Sebagai
penikmat film layar lebar, film Joker memberi warna berbeda dari film-film lain
yang pernah kusaksikan. Di film ini saya menemukan seorang aktor yang
benar-benar menjiwai perannya sebagai pemain film. Menurut saya ia berhasil
memerankan karakter dalam film dengan sangat baik. Saya lebih mengingat Arthur
Fleck adalah Joker daripada Joaquin Phoenix sebagai pemerannya. Dari banyak sosok
di film-film terkenal seperti Daniel Radcliffe sebagai karakter Harry Potter,
atau Tobey Maguire yang berperan sebagai Spider-Man, menurut saya seorang Arthur
di film Joker adalah tokoh yang paling ikonis.
Film
Joker mungkin tak memberi kepuasan semua orang yang menontonnya. Juga banyak
yang tak mengerti alur cerita film yang di sutradarai oleh Todd Phillips ini.
Di sini saya tak ingin membuka aib Lucinta Luna spoiler film
Joker. Sebagai makhluk sosial, saya hanya ingin berbagi cerita mengenai
kehidupan Joker di film itu. Sedikit saja, saya janji. This is not a political
promise.
Sejak
film ini mulai di menit-menit awal, permainan psikologis sudah sangat terasa.
Film ini dibuka dengan adegan Arthur menghadap sebuah cermin dan menarik-narik
kulit bibirnya. Ia sedang merias wajah agar telihat lucu. Padahal tidak ada
kelucuan disitu. Para penonton pun hening di ruang bioskop yang dingin. Film
ini memang tidak menghadirkan kelucuan. Film Joker adalah kenyataan dalam
kehidupan masyarakat kota. Sebuah film yang menggambarkan kehidupan yang penuh
dengan persaingan, ketidak-adilan, birokrasi yang kacau, kesombongan para elit,
serta marginalisasi kaum miskin kota. Mereka terpasung dengan kebodohan dan
kemiskinan, sebab kekuasaan di kota itu tidak memperhatikan nasib masyarakat pinggiran.
Kita
dihantar dalam shot film di tahun 1981. Di kota Gotham yang tidak aman,
semrawut dan terjadi ketimpangan sosial di sana. Ada dinding tebal yang
memisahkan masyarakat elit dengan kelas bawah perkotaan. Di antara masyarakat
miskin kota itu, seorang badut tinggal bersama ibunya di salah satu bangunan
tua. Mirip apartemen lah, punya lift juga. Tapi sangat tidak layak untuk dihuni. Apalagi se kelas anggota dewan yang baru saja di lantik. Mereka lebih
layak tinggal di apartemen kelas mewah.
Si
badut coba menghibur di tengah kesibukan masyarakat kota. Ia berusaha membuat
senang dan mencuri perhatian orang-orang. “Everything Must Go!!”, begitu
tulisan di papan yang ia pegang sambil melucu. Tapi akhirnya dirusak sekelompok
pemuda gelandangan. Si badut marah dan mengejar mereka. Sayangnya ia tak bisa melawan.
Ia disiksa dan jatuh terbaring.
Badut
itu adalah Arthur, sebelum ia menjadi Joker. Arthur bekerja dalam komunitas
badut, seperti perusahaan yang menawarkan jasa hiburan. Beberapa lama Arthur
bekerja disitu. Ia sering mendapat job untuk melucu di hadapan anak-anak di
rumah sakit. Sampai suatu ketika bosnya memberhentikan dia dari tempat kerja
karena dianggap membahayakan keselamatan orang saat sedang menghibur di acara
itu. Arthur tanpa sengaja menjatuhkan pistol. Senjata itu adalah milik teman se
profesinya, yang diberikan kepada Arthur agar bisa menjaga diri. Teman itu
memberikannya karena mengetahui Arthur dikeroyok oleh sekelompok orang di hari
sebelumnya saat ia sedang bekerja di tengah keramaian pusat kota.
Situasi
di Kota Gotham dalam keadaan memburuk. Saya menyukai setting warna dalam film
ini yang jadul dan juga dark night banget. Situasi kota memang
sedang kacau. Berbagai pemberitaan lebih mengekspose orang-orang kaya ketimbang
isu-isu sosial, politik dan ekonomi yang lagi tidak sehat. Mirip-mirip era Orba
lah, dimana Departemen Penerangan saat itu mengatur sirkulasi informasi di
berbagi liputan pemberitaan media. Televisi lebih menghadirkan acara-acara yang
tidak bermutu. Misalnya seperti program Termehek-mehek gelar
wicara yang populer dengan pembawa acara Murray Franklin. Mulanya Arthur sangat
mengidolakan Murray dengan penampilan dan cara dia membawakan acara. Arthur
selalu menyaksikan dia di layar kaca. Sampai suatu ketika Arthur di undang
khusus bersama Murray Franklin di programnya.
Ibu
Arthur, Penny Fleck sedang sakit dan dalam perawatan. Ia sangat menginginkan
suaminya kembali untuk memperhatikan keluarga mereka. Arthur tak tahu kalau
ayahnya adalah seorang terpandang di kota Gotham. Ayahnya, Thomas Wayne adalah
seorang politikus yang sedang menyiapkan diri untuk mengikuti kontestasi
pemilihan walikota di kota itu. Meskipun, Thomas Wayne tak
mengakui kalau Penny adalah istri dan Arthur adalah anaknya. Upaya Arthur
menemui sang ayah memang tercapai. Tapi usahanya membujuk untuk mengakui
ibunya dan dirinya sebagai keluarga tak membuahkan hasil. Thomas justru mengatakan
bahwa ibunya gila. Arthur juga diberi hadiah pukulan dan jatuh tersungkur.
Kesedihan
dan tekanan terus dialami Arthur dalam kehidupannya. Apalagi ia mengidap
penyakit gangguan mental yang membuatnya seringkali tertawa tidak terkendali.
Dalam medis, gangguan itu disebut Pseudobulbar Affect (PBA). Para
pengidap PBA sering membuat mereka tertawa atau menangis beberapa menit setiap
kali merasa sedih atau gugup, dalam kondisi yang tidak sepatutnya.
Pada kondisi seperti itu, kehidupan Arthur tidak berjalan normal sebagaimana
orang-orang kebanyakan. Beberapa kali ia menemui psikolog yang bekerja pada
lembaga pemerintahan untuk berkonsultasi mengenai dirinya, sebelum akhirnya
lembaga sosial itu ditutup karena pemerintah kesulitan soal penganggaran.
Arthur semakin bingung karena tak ada lagi tempat yang membantunya untuk
memberi obat dan bertanya perihal penyakit yang ia derita.
Tekanan
dan bully-an dari orang-orang merubah hidupnya. Dalam situasi seperti
itu, Arthur Fleck memutuskan dan memilih jalan hidupnya dengan menjadi seorang
Joker. Hari-hari buruknya merubahnya menjadi seseorang yang jahat. Dari seorang
badut yang periang dan lucu, menjadi seorang Joker yang jahat dan membunuh. Apa
yang membuatnya jahat sebenarnya adalah akumulasi dari hari-harinya yang
membosankan. Tapi bukankah ia pernah berkata “Life is funny. I used to think
that my life was a tragedy. But, now I realize, it’s a comedy’. Seperti
dalam cerita film ini, Arthur sedang menertawakan nasib malang yang dialaminya.
Sosok
Joker yang diperankan Joaquin Phoenix sebenarnya relevan dengan orang-orang di
sekitar kita yang menghadapi situasi yang sama dengan di film. Ada
orang-orang mengalami situasi buruk, misalnya dalam lingkungan kerja,
pemerintahan, pendidikan, bahkan dalam rumah tangga sekalipun. Di dalam
lingkungan kerja, seseorang mengalami perlakuan tidak adil karena hak-haknya di
pangkas. Di lembaga pemerintahan, terdengar akrab di telinga kita dimana
pemerintah selalu korup dan represif. Begitu juga dengan lembaga pendidikan,
kita juga sering melihat pelajar atau mahasiswa yang mendapat perlakuan berbeda
dari pelajar atau mahasiswa lain hanya karena keluarga mereka berasal dari
kalangan bangsawan atau pejabat. Sempat tersiar kasus bunuh diri dan korbannya
adalah mahasiswa di beberapa kampus ternama. Mereka di duga karena stress dan
tekanan yang dialami. Sementara di rumah tangga, rumah yang penuh kehangatan
dan kasih sayang juga sering mengalami kekacauan dan berantakan.
Pada tiap-tiap masalah itu, selalu ada orang yang tidak mampu melewati. Kerap ada
yang berubah dan berbuat di luar kendali. Orang-orang seperti itu sering melampiaskan
kekesalannya dengan bertindak di luar norma. Sebagaimana kita melihat Joker, Arthur
meluapkan kekesalannya dengan membalas orang-orang yang mengolok-olok dan
menertawakannya. Ia merasakan sensasi setelah membunuh mereka semua. Door…!
Satu per satu dari mereka di tembak mati.
Pembunuhan
yang dilakukan Joker menjadi simbol perlawanan kaum miskin kota yang tertindas.
Mereka menjadikan Joker sebagai icon dari aksi protes terhadap orang-orang kaya
di Kota Gotham. Kisah Joker sebagaimana cerita di atas tak lengkap kalau belum
menontonnya. Masih banyak adegan-adegan Joker yang belum sempat dijelaskan di
sini. Bagi saya, film ini tidak hanya menyajikan potret kehidupan Joker yang jauh
dari kebahagiaan, tapi juga bagaimana sistem sosial di bangun untuk
mengalienasi masyarakat miskin perkotaan.
Semoga
film ini tidak mengobsesi kaum buruh, kelompok agama fundamental, atau kelompok
mahasiswa dan pelajar STM yang belum lama melakukan unjuk rasa serentak di
tanah air. Kita tidak bisa menjadikan sosok Joker sebagai sumber inspirasi yang
membunuh dengan pistol kepada orang-orang yang mencurangi dan menghancurkan
harapannya. Apapun alasannya, kriminalitas tidak dapat dibenarkan. Tapi,
ada sedikit pelajaran yang dapat kita petik di film Joker. Film ini menggugah kesadaran
kita untuk peka terhadap isu kesehatan mental. Sebab kita sering abai dan tidak
peduli dengan kondisi mereka.
Saatnya
menatap dunia dengan ceria. Sebagaimana pesan Penny Fleck kepada anaknya Arthur
Fleck:
“Ibuku
selalu menyuruhku untuk memakai wajah ceria.
Dia mengatakan kepada saya bahwa saya memiliki tujuan
untuk mendatangkan tawa dan sukacita bagi dunia.”
0 komentar:
Post a Comment