![]() |
Sumber: photo by Ahyar Ros |
SEORANG sahabat menandai saya dalam satu postingan di halaman facebook, saya membuka notifikasi itu. Sahabat itu Ahyar Ros, mahasiswa asal Mataram Nusa Tenggara Barat. Saya mengenalnya di kantin kampus IPB usai verifikasi berkas calon mahasiswa baru pascasarjana. Di tempat itu kami saling berkenalan. Status kami masih mahasiswa baru saat itu. Ia menyebut dirinya akan masuk di program studi Sosiologi Pedesaan. Rupanya kami mengambil jurusan yang sama. Nah mulai sejak itu kami sering berbarengan saat datang dan pulang kampus. Di kelas, kami pun selalu duduk berdekatan. Namun beberapa bulan ini kami tak bersua. Sejak Februari silam, kami berpisah sibuk mengurus penelitian masing-masing. Ia ke Mataram, saya pulang ke Buton. Tapi sejak beberapa lama berada ke lokasi penelitian, ia memutuskan kembali ke Bogor. Mungkin ia sudah tak sabaran menyapa si neng tetangga kosnya yang jelita itu.
***
KAMIS yang lalu ia bercerita baru saja dari toko buku. Padahal setahu saya Ahyar paling sering ngadem di pusat perbelanjaan atau mall. Mungkin itu hanya modus biar bisa 'nyuci mata' di toko buku, mengamati si rambut panjang dari balik rak-rak buku.
Dari dalam toko buku, Ahyar melihat sebuah buku tentang Laut dan Masyarakat Adat, buku yang di terbitkan oleh Kompas. Ia pun tertarik untuk membelinya. Ahyar memang paling sering membeli buku. Koleksi bukunya disusun, tingginya hampir mencapai plafon kamar kosnya, haha.
Di halaman sampul buku, ia melihat deretan nama-nama tim penulis. Ia semakin tertarik karena salah satu penulis disitu adalah dekan fakultas kami, Fakultas Ekologi Manusia, Arif Satria. Tapi setelah melihat nama saya, ia menjadi bangga. Seperti dalam postingannya di halaman facebook:
“Selalu ada rasa kebanggaan tersendiri melihat tulisan sahabat bertengger di urutan pertama toko buku. Sebulan yang lalu saya mendapat kabar menyenangkan dari sahabat karib di IPB yadi laode.
Dari pulau Buton, ia bercerita tentang catatannya telah di terbitkan oleh Kompas Gramedia. Sejak hari itu juga saya tak sabaran untuk membaca artikelnya.
Malam ini, buku itu pun sudah di tangan, namun belum saya perasan masib berat untuk membuka sampulnya, lantaran belum dapat tanda khusus dari penulis.
Saya berharap, pecan ini abang Laode Yadi kembali ke Bogor. Insyallah kambing abang Farid Bakrie akan menjadi jamuan kita.
Salam
Sahabat rantau…”
Sebetulnya saya belum apa-apa, di banding dia yang sudah banyak menghasilkan karya. Ahyar lebih banyak menghasilkan tulisan. Ia paling hobi ngeblog, atau sering mengisi tulisan di portal Kompasiana. Pengalaman kepenulisannya cukup mumpuni. Belum lama ia mengikuti pelatihan jurnalis di Tempo. Makanya virus baca dan menulisnya ia sebar ke banyak kalangan di kampung halamannya di Mataram NTB. Saya sedikit berguru darinya.
Tulisan saya di buku Laut dan Masyarakat Adat itu sebenarnya adalah catatan lapang saat mengikuti roadmap di pulau Kakorotan Kabupaten Kepulauan Talaud Sulawesi Utara se tahun yang lalu. Pulau itu tak jauh dari pulau Miangas yang menjadi pagar perbatasan di ujung utara pulau Sulawesi. Ketika itu saya bersama kawan-kawan kampus IPB di percaya untuk mengikuti riset pemetaan sosial masyarakat adat dan nelayan. Program itu kerjasama antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan kampus IPB, (Tulisan Lain Bisa Anda Baca DI SINI)
![]() |
Di kepulauan Talaud, tengah bersiap menuju pulau Kakorotan |
Cukup jauh perjalanan ke pulau Kakorotan, jika anda mendarat di Bandara Samratulangi Manado, anda harus menyeberang dengan menggunakan kapal ke Kabupaten Kepulauan Talaud, setelah itu anda menggunakan speedboat untuk melanjutkan perjalanan ke pulau Kakorotan. Tapi untuk lebih cepatnya sih anda bisa langsung ke Kabupaten Kepulauan Talaud dengan menggunakan pesawat jenis ATR yang transit dari bandara Samratulangi Manado, (Catatan Perjalanan Ke Pulau Kakorotan Bisa Anda Baca DI SINI).
Banyak keunikan dan yang khas dari masyarakat pulau Kakorotan. Mereka memiliki tradisi yang begitu melekat dengan alam. Agama dan adat yang mereka yakini sangat kental dalam kehidupan sehari-sehari. Dari penuturan sejarah, ketua adat bercerita tentang sejarah memilukan pasca tsunami menghempas hampir seluruh penduduk di pulau itu dan hanya menyisakan beberapa orang, itu terjadi antara tahun 1014, tahun 1628, dan sekitar tahun 1990an.
Dari pengalaman mereka melewati peristiwa alam itu, sejak saat itu pula masyarakat pulau mulai membiasakan diri untuk menjaga serta merawat alam untuk tidak terus menerus di eksploitasi. Tradisi yang mereka jalankan hingga saat ini yakni tradisi Eha dan Mane’e. Masyarakat tidak bisa memanfaatkan laut dengan menangkap ikan di wilayah yang telah di tetapkan oleh adat. Mereka bisa mengambil ketika mane’e di buka kembali. Tradisi mane’e tidak hanya menjadi acara tahunan di pulau Kakorotan. Tapi oleh pemerintah daerah kabupaten Kepulauan Talaud, tradisi itu telah di jadikan sebagai festival Mane’e bagi seluruh masyarakat daerah Kabupaten Kepulauan Talaud. (Tradisi Eha dan Mane’e Bisa Anda Baca DI SINI).
KEPADA sahabat itu, saya ucapkan terimakasih sudah mau membaca catatan saya di buku itu. Soal nama yang tertera dalam buku sebenarnya hanya keberuntungan saja. Paling tidak, kita sudah bekerja untuk keabadian. Sebagaimana kata Pramoedya, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."
***
KEPADA sahabat itu, saya ucapkan terimakasih sudah mau membaca catatan saya di buku itu. Soal nama yang tertera dalam buku sebenarnya hanya keberuntungan saja. Paling tidak, kita sudah bekerja untuk keabadian. Sebagaimana kata Pramoedya, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."
0 komentar:
Post a Comment