aktivitas dilaut bisa
lebih berbahaya ketimbang mereka melakukan aktivitas didarat. Namun hal itu
bukan satu-satunya pilihan diantara pilihan lain yang dianggapnya nyaman.
0 komentar:
Post a Comment