Wednesday, November 20, 2019

Menembus Kabut, Menelusuri Cagar Budaya di Bumi To Riaja

Rumah Adat Tongkonan

KABUT menyeluti Makele, Kabupaten Tana Toraja pagi itu. Bus yang saya tumpangi perlahan menyusuri jalan kota yang sedikit basah. Dari balik jendela mobil saya mengintip, tapi di luar masih belum begitu jelas. Sesekali saya hanya melihat beberapa rumah adat Tongkonan, kerbau dan sawah. Mobil bergerak lambat dan terus menanjak. Dari atas bukit, terlihat sawah yang membentuk terasering. Sungguh menakjubkan, wonderful Indonesia. Rupanya orang-orang Toraja sejak lama mendiami daerah pegunungan. Ini adalah pengalaman pertama saya mengunjungi “Negeri di Atas Awan”, Toraja Sulawesi Selatan.

***

SECARA geografis, sebelah utara Kabupaten Tana Toraja berbatasan dengan Kabupaten Toraja Utara, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Mamasa, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Enrekang, dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu. Tana Toraja menyimpan keindahan alam yang eksotis serta kaya akan tradisi dan budaya. Topografi wilayahnya sebagian besar perbukitan. Beberapa tempat di wilayah perbukitan itulah menjadi tempat favorit para turis domestik maupun manca negara untuk berwisata.
   
Untuk sampai ke Tana Toraja, saya melakukan perjalan darat dari kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Akses transportasi lain bisa dari kota Makassar Sulawesi Selatan, menggunakan mobil atau pesawat. Dari kota Kendari, saya menumpangi bus yang berangkat pagi pukul tujuh. Perjalanan itu melintasi batas kota dan provinsi. Waktu perjalanan kira-kira 23 jam lamanya. Sangat melelahkan, tapi beberapa kali bus berhenti di rest area. Awak bus dan penumpang singgah sebentar untuk makan dan minum kopi. Seingat saya, ada empat kali bus itu singgah untuk beristrahat.

Saya melihat beberapa penumpang yang lunglai di kursinya. Beberapa kali terdengar suara khas penumpang yang mabuk darat, mereka saling bersahutan. Begitu juga dengan aroma di dalam bus yang menyengat, menyatu dengan bau solar, keringat, dan tumpukan barang bawaan penumpang. Kondisi jalan yang mengular dan berlubang menjadi pelengkap perjalanan hari itu.

Ada beberapa bus yang melayani rute Kendari – Toraja. Jadwal keberangkatannya Senin sampai Sabtu, kecuali Minggu adalah waktu libur mereka. Beberapa orang Toraja pemilik usaha jasa transportasi Bus telah bersepakat untuk tidak beroperasi di hari Minggu. Sebab akhir pekan Minggu itu adalah hari libur untuk melakukan ibadah di Gereja.

Tujuan perjalanan pertama saya bukan di Makele, Kabupaten Tana Toraja. Saya memilih untuk ke Rantepao dulu. Rantepao adalah ibu kota Kabupaten Toraja Utara, sebuah daerah yang mekar dari Tana Toraja dan diresmikan November 2008. Karakteristik wilayah Rantepao sedikit berbeda dengan Makale. Sebagai pendatang baru, saya kerap bertanya kepada penduduk lokal dan sesekali mengandalkan mesin pencari google untuk mendapatkan informasi tentang situs-situs cagar budaya yang selalu ramai dikunjungi oleh wisatawan.

Sejak dulu Makale dan Rantepao terkenal dengan kekayaan budaya dan tradisinya yang unik. Makanya konsep pariwisatanya coba dibuat dalam satu paket: wisata alam, wisata budaya dan wisata religi. Komoditi Kopi Toraja juga telah dikenal sebagai kopi nusantara yang go internasional. Selama ini Kopi Toraja telah menjadi komoditi unggulan yang menjadi nilai tambah dan memberi efek ekonomi di masyarakat. Di Rantepao, beberapa rumah warga dijadikan penginapan atau hotel. Para pelancong lebih banyak yang menyewa penginapan atau rumah-rumah warga ketimbang hotel. Saya memilih penginapan karena harganya terjangkau. Tidak perlu pendingin ruangan karena udara disini cukup dingin. Juga tak perlu televisi karena tidak ada waktu untuk nonton. Saya hanya menyimpan tas dan kembali saat malam menjelang tidur.

Sebelum memulai petualangan, saya membuat daftar list beberapa tempat wisata dan cagar budaya untuk dikunjungi:

1. Kete Kesu

Kawasan Cagar Budaya Kete Kesu

Kete Kesu adalah salah satu desa di kampung adat Bonaran, Kelurahan Tikunna Malenong, Kecamatan Sanggali, Kabupaten Toraja Utara. Kete Kesu bukan sekedar objek wisata biasa, tapi merupakan kawasan cagar budaya dan menjadi makam para bangsawan, leluhur masyarakat suku Toraja. Rumah-rumah adat Tongkonan berdiri rapi di dalam kompleks. Di Kete Kesu, terdapat sisa-sisa penginggalan bersejarah yang berumur ratusan tahun.

Tidak jauh dari kawasan cagar budaya Kete Kesu, warga setempat membuka lapak jualan. Mereka menjual berbagai aksesori produk kerajinan seperti: Tau-Tau, atau boneka kayu. Dalam bahasa Toraja, Tau adalah orang. Jadi Tau-Tau kurang lebih adalah orang-orangan. Dalam upacara pemakaman, Tau-Tau menjadi simbol bagi  seseorang yang telah meninggal agar tidak dilupakan jasa-jasanya semasa hidup. Ukiran orang-orangan itu menjadi salah satu unsur wajib dalam upacara pemakaman. Selain boneka kayu, kain tenun Toraja menjadi buruan para wisatawan.

Dalam masyarakat adat Toraja, kain tenun menjadi wajib hukumnya untuk dimiliki. Corak kain tenun Toraja ini unik, karena sangat identik dengan ukiran-ukiran rumah adat Tongkonan. Souvenir lain yang menarik adalah miniatur rumah adat Tongkonan. Sangat mirip dengan bangunan aslinya. Masih ada beberapa aksesori-aksesori lain yang dijajakan di Kete Kesu. Tak jauh dari bangunan rumah adat di kawasan Kete Kesu, terdapat tebing pemakaman. Kita bisa melihat kuburan gantung dan beberapa peti jenazah yang menyimpan tulang-belulang orang-orang Toraja. 

Dari banyak lapak aksesori, saya memilih singgah di salah satu kedai kopi. Di tempat itu, saya melihat bagaimana kopi diperlakukan. Pemilik kedai menyajikan beberapa jenis kopi Toraja. Ada jenis Robusta dan ada Arabica. Saya lalu diberi dua rasa, rasa fruity dan after taste, atau dengan rasa kopi yang tidak terlalu pahit. Aromanya harum dan memiliki kekhasan tersendiri. Kopi Toraja merupakan salah satu varian kopi dengan kualitas terbaik yang dimiliki Indonesia. Karakteristik kopi Toraja sangat khas. Menurut masyarakat tani kopi setempat, aroma dan kenikmatan kopi Toraja berbeda dari kopi lain, karena kopi Toraja di tanam berdampingan dengan tanaman rempah-rempah.

Masih di Kete Kesu. Tidak jauh dari kedai kopi, saya melihat kerumunan wisatawan asing yang sedang menyaksikan seekor kerbau bule, atau masyarakat adat Toraja menamainya kerbau Saleko. Dalam upacara adat Rambu Solok (pemakaman), kerbau menjadi elemen penting dimana kerbau harus dikorbankan untuk menemani arwah seseorang yang meninggal menuju Puya (surga). Harga Kerbau di Toraja bisa ratusan juta, bahkan bisa sampai milyaran. Tergantung dari kelangkaan atau keunikan yang dimiliki Tedong (kerbau). Beberapa Kerbau memiliki jenis dan nama yang berbeda, itu bisa dilihat dari tanduknya. Misalnya Kerbau Balian, memiliki tanduk sangat lebar. Kerbau Sokko, memiliki satu tanduk ke atas dan satu tanduk ke bawah. Kerbau Taken Langi, Kerbau yang sama sekali tidak memiliki tanduk. Di kawasan budaya Kete Kesu, seekor Kerbau dipamerkan untuk menarik perhatian pengunjung. Saya lalu bertanya kepada pemilik kerbau: “Berapa harga Kerbau ini?” bapak itu menjawab: “Harganya bisa hampir setara satu buah mobil Toyota Alphard.” Wow, amazing!

2. Bukit Singki Rantepao

Bangunan Tugu Salib di Bukit Singki

Tugu salib berdiri kokoh di bukit Singki, Rantepao Kabupaten Toraja Utara. Salib itu menjadi simbol keberadaan masyarakat Toraja yang mayoritas beragama Kristen. Di atas Bukit Singki, pengunjung disuguhkan pemandangan Kota Rantepao. Waktu malam adalah yang paling romantis berada di atas bukit. Untuk sampai ke atas memang tidak mudah. Jalannya setapak, meliuk dan juga menanjak. Perjalanan cukup melelahkan dan menguras banyak energi. Tapi semua terbayar ketika kita sudah mencapai puncak. Tampak bukit-bukit menjadi latar sawah yang terbentang hijau turut menambah keindahan kota Rantepao. Lama saya berada di puncak bukit Singki. Udara di siang hari yang tidak begitu panas membuat saya betah berlama di tempat itu, sampai sore, sampai malam dengan keteduhan dan cahaya lampu kerlap-kerlip.

3. Goa Alam Londa

Jenazah di Dinding Tebing Goa Alam Londa

Cagar budaya Goa Alam Londa adalah sebuah tempat pemakaman. Secara administratif, Goa Londa masuk dalam wilayah Tana Toraja. Goa Londa merupakan wisata alam yang terdapat banyak makam atau peti-peti jenazah yang disimpan dan menggantung di tepi tebing goa. Dari penuturan masyarakat, jenazah-jenazah itu disimpan terlebih dahulu ke dalam goa sebagai kasih sayang mereka kepada orang yang telah meninggal. Mereka menyimpannya dulu untuk menunggu kedatangan keluarga yang merantau kembali, sembari mengumpulkan biaya pelaksanaan Rambu Solok, sebuah tradisi atau upacara adat untuk mengantarkan jenazah ke alam Puya.

Untuk sampai ke wisata makam Goa Londa, saya mengendarai sepeda motor sekitar 30 menit dari penginapan di Rantepao tempat saya menginap. Di Goa Londa, saya merasakan aura mistik di sekitar objek wisata. Banyak pengunjung yang memberanikan masuk ke dalam goa. Mereka menyewa pemandu yang membawa lentera karena di dalam sangat gelap. Di dinding tebing goa, jenazah disimpan di antara celah-celah dinding batu. Ada jenazah yang masih utuh, ada yang sudah menjadi tulang-belulang. Di sekitar kawasan Goa Londa, masyarakat menjual beragam aksesori khas Toraja.

4. Buntu Burake

Patung Yesus di Buntu Burake

Buntu Burake terletak di Kabupaten Tana Toraja. Cagar budaya satu ini telah menarik perhatian wisatawan yang ingin menyaksikan panorama alam dari atas bukit. Di Buntu Burake, terdapat patung Yesus terbesar di dunia. Konon patung itu mengalahkan patung Yesus di Rio de Jeneiro, Brazil. Patung Yesus di Buntu Burake memiliki ketinggian 45 meter dan letaknya berada di atas bukit dengan ketinggian 1.700 mdpl. Sementara patung Yesus di Brazil memiliki ketinggian 38 meter di puncak gunung Corcovado.

Patung Yesus di Buntu Burake diberi nama Patung Yesus Memberkati. Patung Yesus ini juga memiliki kemiripan dengan patung-patung Yesus di beberapa daerah lain di Indonesia. Seperti Monumen Yesus Raja dengan ketinggian 25 meter, ada di Maluku. Kemudian patung Yesus Memberkati, yang memiliki tinggi 30 meter berada di Manado Sulawesi Utara.

5. Puncak Lolai

Puncak Lolai, Negeri di Atas Awan Toraja

Puncak Lolai terdapat di desa Lolai, Kecamatan Kepala Pitu, Kabupaten Toraja Utara. Dari banyak lokasi wisata di Toraja Utara, puncak Lolai yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan. Wisata alam puncak ini dikenal dengan “Negeri di Atas Awan”. Ketinggiannya berkisar 1.300 mdpl. Saat itu, saya menyimpan puncak Lolai dalam list terakhir petualangan saya di Toraja. Makanya, persiapannya harus benar-benar matang. Khususnya persiapan awal sebelum berangkat. Saya harus mendapatkan informasi mengenai kondisi cuaca, informasi soal rute dan kondisi jalan, persiapan bekal, informasi tempat nginap, dan informasi mengenai apa saja faktor-faktor lain yang bisa saja mengganggu waktu santai kita ketika berada puncak.

Saya sendiri telah mempersiapkan semua. Udara di luar terasa begitu dingin. Saya melapisi pakaian dengan jaket tebal. Tidak jauh dari penginapan, saya menemukan jasa rental kendaraan lalu menyewa motor untuk melakukan perjalanan ke puncak Lolai. Saya berangkat sore menjelang malam. Dari Rantepao, jarak puncak Lolai kira-kira 20 km. Saya memacu motor dengan sedikit lebih cepat agar tiba sebelum tengah malam. Saya cukup khawatir karena ini kali pertama ke puncak Lolai. Saya mengaktifkan google map untuk memandu perjalanan ke sana. Tapi sesekali saya berhenti untuk bertanya kepada warga desa karena terkadang aplikasi map sulit diandalkan. Jalan menuju puncak Lolai cukup ekstrim. Jalannya sempit, berliku dan menanjak. Di beberapa sisi jalan terdapat jurang yang terjal.

Di sepanjang desa yang saya lalui, mata saya disuguhi pemandangan hijau dari hamparan sawah dan perbukitan. Rumah-rumah adat Tongkonan berbaris rapi di halaman rumah warga, sebelum akhirnya malam dan semua menjadi gelap. Tidak jauh lagi saya akan sampai di spot wisata Negeri di Atas Awan, puncak Lolai. Hingga tibalah saya di atas puncak, kemudian mencari tempat untuk mendirikan tenda camp sambil menikmati hangatnya secangkir kopi Toraja.

Di puncak Lolai, ada banyak tempat atau rumah-rumah warga yang disewakan (homestay). Warga desa menjadikan lahan sebagai tempat rekreasi, membuat lapak jualan dan taman-taman di sekililing rumah mereka. Malam itu saya menyewa salah satu tempat di puncak Lolai. Harganya cukup terjangkau. Saya membayar biaya masuk 10 ribu, menyewa tenda 50 ribu dan memesan segelas kopi Toraja 20 ribu. Dari puncak Lolai, malam itu saya memandang gemerlap kota Rantepao. Saya melewati malam panjang dengan keheningan dan penuh ketenangan.

Keramaian di puncak Lolai baru terjadi pada subuh menjelang pagi. Orang-orang berdatangan untuk memburu gundukan awan dan matahari terbit (sunrise). Panorama alam di puncak Lolai membuat decak kagum setiap pengunjung. Kabut tebal nan lembut membasuh alam di pagi itu. Sinar mentari mewarnai awan putih. Atmosfer pagi di puncak Lolai begitu magis. Suara kicauan burung terdengar sangat merdu. Setelah awan pergi, hamparan sawah dan terasering kembali memanjakan pasang mata. Begitulah suasana pagi yang syahdu di puncak Lolai. Perjuangan dan medan berat untuk sampai ke puncak itu akan terbayar dengan keindahan alamnya yang tak pernah terlupakan.

***

BERKUNJUNG ke Toraja adalah paket lengkap untuk berwisata (Video on YouTube). Toraja tidak hanya menyuguhkan keindahan alam, tapi juga memiliki kekuatan budaya dan religiusitas: suatu keadaan, pemahaman, dan ketaatan masyarakat Toraja dalam meyakini kepercayaan dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Saya mendapat banyak pelajaran dari nilai-nilai kearifan lokal, kehidupan masyarakat adat Toraja. Saya menemukan patahan surga yang jatuh di bumi to riaja.

Kawasan cagar budaya di Toraja masih terpelihara dengan baik. Cagar budaya itu telah menjadi ikon yang mampu menggerakkan ekonomi masyarakat di sana. Benda-benda peninggalan leluhur menjadi saksi atas keberadaan dan perkembangan masyarakat Toraja di masa lampau. Mereka memiliki hubungan erat dengan semesta serta bagaimana menjalani kehidupan saat itu. Begitu juga dengan bangunan rumah adat. Rumah adat Tongkonan memiliki makna dan filosofis yang menjelaskan bahwa bangunan itu tidak hanya menjadi tempat penyimpanan benda-benda, tetapi sekaligus dibuat sebagai ruang sosial serta menjadi media ritual dalam setiap acara upacara-upacara adat.

Di tengah pesatnya pembangunan dan modernisasi seperti saat ini, keberadaan situs cagar budaya mampu bertahan dan memiliki nilai sejarah yang kuat. Kekuatannya tidak terlepas dari peran institusi pemerintah terkait yang memiliki peran dan tanggung jawab untuk melestarikan kekayaan budaya nusantara. Inilah yang menjadi ciri khas dan pembeda Indonesia dari negara-negara lain, di mana bangsa yang majemuk ini memiliki ribuan suku, ratusan bahasa lokal, dan tersebar di puluhan ribu pulau dapat mampu menjaga keharmonisan dan ikatan persaudaraan dalam satu bingkai, yakni Bhineka Tunggal Ika, Pancasila.

Sebagai generasi muda, saya memiliki optimisme yang tinggi dalam melihat kekuatan budaya yang sejak lama menjaga kerukunan antar umat di bangsa ini. Nilai-nilai kearifan lokal menjadi satu sistem dalam masyarakat yang dipercaya dapat merawat semangat kolektif dalam mempertahankan kekayaan budaya yang kita miliki. Tradisi dan norma-norma adat yang dijalankan oleh masyarakat menjadi alternatif dalam penyelesaian setiap konflik.

Pelestarian cagar budaya sebagaimana yang ada di Toraja patut dicontoh untuk semua daerah di Indonesia. Masyarakat suku Toraja yang mendiami perbukitan di Sulawesi Selatan itu mampu mempertahankan tradisi dan sistem kepercayaan lokal meskipun gelombang teknologi dan informasi begitu cepat merubah pola prilaku masyarakat dewasa ini. Jika cagar budaya di suatu daerah tidak mampu dikelola dengan baik, maka masyarakat akan kehilangan identitasnya.

Keberadaan cagar budaya adalah warisan leluhur yang memberi pesan kepada manusia zaman kini, bahwa telah terjadi suatu peristiwa penting di zaman lampau yang mesti kita hormati bersama. Pelestarian cagar budaya memiliki satu sistem keterkaitan dengan alam dan lingkungan. Ketika kita melestarikan cagar budaya, berarti kita turut berkontribusi terhadap keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan kita.

 ***

YANG memiliki hobi traveling, jangan sia-siakan momen petualanganmu di setiap cagar budaya yang anda kunjungi dengan membagikan kisahnya pada kompetisi Blog Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau MusnahDengan turut serta dalam lomba, anda akan berkontribusi untuk melestarikan Cagar Budaya Indonesia



0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts