Wednesday, October 9, 2019

Joker Ada di Sekitar Kita



Sebagai penikmat film layar lebar, film Joker memberi warna berbeda dari film-film lain yang pernah kusaksikan. Di film ini saya menemukan seorang aktor yang benar-benar menjiwai perannya sebagai pemain film. Menurut saya ia berhasil memerankan karakter dalam film dengan sangat baik. Saya lebih mengingat Arthur Fleck adalah Joker daripada Joaquin Phoenix sebagai pemerannya. Dari banyak sosok di film-film terkenal seperti Daniel Radcliffe sebagai karakter Harry Potter, atau Tobey Maguire yang berperan sebagai Spider-Man, menurut saya seorang Arthur di film Joker adalah tokoh yang paling ikonis.
       
Film Joker mungkin tak memberi kepuasan semua orang yang menontonnya. Juga banyak yang tak mengerti alur cerita film yang di sutradarai oleh Todd Phillips ini. Di sini saya tak ingin membuka aib Lucinta Luna spoiler film Joker. Sebagai makhluk sosial, saya hanya ingin berbagi cerita mengenai kehidupan Joker di film itu. Sedikit saja, saya janji. This is not a political promise.

Sejak film ini mulai di menit-menit awal, permainan psikologis sudah sangat terasa. Film ini dibuka dengan adegan Arthur menghadap sebuah cermin dan menarik-narik kulit bibirnya. Ia sedang merias wajah agar telihat lucu. Padahal tidak ada kelucuan disitu. Para penonton pun hening di ruang bioskop yang dingin. Film ini memang tidak menghadirkan kelucuan. Film Joker adalah kenyataan dalam kehidupan masyarakat kota. Sebuah film yang menggambarkan kehidupan yang penuh dengan persaingan, ketidak-adilan, birokrasi yang kacau, kesombongan para elit, serta marginalisasi kaum miskin kota. Mereka terpasung dengan kebodohan dan kemiskinan, sebab kekuasaan di kota itu tidak memperhatikan nasib masyarakat pinggiran.

Kita dihantar dalam shot film di tahun 1981. Di kota Gotham yang tidak aman, semrawut dan terjadi ketimpangan sosial di sana. Ada dinding tebal yang memisahkan masyarakat elit dengan kelas bawah perkotaan. Di antara masyarakat miskin kota itu, seorang badut tinggal bersama ibunya di salah satu bangunan tua. Mirip apartemen lah, punya lift juga. Tapi sangat tidak layak untuk dihuni. Apalagi se kelas anggota dewan yang baru saja di lantik. Mereka lebih layak tinggal di apartemen kelas mewah.

Si badut coba menghibur di tengah kesibukan masyarakat kota. Ia berusaha membuat senang dan mencuri perhatian orang-orang. “Everything Must Go!!”, begitu tulisan di papan yang ia pegang sambil melucu. Tapi akhirnya dirusak sekelompok pemuda gelandangan. Si badut marah dan mengejar mereka. Sayangnya ia tak bisa melawan. Ia disiksa dan jatuh terbaring.

Badut itu adalah Arthur, sebelum ia menjadi Joker. Arthur bekerja dalam komunitas badut, seperti perusahaan yang menawarkan jasa hiburan. Beberapa lama Arthur bekerja disitu. Ia sering mendapat job untuk melucu di hadapan anak-anak di rumah sakit. Sampai suatu ketika bosnya memberhentikan dia dari tempat kerja karena dianggap membahayakan keselamatan orang saat sedang menghibur di acara itu. Arthur tanpa sengaja menjatuhkan pistol. Senjata itu adalah milik teman se profesinya, yang diberikan kepada Arthur agar bisa menjaga diri. Teman itu memberikannya karena mengetahui Arthur dikeroyok oleh sekelompok orang di hari sebelumnya saat ia sedang bekerja di tengah keramaian pusat kota.

Situasi di Kota Gotham dalam keadaan memburuk. Saya menyukai setting warna dalam film ini yang jadul dan juga dark night banget. Situasi kota memang sedang kacau. Berbagai pemberitaan lebih mengekspose orang-orang kaya ketimbang isu-isu sosial, politik dan ekonomi yang lagi tidak sehat. Mirip-mirip era Orba lah, dimana Departemen Penerangan saat itu mengatur sirkulasi informasi di berbagi liputan pemberitaan media. Televisi lebih menghadirkan acara-acara yang tidak bermutu. Misalnya seperti program Termehek-mehek gelar wicara yang populer dengan pembawa acara Murray Franklin. Mulanya Arthur sangat mengidolakan Murray dengan penampilan dan cara dia membawakan acara. Arthur selalu menyaksikan dia di layar kaca. Sampai suatu ketika Arthur di undang khusus bersama Murray Franklin di programnya.

Ibu Arthur, Penny Fleck sedang sakit dan dalam perawatan. Ia sangat menginginkan suaminya kembali untuk memperhatikan keluarga mereka. Arthur tak tahu kalau ayahnya adalah seorang terpandang di kota Gotham. Ayahnya, Thomas Wayne adalah seorang politikus yang sedang menyiapkan diri untuk mengikuti kontestasi pemilihan walikota di kota itu. Meskipun, Thomas Wayne tak mengakui kalau Penny adalah istri dan Arthur adalah anaknya. Upaya Arthur menemui sang ayah memang tercapai. Tapi usahanya membujuk untuk mengakui ibunya dan dirinya sebagai keluarga tak membuahkan hasil. Thomas justru mengatakan bahwa ibunya gila. Arthur juga diberi hadiah pukulan dan jatuh tersungkur.

Kesedihan dan tekanan terus dialami Arthur dalam kehidupannya. Apalagi ia mengidap penyakit gangguan mental yang membuatnya seringkali tertawa tidak terkendali. Dalam medis, gangguan itu disebut Pseudobulbar Affect (PBA). Para pengidap PBA sering membuat mereka tertawa atau menangis beberapa menit setiap kali merasa sedih atau gugup, dalam kondisi yang tidak sepatutnya.

Pada kondisi seperti itu, kehidupan Arthur tidak berjalan normal sebagaimana orang-orang kebanyakan. Beberapa kali ia menemui psikolog yang bekerja pada lembaga pemerintahan untuk berkonsultasi mengenai dirinya, sebelum akhirnya lembaga sosial itu ditutup karena pemerintah kesulitan soal penganggaran. Arthur semakin bingung karena tak ada lagi tempat yang membantunya untuk memberi obat dan bertanya perihal penyakit yang ia derita.

Tekanan dan bully-an dari orang-orang merubah hidupnya. Dalam situasi seperti itu, Arthur Fleck memutuskan dan memilih jalan hidupnya dengan menjadi seorang Joker. Hari-hari buruknya merubahnya menjadi seseorang yang jahat. Dari seorang badut yang periang dan lucu, menjadi seorang Joker yang jahat dan membunuh. Apa yang membuatnya jahat sebenarnya adalah akumulasi dari hari-harinya yang membosankan. Tapi bukankah ia pernah berkata “Life is funny. I used to think that my life was a tragedy. But, now I realize, it’s a comedy’. Seperti dalam cerita film ini, Arthur sedang menertawakan nasib malang yang dialaminya.

Sosok Joker yang diperankan Joaquin Phoenix sebenarnya relevan dengan orang-orang di sekitar kita yang menghadapi situasi yang sama dengan di film. Ada orang-orang mengalami situasi buruk, misalnya dalam lingkungan kerja, pemerintahan, pendidikan, bahkan dalam rumah tangga sekalipun. Di dalam lingkungan kerja, seseorang mengalami perlakuan tidak adil karena hak-haknya di pangkas. Di lembaga pemerintahan, terdengar akrab di telinga kita dimana pemerintah selalu korup dan represif. Begitu juga dengan lembaga pendidikan, kita juga sering melihat pelajar atau mahasiswa yang mendapat perlakuan berbeda dari pelajar atau mahasiswa lain hanya karena keluarga mereka berasal dari kalangan bangsawan atau pejabat. Sempat tersiar kasus bunuh diri dan korbannya adalah mahasiswa di beberapa kampus ternama. Mereka di duga karena stress dan tekanan yang dialami. Sementara di rumah tangga, rumah yang penuh kehangatan dan kasih sayang juga sering mengalami kekacauan dan berantakan.

Pada tiap-tiap masalah itu, selalu ada orang yang tidak mampu melewati. Kerap ada yang berubah dan berbuat di luar kendali. Orang-orang seperti itu sering melampiaskan kekesalannya dengan bertindak di luar norma. Sebagaimana kita melihat Joker, Arthur meluapkan kekesalannya dengan membalas orang-orang yang mengolok-olok dan menertawakannya. Ia merasakan sensasi setelah membunuh mereka semua. Door…! Satu per satu dari mereka di tembak mati. 

Pembunuhan yang dilakukan Joker menjadi simbol perlawanan kaum miskin kota yang tertindas. Mereka menjadikan Joker sebagai icon dari aksi protes terhadap orang-orang kaya di Kota Gotham. Kisah Joker sebagaimana cerita di atas tak lengkap kalau belum menontonnya. Masih banyak adegan-adegan Joker yang belum sempat dijelaskan di sini. Bagi saya, film ini tidak hanya menyajikan potret kehidupan Joker yang jauh dari kebahagiaan, tapi juga bagaimana sistem sosial di bangun untuk mengalienasi masyarakat miskin perkotaan.

Semoga film ini tidak mengobsesi kaum buruh, kelompok agama fundamental, atau kelompok mahasiswa dan pelajar STM yang belum lama melakukan unjuk rasa serentak di tanah air. Kita tidak bisa menjadikan sosok Joker sebagai sumber inspirasi yang membunuh dengan pistol kepada orang-orang yang mencurangi dan menghancurkan harapannya. Apapun alasannya, kriminalitas tidak dapat dibenarkan. Tapi, ada sedikit pelajaran yang dapat kita petik di film Joker. Film ini menggugah kesadaran kita untuk peka terhadap isu kesehatan mental. Sebab kita sering abai dan tidak peduli dengan kondisi mereka.


Saatnya menatap dunia dengan ceria. Sebagaimana pesan Penny Fleck kepada anaknya Arthur Fleck:
Ibuku selalu menyuruhku untuk memakai wajah ceria.
Dia mengatakan kepada saya bahwa saya memiliki tujuan
untuk mendatangkan tawa dan sukacita bagi dunia.”



0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts