"Dimana itu bro?!" Suara saya agak keras di telepon karena penasaran dan sinyal telepon sendat-sendat. Apa, Kopi Paku?
Menurutnya tempat ngopi disitu bisa lebih asyik, istimewa katanya dengan melebih-lebihkan. Kopi Pangku sudah ada sejak lama dan terkenal tempatnya disatu kawasan wisata puncak di Jawa Barat. Namanya sudah tidak asing lagi di kalangan penikmat kopi. Meski diberi nama Kopi Pangku, tapi sebetulnya yang paling banyak dicari adalah pelayanan lebih dari sekedar ngopi dsitu.
Ia terus membujuk. Kata dia, ngopi disitu lebih ekslusif. Sama dengan ngopi di kawasan bundaran HI Jakarta, yang harga segelas kopi bisa sama dengan harga satu gram emas 24 karat. Aje gile, padahal kerjaannya kurang jelas. Hari-harinya lebih banyak bersama orang-orang parpol. Dalam bahasa keren, kerjanya sebagai makelar politik. Next, itu bukan urusan saya.
Budaya ngopi masyarakat modern telah masuk dalam ruang gaya hidup, senafas dengan prilaku konsumtif masyarakat metropolitan.
Dalam kelas sosial, aktivitas ngopi atau minum kopi lebih pada soal selera dan harga. Misalnya ngopi di Starbucks atau dibilangan Sarinah Jakarta sana, lebih di dominasi konsumen kelas menengah dan atas. Berbeda dgn Warung Kopi saschetan yang ramai ditongkrongi supir truk atau penangguran garis keras.
Sampai akhirnya perubahan budaya ngopi membawa kita pada soal gaya hidup. Setiap kita memang punya selera berbeda tentang kopi. Mau ngopi pakai Espresso atau Saschetan, para penikmat kopi sejati tidak melihat kopi apa yang di minumnya, tapi bagaimana cara memperlakukan kopi itu untuk di minum.
Sebagaimana Kopi Pangku. Tanya saya pada teman makelar itu, "Apa ngopi disitu bisa sambil berselimut dan bobo cantip? Kan bayarnya nanti pake Bitcoin."
"Hallo! Bagaimana?!" Tanpa sengaja gelas kopi yang sejak tadi ditangan terlepas jatuh di lantai dan pecah berantakan ☕
Menurutnya tempat ngopi disitu bisa lebih asyik, istimewa katanya dengan melebih-lebihkan. Kopi Pangku sudah ada sejak lama dan terkenal tempatnya disatu kawasan wisata puncak di Jawa Barat. Namanya sudah tidak asing lagi di kalangan penikmat kopi. Meski diberi nama Kopi Pangku, tapi sebetulnya yang paling banyak dicari adalah pelayanan lebih dari sekedar ngopi dsitu.
Ia terus membujuk. Kata dia, ngopi disitu lebih ekslusif. Sama dengan ngopi di kawasan bundaran HI Jakarta, yang harga segelas kopi bisa sama dengan harga satu gram emas 24 karat. Aje gile, padahal kerjaannya kurang jelas. Hari-harinya lebih banyak bersama orang-orang parpol. Dalam bahasa keren, kerjanya sebagai makelar politik. Next, itu bukan urusan saya.
Budaya ngopi masyarakat modern telah masuk dalam ruang gaya hidup, senafas dengan prilaku konsumtif masyarakat metropolitan.
Dalam kelas sosial, aktivitas ngopi atau minum kopi lebih pada soal selera dan harga. Misalnya ngopi di Starbucks atau dibilangan Sarinah Jakarta sana, lebih di dominasi konsumen kelas menengah dan atas. Berbeda dgn Warung Kopi saschetan yang ramai ditongkrongi supir truk atau penangguran garis keras.
Sampai akhirnya perubahan budaya ngopi membawa kita pada soal gaya hidup. Setiap kita memang punya selera berbeda tentang kopi. Mau ngopi pakai Espresso atau Saschetan, para penikmat kopi sejati tidak melihat kopi apa yang di minumnya, tapi bagaimana cara memperlakukan kopi itu untuk di minum.
Sebagaimana Kopi Pangku. Tanya saya pada teman makelar itu, "Apa ngopi disitu bisa sambil berselimut dan bobo cantip? Kan bayarnya nanti pake Bitcoin."
"Hallo! Bagaimana?!" Tanpa sengaja gelas kopi yang sejak tadi ditangan terlepas jatuh di lantai dan pecah berantakan ☕