Sunday, October 13, 2019

Para Pemburu Lebah Madu di Belantara Hutan Lambusango

Kawasan Hutan Lambusango Pulau Buton
HUTAN Lambusango adalah hutan konservasi di pulau Buton yang memiliki luas 65 ribu hektar. Hutan ini terbagi menjadi dua kawasan: Pertama, adalah kawasan Cagar Alam Kakenauwe dan Kedua, adalah kawasan Suaka Marga Satwa. Luasnya sekitar 28 ribu hektar. Sementara sisanya adalah kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Secara administratif, hutan Lambusango berada di antara beberapa kecamatan dalam wilayah Kabupaten Buton, yaitu: Kecamatan Kapontori, Lasalimu, Lasalimu Selatan, Siontapina, Wolowa, dan Pasarwajo. Hutan Lambusango dihuni sekitar 120 spesies burung, 36 jenis di antaranya adalah hewan endemik Sulawesi, seperti: Burung Julang, Kuskus, Anoa, Monyet ochreata brunescens dan Tarsius.

***

LA UDI (37) akan bertualang di dalam hutan kawasan, hutan Lambusango. Seluruh perlengkapan telah ia masukan ke dalam tas. Dua kawannya, La Rudi (33) dan La Samudi (29) juga sudah bersiap melakukan perjalanan jauh nan melelahkan. Tapi bagi mereka yang sudah terbiasa menjelajahi hutan itu, tidak ada kata lelah. Mereka telah berakrab dengan medan hutan. Sudah bertahun-tahun menggeluti pekerjaan mencari madu.

Pagi itu, saat matahari belum begitu tampak, ketiga lelaki itu membuat racikan madu. Madu pahit di campur dengan telur ayam kampung ke dalam satu gelas, dikocok hingga menyatu lalu diteguk sampai benar-benar kandas. Kata mereka, madu dan telur ayam kampung kalau disatukan akan menjadi obat berkhasiat. Tubuh mereka akan penuh energi. Mereka bisa melakukan perjalanan berkilo-kilo jaraknya. Pengetahuan itu mereka dapatkan dari para leluhur, secara turun-temurun.

La Udi bersama dua kawannya masuk ke hutan melalui Desa Lambusango, Kecamatan Kapontori. Desa Lambusango merupakan salah satu desa yang sangat dekat dengan kawasan hutan Lambusango. Selain itu, posisi desa juga berhadapan dengan teluk Kapontori. Sangat dekat dengan laut. Namun, sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai pencari madu hutan. Sisanya berprofesi sebagai nelayan tangkap. Kata Pak Desa, Azuddin, salah satu komoditas unggulan di desanya adalah madu hutan. Mayoritas masyarakat desa menggantungkan hidup dari penjualan madu.

Petualangan mencari madu di dalam hutan Lambusango dimulai hari itu. La Udi menjadi komando yang membawa dua pasukannya. Tak ada kompas yang mereka bawa. Di hutan belantara, La Udi hanya mengandalkan insting dan jalan-jalan kebun yang pernah dilewati. Akses jalan dalam hutan penuh dengan semak belukar, pohon yang tumbang, dahan berduri, dan beberapa kali menyeberangi anak sungai. Tapi semua dilewati tanpa ada kekhawatiran. Pekerjaan bertahun-tahun mejelajahi hutan membuat mereka sangat berpengalaman mencari madu. Beratnya medan tak membuat mereka patah arang. Segala ketakutan yang datang menghampiri pun mesti diterabas demi mendapatkan tetes-tetes madu.

Hampir dua jam lamanya mereka berjalan, hingga mereka tiba disatu pohon. Pohon itu dilihat dengan penuh gembira. Tinggi pohon itu kira-kira 35 sampai 40 meter dari tanah, dengan lingkaran batang pohon sekitar 1,5 meter. Di atas pohon, kerumunan lebah masih memenuhi sarangnya. La Udi sudah bersiap untuk naik ke atas pohon. Dua temannya menyiapkan pengasapan untuk mengusir lebah dari sarangnya. Pengasapan memakai kumpulan batang bambu kering yang diikat menjadi satu, atau mereka menyebutnya Kasosompo.

Enam puluh menit waktu berlalu, sarang lebah itu mulai sepi dari tuan-tuannya. Mereka lari meninggalkan rumah yang masih dipenuhi cairan kental, menyerupai sirup dan berasa manis. Sebelum memanjat batang pohon, La Udi bersama dua kawannya melakukan semacam ritual. Menurut mereka, begitulah cara orang-orang tua kampung sebelum memanen madu. Ada tradisi atau ritual yang mengawali setiap aktivitas atau pekerjaan. Nilai kearifan lokal menjadi panduan dan kebiasaan yang dititipkan oleh para leluhur agar selalu berlaku bijak pada alam semesta, yaitu tidak merusak fungsi hutan dan menjaga keberlangsungannya.

Usai melakukan ritual, La Udi bergegas naik ke batang pohon dengan membawa Kasosompo. Bambu berasap itu dibawa naik untuk mengusir sisa lebah yang masih bertahan di sarangnya. Dua kawannya setia berjaga di bawah pohon. Mereka juga merawat api agar pasukan lebah tadi tidak kembali. La Udi dengan lincah memanjat batang pohon. Parang yang menempel di pinggang dicabut keluar dari sarungnya, ia mulai mengeksekusi sarang lebah. Sarang lebah di potong-potong lalu di masukan ke dalam karung. Setelah semua sarang lebah berhasil diambil, karung kemudian diturunkan menggunakan tali. Di bawah pohon, dua kawannya menyambut karung itu hingga mendarat dengan aman.

Waktu sudah hampir malam, pukul 5:15 menit dari arloji milik La Samudi. Tapi di dalam hutan sudah sangat gelap. Mereka menyalakan lampu senter yang menempel di kepala. Saatnya pulang dengan membawa satu karung rumah lebah. Kira-kira perjalanan pulang memakan waktu 2 jam 30 menit. Begitu kalau kondisi malam, sangat berbeda kalau pagi atau siang hari. Perjalanan dalam hutan di waktu malam sering mendapat hambatan. Menurut mereka, yang paling di waspadai bukan hewan buas, tapi kawat-kawat listrik yang melingkar di pagar-pagar kebun milik warga. Seringkali para pencari lebah madu hutan yang bekerja di waktu malam tersengat listrik kawat pagar kebun. “Meskipun daya setrumnya tidak begitu kuat, tapi tegangan listrik yang di aliri melalui mesin Aki itu cukup menggetarkan tulang,” keluh La Rudi, yang juga pernah tersengat listrik kawat pagar kebun.

Benar saja, prediksi waktu perjalanan pulang mereka tidak meleset jauh. Mereka tiba hampir pukul 8 malam. Di rumah La Udi mereka rehat sejenak, setelah itu kembali bekerja untuk menyaring madu. Setengah jam berlalu, La Udi menyiapkan wadah dan alat penyaring. Kemudian La Rudi mengangkat potongan-potongan sarang lebah itu lalu diperas di atas saringan. Di bawah alat penyaring telah siap sebuah wadah penampung madu. Begitulah seterusnya sampai potongan-potongan sarang lebah habis semua diperas. Setiap perasan di atas penyaring, mengumpulkan tetesan-tetesan madu kemudian jatuh ke dalam wadah penampung. Dari hasil perasan sarang lebah itu, La Udi, La Rudi, dan La Samudi berhasil mendapatkan lima botol (450 ml) madu. Untuk satu botol madu hutan, di jual dengan harga 90 sampai 100 ribu rupiah.

Di desa Lambusango, hampir setiap halaman rumah warga terdapat lapak penjualan madu. Ada tiga jenis madu yang mereka dagangkan: Pertama, Madu Manis. Jenis madu dengan rasa manis ini berwarna cokelat. Kedua, Madu Manis Campur Pahit. Jenis madu dengan rasa manis campur pahit ini cenderung berwarna cokelat kehitam-hitaman. Ketiga, Madu Pahit. Jenis madu dengan rasa pahit ini berwarna lebih hitam. Dari tiga jenis madu yang berbeda ini, masing-masing memiliki khasiat atau manfaat yang berbeda. Misalnya jenis madu dengan rasa pahit dan berwarna hitam, khasiatnya membuat daya tahan tubuh lebih baik dan berenergik.

***

MELIHAT geliat ekonomi masyarakat yang tumbuh dari usaha penjualan madu, Pemerintah Desa Lambusango ingin mengembangkan komoditi madu hutan ini menjadi salah satu produk usaha desa yang akan dikelola oleh BUMDes. Skema bisnis yang dijalankan pemerintah desa adalah dengan menggerakkan BUMDes untuk membeli madu dari warga dengan harga yang wajar, sebagaimana masyarakat desa menjualnya di lapak dagangan mereka. Dari sisi promosi dan pemasaran, pemerintah desa akan membuat khusus brand atau merek dagang dan mendaftarkan produk usaha desa (madu hutan) ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Dengan begitu, madu asli dari hutan desa Lambusango semakin dikenal dan memiliki pasar yang jelas.

Begitulah cara desa menangkap peluang-peluang usaha ekonomi. Pemerintah Desa Lambusango melakukan berbagai inovasi untuk mendukung usaha-usaha masyarakat dalam mengembangkan ekonomi rumah tangga. Desa dengan kekayaan sumber daya alamnya dikelola dan dimanfaatkan dengan tetap memegang prinsip-prinsip kearifan lokal dan kelestarian lingkungan hidup. Kita patut berbangga dengan keuletan La Udi bersama dua kawannya. 

Meskipun profesinya sebagai pemburu lebah madu di tengah belantara hutan Lambusango, mereka tetap menekuni pekerjaannya demi kelangsungan hidup keluarganya. Sungguh berat pekerjaan masyarakat mencari madu hutan, mereka bertaruh nyawa. Pekerjaan sehari-hari di dalam hutan itu dilakukan agar mereka tetap survive di tengah keterbatasan akses dan lapangan kerja. Kita patut bersyukur, masyarakat desa Lambusango tidak hanya memanfaatkan potensi sumberdaya hutan untuk kepentingan ekonomi mereka, tapi sekaligus merawat budaya serta melestarikan sumber daya alam.

0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts