Sebuah Catatan Tentang Kampung Wabou
![]() |
Rumah warga di kampung Wabou |
KONFLIK itu pecah tengah malam, usai pelaksanaan ritual adat, pesta kampung tahunan desa. Tak disangka warga langsung beringas, tak terkontrol lagi, menyerang barisan aparat polisi yang ditugaskan untuk mengawal proses pesta adat kampung. Mereka adalah sekelompok pemuda, yang menurut keterangan polisi, anak-anak muda itu beberapa ada yang mabuk, habis meneguk alhokohol. Polisi tak menyangka, warga begitu marah lalu melempar batu ke arah barisan mereka. Apa boleh buat, polisi mengeluarkan senapan, peluru gas air mata di muntahkan ke arah mereka yang masih melawan. Warga tetap bertahan, mereka melihat ada beberapa kendaraan roda dua dan sebuah mobil dinas Polri terpakir dekat dan ditinggal begitu saja. Beberapa dari anak muda itu lalu melampiaskan emosi dengan membakar motor dan mobil dinas milik polisi. Malam itu, situasi desa begitu mencekam. Beberapa hari setelah kejadian, polisi melakukan konferensi pers dan menetapkan sebelas orang tersangka. Ada diantaranya masih dibawah umur.
Peristiwa kelam itu terjadi pada Sabtu (20/10/2018), dan menjadi sorotan publik. Pemberitaannya ramai di media massa. Beberapa lama pasca konflik, saat saya mengunjungi desa itu, desa Lawele di Kecamatan Lasalimu Kabupaten Buton, saya masih menemukan puing, sisa-sisa pembakaran. Beberapa warga yang saya temui juga masih menyimpan trauma atas kejadian di malam pesta kampung, yang sebelumnya mereka tak menyangka akan berakhir dengan konflik. Mereka ingin menutup cerita mengenai peristiwa kelam di malam itu.
Saya bisa saksikan, traumatik yang dialami warga desa Lawele itu masih ada, meski konflik telah berlalu beberapa bulan lalu. Saat kendaraan kami berhenti di kampung Wabou, saya melihat seorang ibu tampak begitu ketakutan. Ia dengan lekas masuk ke dalam rumah. Namun kami coba datang dengan baik, kami bertamu layaknya tamu. Awalnya hanya cerita biasa, basa-basi soal kunjungan kami. Dan saya coba bertanya pada ibu tadi, rupanya benar, ia takut dengan kehadiran kami. Sebab, anaknya menjadi salah seorang tersangka dan kini di tahan di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) atas kasus pembakaran mobil polisi di malam perayaan pesta kampung tahunan desa Lawele.
***
PERISTIWA yang terjadi di desa Lawele bukan yang pertama kalinya. Beberapa orang tua desa mengisahkan konflik antara masyarakat desa dengan Brimob juga pernah terjadi sekitar tahun 1950-an. Seorang tetua adat berkisah tentang bagaimana Lawele mengalami proses sejarah yang cukup pelik. Desa itu dulunya berubah menjadi medan pertempuran. Konflik itu terkait dengan pemberontakan, kemudian ditandai dengan masuknya Brimob dan menjadikan Lawele sebagai basis operasi mereka. Berdirinya pangkalan Brimob di desa Lawele membuat ribuan warga desa melarikan diri mencari perlindungan. Mereka kemudian menyebar ke berbagai tempat di wilayah perbukitan, bersembunyi diatas gunung, sebagian memilih untuk keluar desa dan berpencar di wilayah lain, hingga keluar pulau Buton. Operasi anti komunis itu berlangsung cukup lama. Operasi itu menyisakan traumatik orang-orang desa, yang pada akhirnya memilih mengungsi meninggalkan desa Lawele. Hingga mereka menganggap desa benar-benar aman untuk kembali dihuni.
Orang-orang Lawele dan Kalende yang menempati perbukitan kawasan hutan Lambusango, menjadikan kawasan itu sebagai tempat suci untuk kegiatan ritual adat. Terdapat beberapa situs sejarah. Ada reruntuhan benteng tua, letaknya dibawah lereng curam yang tinggi. Keberadaan benteng tua itu menjadi saksi atas sejarah keberadaan leluhur mereka yang pernah bermukim di kawasan hutan Lambusango. Benteng tua itu kini masuk dalam desa Benteng, yang dulu masih menjadi bagian dari desa Lawele. Namun orang-orang mulai turun dari bukit dan menetap di desa hingga saat ini.
