Friday, October 11, 2019

Mesranya Jokowi-Prabowo di Istana: Cebong dan Kampret Bersatu Tak Bisa Dikalahkan



Masih segar dalam ingatan kita jelang Pilpres 2019 lalu, bahkan setahun sebelum genderang perang ditabuh. Pertarungan pasukan dua kubu itu sudah dimulai di ruang maya. Dinamikanya kian meningkat dari waktu ke waktu, hingga mendekati hari pemilihan. Berdarah-darahlah mereka di media sosial. 

Pasukan Cebong dan Kampret, begitu istilah populer yang melekat di dua kubu saat itu. Identitas yang melekat untuk memudahkan nitizen, di kubu mana mereka tergabung. Di ruang maya, memang ada yang bekerja secara terorganisir, mereka disebut buzzer. Ada juga yang menjadi volunteer hanya untuk meramaikan debat. Buzzer bekerja secara terstruktur dan sistematis. Menyiapkan konten dan isu apa yang mereka sebar. Sementara volunteer bekerja sesuai kehendak dalam merespon konten yang bersileweran di media sosial. Tidak sedikit dari mereka yang terpapah berita hoax. 

Hingga tiba disatu momen yang ditunggu, pada kampanye masing-masing calon Pilpres. Dari debat pasangan Capres di layar kaca sampai kampanye terbuka di lapangan terbuka. Para buzzer sibuk menyiapkan bahan. Kedua kubu menggerakkan seluruh pasukan untuk pertarungan paling bergengsi. Tidak sedikit akun-akun anonim yang bekerja, tidak sedikit pula diseret ke kantor polisi karena melanggaar undang-undang dan adab bermedsos. 

Pertarungan di media sosial pada Pilpres tahun ini adalah yang paling tragis. Pasukan di kedua kubu itu rela mempertaruhkan harga diri hanya untuk membela elit politik, yang jelas-jelas tidak ada hubungan darah atau tidak berada dalam struktur relasi kerja. Pertarungan mereka di medsos ada yang dibayar karena profesionalitas dan ada pula yang tidak dibayar. Malah duit mereka yang keluar untuk membeli paket data internet. Tapi begitulah, biar eksis dan dikenal pengamat politik. 

Hingga Pilpres berakhir dan KPU telah menetapkan salah satu pasangan calon. Kerja-kerja pasukan di media sosial perlahan surut. Sementara aktor-aktor yang berlaga langsung di arena politik tanah air melakukan sejumlah lobi kepada kubu pemenang untuk menyelematkan kepentingan politik dan gerbong. Mereka melempar sauh ke dermaga pemenang, merapatkan kapal yang tak penuh lagi dari koalisi, lalu menuruni tangga darurat demi menyelamatkan diri, tahta dan jabatan. 

Konstelasi perpolitikan kita berubah. Intensitas perdebatan di jagad maya pun relatif menurun pasca Jokowi-Maruf ditetapkan sebagai Presiden-Wakil Presiden periode 2019-2024. Ada yang merasa senang, ada juga yang kecewa. Mereka kecewa dengan sikap politik Prabowo yang akhirnya mesra dengan Jokowi.


Prabowo sepertinya memang ingin melupakan masa lalu dan cepat-cepat move-on. Sementara sebagian pendukungnya tidak ingin demikian. Prabowo sepertinya ingin bangkit dan melupakan ketika dulu menghentak-hentak meja saat kampanye, atau mengingat kembali sujud syukur yang fenomenal itu. Prabowo memang ingin membuang kenangan lama, yang pahit dan penuh onak.

Dengan sikap Prabowo yang gelagatnya akan merapat ke pemerintah, beberapa pasukan di koalisi pamit undur diri. Yang paling terlihat adalah kelompok agama. Kelompok agama yang pernah melakukan demonstrasi berjilid-jilid di Tugu Monas. Kelompok agama yang pernah nebeng di gerbong pasangan Prabowo-Sandi pada perhelatan Pilpres beberapa bulan silam. Tapi sebenarnya bukan nebeng, lebih tepatnya simbiosis, saling menguntungkan keduanya. Sebab, basis kelompok agama yang dipimpin seorang imam besar cukup signifikan untuk menaikan suara saat itu. 

Sikap Prabowo dan partainya memberi sinyal akan merapat ke pemerintah. Sementara kelompok oposisi seperti kehilangan gerbong. Mereka terpental dari rangkaian kereta yang melaju di atas rel politik. Mereka membuat kekuatan baru, dengan menunggangi berbagai isu. Mulai dari demo di depan Bawaslu RI, konflik Papua, sampai demo mahasiswa soal RUU. 

Kemesraan Prabowo dan Jokowi mulai tampak di permukaan. Di titik ini, seorang Prabowo pantas disebut seorang negarawan, yang tak pernah lelah mengikuti kontestasi Pilpres meski kalah berkali-kali. Tapi beliau mampu menunjukkan kedewasaannya dalam berpolitik di iklim demokrasi. Sementara kawannya di Yogyakarta, tenggelam dalam arus pemberitaan media. Ia tak ada kabar lagi. Juga seorang habib di tengah panasnya gurun di timur tengah sana, ia seperti bang toyib, tak pulang-pulang padahal lebaran sebentar lagi. 

Segala hal dalam politik dapat berubah. Apa yang kita bincangkan mengenai elit politik kita, belum tentu sama dengan yang mereka lakukan. Bisa saja apa yang baik-baik saat ini terjadi di ruang istana itu, di luar mereka menyimpan dendam. Sebagai masyarakat biasa, di panggung depan perpolitikan tanah air kita hanya dapat menduga-duga. 

Cebong dan Kampret Bersatulah..!


1 comment:

  1. Bingung mau ngapain? mendingan main games online bareng aku?
    cuman DP 20rbu aja kamu bisa dapatkan puluhan juta rupiah lohh?
    kamu bisa dapatkan promo promo yang lagi Hitzz
    yuu buruan segera daftarkan diri kamu
    Hanya di dewalotto
    Link alternatif :
    dewa-lotto.name
    dewa-lotto.com

    ReplyDelete

Popular Posts