Monday, October 3, 2016

Tradisi Maritim Orang Batuatas

perahu Lambo (Boti) di Pulau Batuatas

Tradisi bahari masyarakat Batuatas hingga saat ini masih terus berlangsung. Layar-layar perahu mereka masih terus terkembang mengarungi laut, menyusuri pulau-pulau nusantara, hingga melalui setiap gelombang di laut lepas. Dari generasi ke generasi, tradisi berlayar masyarakat Batuatas tidak lain hanyalah ingin membuka jalur-jalur pelayaran, sebagai penyambung antar pulau, menjadi jasa kapal pengangkut, serta dalam rangka mempertegas identitas mereka sebagai masyarakat maritim yang telah berlangsung secara turun temurun.

Dalam perkembangannya, pelayaran yang dilakukan oleh masyarakat Batuatas telah bergeser ke wilayah Timur Indonesia. Misalnya, sejak dibukanya tempat penampung di Ternate dan Bitung. Maka pelayaran tidak lagi terkosentrasi ke pulau Jawa. Masyarakat Batuatas mulai memfokuskan jalur pelayaran ke wilayah Sulawesi Utara dan Maluku. Selain karena alasan akses pelayaran dekat dengan pulau Batuatas di Kabupaten Buton Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara, juga harga jual barang tidak jauh berbeda dengan harga di Jawa. Jika pelayaran ke Gresik Jawa Timur membutuhkan waktu paling cepat dua puluh hari atau paling lama satu bulan, maka pelayaran ke Ternate atau Bitung hanya membutuhkan waktu sepuluh hari lamanya. Komoditas yang paling banyak di perjualbelikan yakni Kopra, Cengkeh, dan Teripang Laut.

***

Siang itu, matahari terasa sejengkal diatas kepala, padahal waktu masih menunjukkan pukul 08.00 pagi waktu setempat. Sepagi itu, matahari terasa memanggang sekujur tubuh. Tadinya, dari sinar mentari pagi itu saya ingin menyerap vitamin untuk tubuh. Namun tak mungkin kurelakan kulit ini gosong begitu saja. Panas menyengat di pulau Batuatas itu terlihat jelas dari topografi pulau yang didominasi batu dan pantai. Apalagi daerah ini kering dengan curah hujan sangat rendah.

Untuk kebutuhan sehari-hari dalam rumahtangga, sebagian masyarakat masih mengandalkan air hujan. Bak-bak penampung air itu dibuat besar untuk waktu beberapa lama. Ada beberapa sumber mata air dan dibuat sumur yang juga dimanfaatkan masyarakat, hanya saja airnya terasa payau. Mesin desalinasi bantuan dari pemerintah hanya beberapa tahun beroperasi. Setelah itu, mesin tidak difungsikan lagi karena rusak. Beginilah nasib desa yang berada dipulau-pulau terluar dan jauh dari akses kota. Setiap bantuan yang berikan dan diharapkan bisa menjawab persoalan atas kebutuhan mereka justru hanya sesaat dirasakan. Alat atau mesin yang diberikan hanya mampu dioperasikan beberapa lama, setelah itu rusak dan menjadi barang rongsokan.
 
aktivitas masyarakat di dermaga Batuatas

Masalah teknis itu tidak hanya terjadi di pulau Batuatas, namun juga beberapa pulau lain di pulau Buton yang sempat ku kunjungi. Setelah ku telusuri, kesulitannya jika terdapat alat mesin yang rusak, mereka sulit untuk menggantinya, sebab alat-alat yang dicari tidak mereka dapatkan di toko-toko kota terdekat. Seperti halnya mesin desalinasi di pulau Batuatas. Cukup lama mesin itu tak digunakan lagi, sebab satu instalasi pipa mesinnya pecah sehingga air tidak dapat mengalir dengan baik ke mesin lain. Kata seorang bapak yang dipercaya menangani langsung mesin itu, alatnya harus dipesan keluar daerah. Ia sudah pernah menghubungi pihak teknisi yang pernah memasang mesin itu. Namun belum ada jawaban dari mereka. Bukan sesuatu yang baru dan aneh, segala keterbatasan di desa-desa terluar seperti itu menjadi faktor yang cukup berpengaruh dalam menentukan kebiasaan-kebiasaan masyarakat itu sendiri.

Pulau Batuatas merupakan salah satu wilayah kecamatan yang berada di Kabupaten Buton Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kecamatan Batuatas memiliki luas wilayah 7,18 Km2  , atau terdapat 7 desa yang kini dihuni 10.587 jiwa (tahun 2014), yakni: Desa Batuatas Liwu, Desa Batuatas Barat, Desa Tolando Jaya, Desa Batuatas Timur, Desa Wacuala, Desa Taduasa, dan Desa Wambongi. Ditahun 2014, jumlah penduduk laki-laki lebih besar dibandingkan jumlah penduduk perempuan, yang ditunjukkan dari nilai sex ratio melebihi 100 persen, yakni 101,81 persen. (Batuatas dalam angka, BPS Kab. Buton 2016).

Di pulau Batuatas, jumlah laki-laki memang lebih unggul dengan jumlah perempuan, namun pada waktu-waktu tertentu, jumlah perempuan di pulau itu bisa lebih banyak dari jumlah laki-laki. Pengembaraan dan pelayaran yang dilakukan oleh kaum lelaki mengungkap satu fakta bahwa mereka lebih banyak menghabiskan waktu di luar pulau Batuatas ketimbang melakukan aktivitas di dalam pulau. Sebagaimana kisah bapak La Ode Risari (60), beliau menunjukkan tekad bulat yang ditunjang dengan pengalaman dan pengetahuan yang cukup luas tentang ruang laut dan pengalaman melakukan pelayaran domestik. Baginya, pengalaman yang didapat dari teman atau pelaut-pelaut lain merupakan motivasi tersendiri yang ditunjang dengan pengalaman diri sendiri. Oleh karena itu, pengetahuan dan wawasan itu lebih banyak tumbuh dari pengalaman nyata ketimbang diperoleh melalui pendidikan formal.

ketika layar dikembangkan

Ada beberapa hal yang mendorong orang Batuatas untuk melanjutkan tradisi berlayar mereka; Pertama, letak geografis yang strategis pada jalur pelayaran dan perdagangan nusantara dan internasional. Secara geografis, sebelah Utara Kecamatan Batuatas berbatasan dengan Laut Banda, sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores, sebelah Timur berbatasan dengan Laut Flores, dan sebelah Barat berbatasan dengan Laut Flores. Kedua, keadaan alam yang berbukit dan berbatu sehingga kurang mendukung untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Jenis tanaman bahan makanan yang paling banyak ditanam yaitu tanaman ubi kayu. Selain itu, tanaman perkebunan hanya ditanami jambu mete dan kelapa. Untuk peternakan, ada dua jenis yang dikembangkan yaitu ternak kecil (kambing) dan unggas (ayam dan bebek). Sementara disektor perikanan, masyarakat Batuatas kurang begitu menggelutinya. Aktivitas mencari ikan tidak menjadi salah satu sasaran untuk mengembangakan ekonomi mereka. Mencari ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga saja. Ketiga, falsafah hidup mereka yang menjunjung tinggi semangat kebaharian. Sejarah pelayaran dan perdagangan maritim masyarakat Batuatas telah mengungkap adanya jalinan hubungan sosial, ekonomi, dan politik yang telah terbangun dan menjadi dasar bagi terbentuknya integrasi bangsa dalam perkembangan kemaritiman di Indonesia. Hal tersebut dapat terlihat dari kelompok-kelompok etnis yang telah menjalin persahabatan dan persaudaraan sebagai buah dari jaringan pelayaran dan perdagangan maritim, pada titik ini pelaut-pelaut Batuatas telah memainkan peranan besar.

Tradisi pengembaraan pelaut Batuatas sebagai pewaris budaya maritim telah melalui pengalaman yang cukup panjang. Mereka telah memiliki peta jalur pelayaran yang digolongkan menjadi empat arah angin, yakni Barat, Timur, Utara, dan Selatan. Pertama, pelayaran menuju barat dari Pulau Batuatas kemudian menyusuri Selat Selayar menuju Selat Madura hingga tiba di pelabuhan Gresik atau Probolinggo, dan selanjutnya ada yang terus menuju Singapura, Johor, Pulau Pinang di Malaysia Barat. Mereka menggunakan perahu layar tanpa mesin, melalui rute dari Batuatas-Buton-Selat Selayar-Selat Karimata-Laut Cina Selatan dengan menyusuri Pesisir Timur Semenanjung Malaysia-Pesisir Timur Thailand, menyeberangi Teluk Siam, ke Pesisir Selatan Kamboja, menyusuri pesisir Timur Vietnam-Hongkong sampai ke daratan Cina (Kanton, Shanghai dan menyusuri sungai sampai di Peking). Di Negeri Cina, mereka tinggal selama 4-6 bulan bekerja di perkebunan kapas sambil menunggu angin utara untuk kembali ke Batuatas melalui Selat Buton dengan rute seperti tersebut atau melalui rute Cina-Kepulauan Jepang-Kepulauan Philipina-Laut Sulawesi-Kepulaun Maluku/Pesisir Timur Sulawesi-sampai kembali di Batuatas.

Ubi Kayu, kebutuhan pokok masyarakat Batuatas

Kedua, pelayaran menuju timur ke Maluku, Irian Jaya, dan Kepulauan Pasifik seperti ke Negara Palau. Pelayaran menuju kawasan ini dimulai dari Pulau Batuatas melalui Selat Buton, Kepulauan Maluku, Irian Jaya, Papua Nugini, dan beberapa negara di Kawasan Pasifik Selatan seperti Kepulauan Palau, Samoa, dan Kaledonia Baru. Ketiga, pelayaran menuju utara ke Sulawesi Tengah (Banggai dan Toli-Toli), Sulawesi Utara (Gorontalo, Bitung, dan Manado), sebagian diantara mereka langsung ke Malaysia Timur melalui Tarakan, Nunukan (Kalimantan Timur), ke Kalimantan Utara melalui Sabah (Tawau, Lahaddatuk, dan Sandakan), sampai ke Brunai Darussalam. Di beberapa wilayah ditemukan pemukiman etnis Buton termasuk di dalamnya suku Cia-Cia-Batuatas. Mereka bekerja dalam berbagai sektor kehidupan bahkan diantara mereka telah ada yang menjadi warga negara Malaysia. Sebagian lagi menuju ke Philipina Selatan melalui Kepulauan Sulawesi Utara dan Maluku. Keempat, pelayaran menuju ke selatan melalui rute Pulau Batuatas, Flores, Solor, Sumbawa, Kupang, Dili, dan bahkan diantara mereka tidak sedikit melakukan pelayaran sampai ke perairan Benua Australia atau dipantai Utara Benua Australia.

Pola pemukiman mereka umumnya tidak jauh dari pelabuhan, dan hidup berdampingan dengan pemukiman orang Bugis/Makassar. Mereka bermukim dengan sistem koloni yaitu pola pemukiman berkelompok sesuai dengan etnisnya, tidak berbaur secara bebas dengan penduduk etnik lainnya. Tetapi mereka dapat hidup berdampingan dengan koloni (perkampungan) Orang Bugis/Makassar. Ini dapat diterima karena kedua etnik ini memiliki persamaan latar belakang sosial ekonomi yaitu sistem mata pencaharian sebagai pelayar/nelayan dan pedagang.

Sebelum ditemukan teknologi navigasi, masyarakat Batuatas dalam melakukan pelayaran menggunakan tanda-tanda alam dan melalui instuisi. Tanda-tanda alam tersebut antara lain adalah bentuk awan, keadaan langit, warna dan jenis air laut, pantulan sinar matahari atau cahaya bulan, letak bintang di langit, hembusan angin, letak pulau, gunung, tanjung, teluk, dan selat. Dengan intuisi mereka dapat mengetahui jika akan ada bahaya yang mengancam. Inilah yang dijadikan sebagai pengganti kompas dalam pelayaran mereka. Pelayar Batuatas (Suku Cia-cia) mengenal istilah "pilotase" yaitu seorang navigator dapat memperhitungkan posisinya cukup dengan melihat berbagai tanda alam yang tampak di darat, "rewu’i tayi" yaitu kotoran di laut, dan kabut di udara.

Seorang navigator dapat melakukan perhitungan deduksi dengan melihat kedudukan matahari, bulan, dan bintang. Perkembangan pelayaran niaga orang Batuatas sejalan dengan ditemukannya teknik berlayar "O’opal" (bahasa Cia-cia) yang sebelumnya hanya dikenal teknik berlayar "ngoi’i belaka" (bahasa Cia-cia) dan teknik "nopusilangi" (bahasa Cia-cia). " ngoi’i belaka" adalah teknik berlayar lurus yaitu arah angin datang dari belakang. "Nopusilangi" pelayaran dengan posisi menyilang dan membentuk sudut antara 90-180 derajat. Berlayar "Opal" adalah teknik berlayar bersiku-siku sampai di tempat tujuan. Dalam teknik "O’opal" ini diperlukan keahlian dalam mengarahkan haluan sebab arah angin datang hampir dari muka (membentuk sudut antara 0-90 derajat).
Dalam melakukan pelayaran, para pelaut Batuatas melakukan kegiatan niaga (perdagangan). Barang komoditi ekspor yang dibawa oleh para pelayar niaga Batuatas pada umumnya adalah rotan, damar, agel, kopra, cengkeh, pala, teripang, dan berbagai hasil laut lainnya. Komoditas rotan, damar, kopra, cengkeh, pala, kulit binatang, dan teripang diekspor ke Singapura dan Malaysia, sedangkan untuk ke Cina, diekspor agel dan teripang. Sejak tahun 1926 dimulai perdagangan kopra, cengkeh, dan pala dari Kepulauan Maluku ke kawasan Barat Nusantara sampai ke Singapura dan Malaysia.

Batuatas tampak dari bukit

Pada mulanya perdagangan tersebut mendapat rintangan dari pemerintah Belanda, karena keuntungannya berlipat ganda sehingga para pelayar harus melakukan pelayaran secara ilegal khususnya ke Singapura dan Malaysia. Fenomena tersebut berlanjut sampai akhir abad XX ini, di mana para pelayar niaga orang Batuatas dan orang Buton dan Buton Selatan pada umumnya tetap melakukan pelayaran niaga ke Singapura, Malaysia, Philipina, dan Australia serta wilayah Pasifik lainnya. Bagi pelaut Batuatas, pengalaman pengembaraan yang panjang diakuinya telah memperkaya pengetahuan dan wawasan ruang samudera dengan dunia internasional.

***

Dalam perjalanan pulang dari pulau Batuatas, saya mengajak cerita salah seorang ABK kapal yang kami tumpangi. Di usia tuanya, bapak itu sedikit bercerita tentang pengalamannya melakukan pelayaran. Tadinya bapak itu tidak hanya melakukan pelayaran domestik dengan mengunjungi pulau-pulau di tanah air saja. Namun beliau juga pernah sampai negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Philipina, bahkan beliau memiliki seorang istri disana. Dari cerita-cerita saya dengan bapak itu, beliau berkisah tentang pengalamannya membawa kapal layar yang tak bermesin hingga sampai ke negara-negara itu. Ber bulan-bulan lamanya, hanya dengan mengandalkan tiupan angin dan sistem navigasi tradisional melalui bacaan bintang dilangit atau dengan intuisinya.

kapal yang kami tumpangi

Mengunjungi desa-desa terluar seperti ini, banyak hal menarik yang dapat dipetik dan menjadi daya tarik tersendiri. Kita dapat belajar banyak dari mereka, tentang lingkungannya, tentang strategi bertahan hidup masyarakatnya, tentang adat dan budaya yang terus dipertahankan itu. Bahwa ditengah gersangnya tanah di pulau itu, masyarakat Batuatas mempunyai satu cara tersendiri untuk mendapatkan sumber kehidupan. Bahwa dengan memanfaatkan ruang laut, mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup. Mencari kehidupan dilaut dan melakukan pelayaran ke pulau-pulau memang bukan perkara mudah. Aktivitas dilaut bisa lebih berbahaya ketimbang mereka melakukan aktivitas didarat. Namun hal itu bukan satu-satunya pilihan diantara pilihan lain yang dianggapnya nyaman.


0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts