Kawasan Hutan Lambusango Pulau Buton |
HUTAN
Lambusango adalah hutan konservasi di pulau Buton yang memiliki luas 65 ribu
hektar. Hutan ini terbagi menjadi dua kawasan: Pertama, adalah kawasan Cagar Alam Kakenauwe dan Kedua, adalah kawasan Suaka Marga Satwa.
Luasnya sekitar 28 ribu hektar. Sementara sisanya adalah kawasan hutan lindung
dan hutan produksi. Secara administratif, hutan Lambusango berada di antara
beberapa kecamatan dalam wilayah Kabupaten Buton, yaitu: Kecamatan Kapontori,
Lasalimu, Lasalimu Selatan, Siontapina, Wolowa, dan Pasarwajo. Hutan Lambusango
dihuni sekitar 120 spesies burung, 36 jenis di antaranya adalah hewan endemik
Sulawesi, seperti: Burung Julang, Kuskus, Anoa, Monyet ochreata brunescens dan Tarsius.
***
LA UDI (37)
akan bertualang di dalam hutan kawasan, hutan Lambusango. Seluruh perlengkapan
telah ia masukan ke dalam tas. Dua kawannya, La Rudi (33) dan La Samudi (29)
juga sudah bersiap melakukan perjalanan jauh nan melelahkan. Tapi bagi mereka
yang sudah terbiasa menjelajahi hutan itu, tidak ada kata lelah. Mereka telah
berakrab dengan medan hutan. Sudah bertahun-tahun menggeluti pekerjaan mencari
madu.
Pagi itu,
saat matahari belum begitu tampak, ketiga lelaki itu membuat racikan madu. Madu
pahit di campur dengan telur ayam kampung ke dalam satu gelas, dikocok hingga
menyatu lalu diteguk sampai benar-benar kandas. Kata mereka, madu dan telur
ayam kampung kalau disatukan akan menjadi obat berkhasiat. Tubuh mereka akan
penuh energi. Mereka bisa melakukan perjalanan berkilo-kilo jaraknya. Pengetahuan
itu mereka dapatkan dari para leluhur, secara turun-temurun.
La Udi bersama
dua kawannya masuk ke hutan melalui Desa Lambusango, Kecamatan Kapontori. Desa
Lambusango merupakan salah satu desa yang sangat dekat dengan kawasan hutan
Lambusango. Selain itu, posisi desa juga berhadapan dengan teluk Kapontori.
Sangat dekat dengan laut. Namun, sebagian besar masyarakatnya bekerja
sebagai pencari madu hutan. Sisanya berprofesi sebagai nelayan tangkap. Kata
Pak Desa, Azuddin, salah satu komoditas unggulan di desanya adalah madu hutan.
Mayoritas masyarakat desa menggantungkan hidup dari penjualan madu.
Petualangan
mencari madu di dalam hutan Lambusango dimulai hari itu. La Udi menjadi komando
yang membawa dua pasukannya. Tak ada kompas yang mereka bawa. Di hutan
belantara, La Udi hanya mengandalkan insting dan jalan-jalan kebun yang
pernah dilewati. Akses jalan dalam hutan penuh dengan semak belukar, pohon yang tumbang, dahan berduri, dan beberapa kali menyeberangi anak sungai. Tapi semua
dilewati tanpa ada kekhawatiran. Pekerjaan bertahun-tahun mejelajahi hutan
membuat mereka sangat berpengalaman mencari madu. Beratnya medan tak membuat
mereka patah arang. Segala ketakutan yang datang menghampiri pun mesti
diterabas demi mendapatkan tetes-tetes madu.
Hampir dua
jam lamanya mereka berjalan, hingga mereka tiba disatu pohon. Pohon itu dilihat
dengan penuh gembira. Tinggi pohon itu kira-kira 35 sampai 40 meter dari tanah,
dengan lingkaran batang pohon sekitar 1,5 meter. Di atas pohon, kerumunan lebah
masih memenuhi sarangnya. La Udi sudah bersiap untuk naik ke atas pohon. Dua
temannya menyiapkan pengasapan untuk mengusir lebah dari sarangnya. Pengasapan memakai
kumpulan batang bambu kering yang diikat menjadi satu, atau mereka menyebutnya Kasosompo.
Enam puluh
menit waktu berlalu, sarang lebah itu mulai sepi dari tuan-tuannya. Mereka lari
meninggalkan rumah yang masih dipenuhi cairan kental, menyerupai sirup dan
berasa manis. Sebelum memanjat batang pohon, La Udi bersama dua kawannya
melakukan semacam ritual. Menurut mereka, begitulah cara orang-orang tua
kampung sebelum memanen madu. Ada tradisi atau ritual yang mengawali setiap aktivitas atau pekerjaan. Nilai kearifan lokal menjadi panduan dan kebiasaan yang dititipkan oleh para leluhur agar selalu berlaku bijak
pada alam semesta, yaitu tidak merusak fungsi hutan dan menjaga keberlangsungannya.
Usai
melakukan ritual, La Udi bergegas naik ke batang pohon dengan membawa Kasosompo. Bambu berasap itu dibawa naik untuk mengusir sisa lebah yang
masih bertahan di sarangnya. Dua kawannya setia berjaga di bawah pohon. Mereka juga merawat api agar pasukan lebah tadi tidak kembali. La Udi dengan
lincah memanjat batang pohon. Parang yang menempel di pinggang dicabut keluar
dari sarungnya, ia mulai mengeksekusi sarang lebah. Sarang lebah di
potong-potong lalu di masukan ke dalam karung. Setelah semua sarang lebah
berhasil diambil, karung kemudian diturunkan menggunakan tali. Di bawah pohon, dua
kawannya menyambut karung itu hingga mendarat dengan aman.
Waktu sudah
hampir malam, pukul 5:15 menit dari arloji milik La Samudi. Tapi di dalam hutan
sudah sangat gelap. Mereka menyalakan lampu senter yang menempel di kepala. Saatnya pulang dengan membawa satu karung rumah lebah.
Kira-kira perjalanan pulang memakan waktu 2 jam 30 menit. Begitu kalau kondisi malam, sangat berbeda kalau pagi atau siang hari. Perjalanan dalam
hutan di waktu malam sering mendapat hambatan. Menurut mereka, yang paling di
waspadai bukan hewan buas, tapi kawat-kawat listrik yang melingkar di
pagar-pagar kebun milik warga. Seringkali para pencari lebah madu hutan yang
bekerja di waktu malam tersengat listrik kawat pagar kebun. “Meskipun daya setrumnya tidak begitu kuat,
tapi tegangan listrik yang di aliri melalui mesin Aki itu cukup menggetarkan
tulang,” keluh La Rudi, yang juga pernah tersengat listrik kawat pagar
kebun.
Benar saja,
prediksi waktu perjalanan pulang mereka tidak meleset jauh. Mereka tiba hampir
pukul 8 malam. Di rumah La Udi mereka rehat sejenak, setelah itu kembali
bekerja untuk menyaring madu. Setengah jam berlalu, La Udi menyiapkan wadah dan
alat penyaring. Kemudian La Rudi mengangkat potongan-potongan sarang lebah itu lalu
diperas di atas saringan. Di bawah alat penyaring telah siap sebuah wadah
penampung madu. Begitulah seterusnya sampai potongan-potongan sarang lebah habis
semua diperas. Setiap perasan di atas penyaring, mengumpulkan tetesan-tetesan
madu kemudian jatuh ke dalam wadah penampung. Dari hasil perasan sarang lebah
itu, La Udi, La Rudi, dan La Samudi berhasil mendapatkan lima botol (450 ml)
madu. Untuk satu botol madu hutan, di jual dengan harga 90 sampai 100 ribu
rupiah.
Di desa
Lambusango, hampir setiap halaman rumah warga terdapat lapak penjualan madu.
Ada tiga jenis madu yang mereka dagangkan: Pertama,
Madu Manis. Jenis madu dengan rasa manis ini berwarna cokelat. Kedua, Madu Manis Campur Pahit. Jenis
madu dengan rasa manis campur pahit ini cenderung berwarna cokelat
kehitam-hitaman. Ketiga, Madu Pahit.
Jenis madu dengan rasa pahit ini berwarna lebih hitam. Dari tiga jenis madu
yang berbeda ini, masing-masing memiliki khasiat atau manfaat yang berbeda.
Misalnya jenis madu dengan rasa pahit dan berwarna hitam, khasiatnya membuat
daya tahan tubuh lebih baik dan berenergik.
***
MELIHAT
geliat ekonomi masyarakat yang tumbuh dari usaha penjualan madu, Pemerintah
Desa Lambusango ingin mengembangkan komoditi madu hutan ini menjadi salah satu produk
usaha desa yang akan dikelola oleh BUMDes. Skema bisnis yang dijalankan
pemerintah desa adalah dengan menggerakkan BUMDes untuk membeli madu dari warga
dengan harga yang wajar, sebagaimana masyarakat desa menjualnya di lapak
dagangan mereka. Dari sisi promosi dan pemasaran, pemerintah desa akan membuat
khusus brand atau merek dagang dan
mendaftarkan produk usaha desa (madu hutan) ke Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM). Dengan begitu, madu asli dari hutan desa Lambusango semakin dikenal dan
memiliki pasar yang jelas.
Begitulah
cara desa menangkap peluang-peluang usaha ekonomi. Pemerintah Desa Lambusango melakukan
berbagai inovasi untuk mendukung usaha-usaha masyarakat dalam mengembangkan
ekonomi rumah tangga. Desa dengan kekayaan sumber daya alamnya dikelola dan
dimanfaatkan dengan tetap memegang prinsip-prinsip kearifan lokal dan
kelestarian lingkungan hidup. Kita patut berbangga dengan keuletan La Udi
bersama dua kawannya.
Meskipun profesinya sebagai pemburu lebah madu di tengah
belantara hutan Lambusango, mereka tetap menekuni pekerjaannya demi kelangsungan
hidup keluarganya. Sungguh berat pekerjaan masyarakat mencari madu hutan, mereka bertaruh nyawa. Pekerjaan sehari-hari di dalam hutan itu dilakukan agar mereka tetap survive di tengah
keterbatasan akses dan lapangan kerja. Kita patut bersyukur, masyarakat desa
Lambusango tidak hanya memanfaatkan potensi sumberdaya hutan untuk kepentingan ekonomi mereka, tapi sekaligus merawat budaya serta melestarikan sumber daya alam.
0 komentar:
Post a Comment