Di tahun 1980, mereka mulai bercocok tanam. Masyarakat awalnya menanam Kakao dan Kopi. Kemudian di tahun 1982, batas-batas kawasan konservasi ditetapkan untuk menunjukkan batas-batas wilayah mereka bertani dan berkebun. Terutama bagi mereka yang berladang dan berpindah-pindah. Dari waktu ke waktu desa Lawele mengalami perubahan, khususnya dalam pertanian mereka. Pada tahun 1991, bendungan dan irigasi dibangun untuk memenuhi kebutuhan pertanian masyarakat desa. Teknologi mulai berkembang dengan menggunakan mekanisasi pertanian. Lahan pertanian dan perkebunan di desa Lawele memang memiliki potensi yang cukup baik untuk dikembangkan.
Dalam kesatuan masyarakat adat desa Lawele, orang Kalende adalah bagian dari masyarakat adat desa Lawele. Keberadaan orang Kalende tidak lepas dari sejarah Lawele itu sendiri. Orang Kalende adalah juga orang Lawele. Mereka lah yang awalnya tinggal di wilayah perbukitan kawasan hutan Lambusango, yang pada masa itu belum ditetapkan sebagai hutan konservasi oleh pemerintah.
Kalende adalah sub etnis Buton, yang masyarakatnya tinggal di kampung Wabou, sebuah kawasan perkampungan di wilayah administratif pemerintah desa Lawele. Sejak lama masyarakat Wabou mengusulkan agar kampung mereka ditetapkan menjadi sebuah dusun. Namun, baik pemerintah desa maupun pemerintah daerah belum menetapkan kampung itu menjadi sebuah dusun. Entah apa yang menjadi alasan sehingga para pemangku kebijakan belum berani memutuskan. Padahal, sejak beberapa tahun lalu masyarakat kampung Wabou sudah mengusulkan perubahan status kampung mereka diganti menjadi nama dusun.
Memang, pemerintah mesti hati-hati dalam memutuskan, mengubah status suatu kawasan. Apalagi, kampung Wabou sangat dekat dengan kawasan hutan konservasi, hutan Lambusango, salah satu icon di Kabupaten Buton. Menurut penuturan beberapa warga yang sejak lama mendiami kampung Wabou, awal mula mereka membangun rumah di kampung Wabou ketika diberi izin oleh seorang tokoh masyarakat (orang tua kampung), yang memiliki lahan kebun cukup luas di sekitar kawasan hutan Lambusango. Namun, pemberian lahan hanya sebatas mengolah kebun dan tidak untuk diperjual belikan kepada pihak lain. Tapi belakangan, setelah sekian lama mereka diberi hak kelola, beberapa dari mereka mulai mengklaim kepemilikannya. Orang-orang luar mulai ramai datang membuka dan mencaplok lahan-lahan disekitar kawasan hutan. Melihat itu, pemerintah daerah bersikap, dengan menertibkan orang-orang yang masif melakukan penebangan pohon dengan alasan membuka lahan kebun, serta mereka yang membangun rumah di pinggiran hutan, tak jauh dari kawasan hutan konservasi.
Sebelumnya, pemerintah memang sudah menurunkan status kawasan itu menjadi Area Penggunaan Lain (APL), yang kemungkinan besar karena ada kepentingan untuk memberikan izin ekspansi eksplorasi dan eksploitasi tambang Aspal di kawasan hutan itu. Dan benar, tidak berapa lama, PT. Billy masuk dan membebaskan 64 hektar lahan untuk kegiatan pertambangan. Saat itu saya bersama salah seorang perangkat desa, dan ia bercerita mengenai hal itu:
“Awalnya mereka datang, ada pembebasan lahan yang dibebaskan oleh PT. Bily 64 hektar. PT. Bily itu mengurus Tambang Aspal. Ketika masyarakat desa dengar bahwa lahan itu dibeli, baik itu masyarakat Lawele maupun masyarakat Kalende, mereka mengapling lahan disitu. Artinya mereka tidak hanya berkebun di wilayah itu. Ada yang mengapling, ada juga yang berkebun. Mereka merasa tanah itu sudah berharga. Kan tambang Aspal banyak disitu.Itu dulu kawasan hutan tapi diturunkan statusnya jadi APL. Awalnya itu masyarakat dusun Wabou, mereka yang menjual duluan lahan-lahan disitu. Apalagi mereka dengar sudah diturunkan statusnya. Kalau dulu kan belum ada kejelasan. Sehingga waktu itu kita dapat penurunan status, masyarakat banyak yang tahu. Nah masyarakat desa Lawele mulai mengapling dan membuat batas-batas lahan. Nah, kalau masyarakat suku Kalende mereka berkebun. Mereka langsung merabas, menebang pohon-pohon disitu.”
Di sinilah titik awal mula konflik kepemilikan lahan itu terjadi. Ketika orang-orang luar kampung Wabou merasa memiliki hak, mengklaim dan mencaplok lahan, dengan harapan investor tambang Aspal itu akan membeli lahan-lahan mereka. Konflik lahan itu memanas antara tahun 2014 hingga tahun 2015. Pada periode itu, kegiatan perambahan hutan (deforestasi) terus terjadi. Masyarakat yang merasa memiliki lahan membuka kebun dan membuat batas-batas di kawasan hutan. Sementara pohon, kayu nya dijual dalam skala cukup besar.
Transaksi jual beli lahan antara warga dengan pihak perusahaan tambang Aspal pun dilakukan. Warga menjualnya dengan harga 6.000 rupiah per meter. Di ketahui, pihak perusahaan telah mengeluarkan biaya sekitar 5 Miliar untuk membeli lahan-lahan warga yang akan di jadikan areal tambang Aspal. Satu-satunya bukti kepemilikan lahan yang di miliki warga hanyalah Surat Keterangan Tanah (SKT), yang dikeluarkan oleh pemerintah desa Lawele. Namun belakangan, surat keterangan yang dikeluarkan pemerintah desa justru menimbulkan pertentangan antara Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dengan Kepala Desa. Menurut BPD, memang kebijakan pemerintah desa mengeluarkan SKT dimaksudkan untuk memperjelas status lahan yang dimiliki oleh masyarakat. Namun keputusan itu hanya sepihak, dan tanpa melalui musyawarah desa.
Konflik lahan itu akhirnya melebar. Tak hanya antara orang Kalende dengan warga luar yang terlibat dalam klaim kepemilikan lahan. Konflik itupun telah masuk dalam urusan pemerintahan desa. Masalahnya, karena keputusan diambil secara sepihak, tanpa melibatkan unsur lain di dalam pemerintahan desa. Pada akhirnya pemerintah desa melakukan berbagai upaya demi meredam konflik agar tidak berlarut-larut. Pemerintah desa Lawele mencoba melakukan negosiasi, mediasi, serta fasilitasi antara masyarakat yang berkonflik. Beberapa instansi dari Dinas Kehutanan dan Kepolisian juga pernah terlibat dalam penyelesaian konflik. Namun, langkah itu belum mencapai titik temu.
Beberapa kali masyarakat mengambil inisiasi, dengan menanyakan langsung persoalan itu kepada pemerintah daerah, dalam hal ini Bupati Buton. Sayangnya, jawaban sang Bupati tidak memberi kepastian bagaimana penyelesaian dan jalan keluar agar konflik lahan yang berada disekitar kawasan hutan Lambusango dapat segera di selesaikan. Keinginan masyarakat agar ada peran pemerintah daerah untuk mengatur dan masyarakat desa mendapat kejelasan mengenai wilayah kelola dan status kepemilikan lahan yang mereka sudah klaim. Namun pemerintah daerah seolah lepas tangan dan menyerahkan persoalan itu kepada pemerintah desa. Padahal, konflik yang terjadi cukup pelik dan penyelesaiannya tak hanya bisa mengandalkan peran pemerintah desa. Yang paling berperan dari masalah itu adalah pemerintah daerah, instansi terkait, maupun pemerintah pusat dalam menegakkan aturan tata kelola lahan serta kebijakannya yang selalu memperhatikan aspek ekologis.
***
KAMPUNG Wabou adalah sebuah kawasan pemukiman masyarakat Kalende di pinggiran hutan Lambusango. Orang-orang Kalende yang mendiami kawasan pinggir hutan itu bisa di bilang masih terbelakang dan terjerat kemiskinan di tengah wacana optimalisasi potensi sumberdaya lokal dalam bingkai otonomi daerah. Memang, akses jalan dan beberapa sarana infrastruktur telah di bangun di kampung Wabou. Saya melihat, telah di bangun Sekolah Dasar (SD), Pustu, dan masuknya tiang-tiang listrik ke wilayah perkampungan. Meski demikian, orang-orang Kalende sebagai masyarakat pinggir hutan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan sebagai sumber mata pencahariannya. Dari tahun ke tahun, kampung Wabou mengalami pertumbuhan populasi cukup besar dan menerima penetrasi kapitalisme yang cukup dalam. Sementara orang-orang Kalende masih terjebak dalam kemiskinan. Kecuali sistem sosikultural yang mengikatnya, orang-orang Kalende masih menggunakan simbol budaya sebagai identitas.
Apa yang terjadi pada peristiwa malam perayaan pesta kampung tahunan di desa Lawele beberapa waktu lalu, adalah rangkaian konflik yang terjadi dalam sejarah desa Lawele, yang tidak terlepas dari keberadaan orang-orang Kalende serta adat dan budaya yang mengikatnya. Konflik masih begitu rentan terjadi kembali, bisa karena beberapa faktor. Hal fundamental yang dapat dilihat adalah adanya kesenjangan ekonomi, yang menuntut masyarakat desa untuk bersaing mendapatkan materi secara berlebihan. Sebagaimana konflik perebutan lahan yang terjadi hingga saat ini di desa itu.
Masalah lahan yang seringkali menimbulkan konflik memang sulit untuk dipisahkan dari kehidupan masyarakat dan kerap menimbulkan perselisihan. Perselisihan yang terjadi karena adanya perbedaan kepentingan yang saling berlawanan. Perbedaan pendapatan inilah yang sering menimbulkan konflik. Konflik dapat dilihat dalam dimensi, suatu persperktif atau sudut pandang dimana konflik dianggap selalu ada dan mewarnai segenap aspek interaksi manusia dan struktur sosial.
Konflik lahan yang terjadi pada aras lokal bukanlah faktor yang terjadi secara terpisah dengan aktor kunci yang berdiri sendiri. Konflik lahan akan terjadi dimanapun di negeri ini tatkala pihak-pihak yang memiliki kepentingan kapital mempertahankan haknya yang dianggap paling benar dan mengesampingkan aktor-aktor lain. Sengketa dan konflik lahan adalah bentuk permasalahan yang sifatnya kompleks dan multi dimensi.
Buton, 14 Februari 2018
Untuk yang lagi galau, yang lagi bosan tidak tahu mau ngapain,
ReplyDeletetenang,,sekarang ada yang akan menghibur kalian sekaligus
mengisi hari-hari kalian dengan games" online yang pastinya tidak akan
mengecewakan kalian deh...
yuk ikutan gabung bersama Pesonavip.com
Dapatkan Bonus Rollingan TO Sebesar 0,3 - 0.5% / Hari
Bonus Referral Sebesar 20% Seumur Hidup
* Minimal deposit hanya Rp 20.000
* Minimal tarik dana Rp 20.000
* Dilayani oleh CS profesional dan ramah
* 24 jam online
* Proses Depo & WD super cepat
* No ROBOT MURNI PLAYER VS PLAYER
* kamu berkesempatan menangkan Jackpot setiap harinya.
Info lebih lanjut silahkan hubungi CS 24 Online Setiap hari melalui :
* PIN BBM : pesonaqq
* WA : +85587984700
Link Alternatif : Pesonavip.com
Salam Sukses Pesonaqq.com
Numpang ya min ^^
ReplyDeleteAyo buruan bergabung di www.kenaripoker.com
Bonus new member 50% hanya deposit Rp 10.000 sudah bisa mainkan banyak game disini, server baru dengan keamanan dan kenyamanan yang lebih!
hanya di kenaripoker . com
WHATSAPP : +855966139323
BBM : KENARI00
LIVE CHAT : KENARIPOKER . COM
ALTERNATIVE LINK : KENARIPOKER . COM