Rumah Adat Tongkonan |
KABUT menyeluti Makele, Kabupaten Tana Toraja pagi itu. Bus yang saya
tumpangi perlahan menyusuri jalan kota yang sedikit basah. Dari balik jendela
mobil saya mengintip, tapi di luar masih belum begitu jelas. Sesekali saya
hanya melihat beberapa rumah adat Tongkonan, kerbau dan sawah. Mobil bergerak
lambat dan terus menanjak. Dari atas bukit, terlihat sawah yang membentuk terasering. Sungguh menakjubkan, wonderful Indonesia. Rupanya orang-orang Toraja sejak lama
mendiami daerah pegunungan. Ini adalah pengalaman pertama saya mengunjungi
“Negeri di Atas Awan”, Toraja Sulawesi Selatan.
***
SECARA geografis, sebelah utara Kabupaten Tana Toraja berbatasan dengan
Kabupaten Toraja Utara, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Mamasa,
sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Enrekang, dan sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Luwu. Tana Toraja menyimpan keindahan alam yang
eksotis serta kaya akan tradisi dan budaya. Topografi wilayahnya sebagian besar
perbukitan. Beberapa tempat di wilayah perbukitan itulah menjadi tempat favorit
para turis domestik maupun manca negara untuk berwisata.
Untuk sampai ke Tana Toraja, saya melakukan perjalan darat dari kota
Kendari, Sulawesi Tenggara. Akses transportasi lain bisa dari kota Makassar
Sulawesi Selatan, menggunakan mobil atau pesawat. Dari kota Kendari, saya
menumpangi bus yang berangkat pagi pukul tujuh. Perjalanan itu melintasi batas
kota dan provinsi. Waktu perjalanan kira-kira 23 jam lamanya. Sangat melelahkan,
tapi beberapa kali bus berhenti di rest area. Awak bus dan
penumpang singgah sebentar untuk makan dan minum kopi. Seingat saya, ada empat
kali bus itu singgah untuk beristrahat.
Saya melihat beberapa penumpang yang lunglai di kursinya. Beberapa kali
terdengar suara khas penumpang yang mabuk darat, mereka saling bersahutan.
Begitu juga dengan aroma di dalam bus yang menyengat, menyatu dengan bau solar,
keringat, dan tumpukan barang bawaan penumpang. Kondisi jalan yang mengular dan
berlubang menjadi pelengkap perjalanan hari itu.
Ada beberapa bus yang melayani rute Kendari – Toraja. Jadwal
keberangkatannya Senin sampai Sabtu, kecuali Minggu adalah waktu libur mereka. Beberapa
orang Toraja pemilik usaha jasa transportasi Bus telah bersepakat untuk tidak
beroperasi di hari Minggu. Sebab akhir pekan Minggu itu adalah hari libur untuk
melakukan ibadah di Gereja.
Tujuan perjalanan pertama saya bukan di Makele, Kabupaten Tana Toraja.
Saya memilih untuk ke Rantepao dulu. Rantepao adalah ibu kota Kabupaten Toraja
Utara, sebuah daerah yang mekar dari Tana Toraja dan diresmikan November 2008.
Karakteristik wilayah Rantepao sedikit berbeda dengan Makale. Sebagai pendatang
baru, saya kerap bertanya kepada penduduk lokal dan sesekali mengandalkan mesin
pencari google untuk mendapatkan informasi tentang situs-situs
cagar budaya yang selalu ramai dikunjungi oleh wisatawan.
Sejak dulu Makale dan Rantepao terkenal dengan kekayaan budaya dan
tradisinya yang unik. Makanya konsep pariwisatanya coba dibuat dalam satu paket:
wisata alam, wisata budaya dan wisata religi. Komoditi Kopi Toraja juga telah
dikenal sebagai kopi nusantara yang go internasional. Selama ini Kopi
Toraja telah menjadi komoditi unggulan yang menjadi nilai tambah dan memberi
efek ekonomi di masyarakat. Di Rantepao, beberapa rumah warga dijadikan
penginapan atau hotel. Para pelancong lebih banyak yang menyewa penginapan atau
rumah-rumah warga ketimbang hotel. Saya memilih penginapan karena harganya
terjangkau. Tidak perlu pendingin ruangan karena udara disini cukup dingin.
Juga tak perlu televisi karena tidak ada waktu untuk nonton. Saya hanya
menyimpan tas dan kembali saat malam menjelang tidur.
Sebelum memulai petualangan, saya membuat daftar list beberapa tempat wisata dan cagar budaya untuk dikunjungi:
1. Kete Kesu
Kawasan Cagar Budaya Kete Kesu |
Kete Kesu adalah salah satu desa di kampung adat Bonaran,
Kelurahan Tikunna Malenong, Kecamatan Sanggali, Kabupaten Toraja Utara. Kete
Kesu bukan sekedar objek wisata biasa, tapi merupakan kawasan cagar budaya dan menjadi makam para
bangsawan, leluhur masyarakat suku Toraja. Rumah-rumah adat Tongkonan berdiri
rapi di dalam kompleks. Di Kete Kesu, terdapat sisa-sisa penginggalan
bersejarah yang berumur ratusan tahun.
Tidak jauh dari kawasan cagar
budaya Kete Kesu, warga setempat membuka lapak jualan. Mereka menjual berbagai
aksesori produk kerajinan seperti: Tau-Tau, atau boneka kayu.
Dalam bahasa Toraja, Tau adalah orang. Jadi Tau-Tau kurang
lebih adalah orang-orangan. Dalam upacara pemakaman, Tau-Tau menjadi
simbol bagi seseorang yang telah meninggal agar tidak dilupakan
jasa-jasanya semasa hidup. Ukiran orang-orangan itu menjadi salah satu unsur
wajib dalam upacara pemakaman. Selain boneka kayu, kain tenun Toraja menjadi
buruan para wisatawan.
Dalam masyarakat adat
Toraja, kain tenun menjadi wajib hukumnya untuk dimiliki. Corak kain tenun
Toraja ini unik, karena sangat identik dengan ukiran-ukiran rumah adat
Tongkonan. Souvenir lain yang menarik adalah miniatur rumah adat Tongkonan.
Sangat mirip dengan bangunan aslinya. Masih ada beberapa aksesori-aksesori lain
yang dijajakan di Kete Kesu. Tak jauh dari bangunan rumah adat di kawasan Kete
Kesu, terdapat tebing pemakaman. Kita bisa melihat kuburan gantung dan beberapa
peti jenazah yang menyimpan tulang-belulang orang-orang Toraja.
Dari banyak lapak aksesori,
saya memilih singgah di salah satu kedai kopi. Di tempat itu, saya melihat
bagaimana kopi diperlakukan. Pemilik kedai menyajikan beberapa jenis kopi
Toraja. Ada jenis Robusta dan ada Arabica. Saya lalu diberi dua rasa,
rasa fruity dan after taste, atau dengan rasa
kopi yang tidak terlalu pahit. Aromanya harum dan memiliki kekhasan tersendiri.
Kopi Toraja merupakan salah satu varian kopi dengan kualitas terbaik yang
dimiliki Indonesia. Karakteristik kopi Toraja sangat khas. Menurut masyarakat
tani kopi setempat, aroma dan kenikmatan kopi Toraja berbeda dari kopi lain,
karena kopi Toraja di tanam berdampingan dengan tanaman rempah-rempah.
Masih di Kete Kesu. Tidak
jauh dari kedai kopi, saya melihat kerumunan wisatawan asing yang sedang
menyaksikan seekor kerbau bule, atau masyarakat adat Toraja menamainya kerbau
Saleko. Dalam upacara adat Rambu Solok (pemakaman), kerbau menjadi elemen penting
dimana kerbau harus dikorbankan untuk menemani arwah seseorang yang meninggal
menuju Puya (surga). Harga Kerbau di Toraja bisa ratusan juta,
bahkan bisa sampai milyaran. Tergantung dari kelangkaan atau keunikan yang
dimiliki Tedong (kerbau). Beberapa Kerbau memiliki jenis dan
nama yang berbeda, itu bisa dilihat dari tanduknya. Misalnya Kerbau Balian,
memiliki tanduk sangat lebar. Kerbau Sokko, memiliki satu tanduk ke atas dan
satu tanduk ke bawah. Kerbau Taken Langi, Kerbau yang sama sekali tidak memiliki
tanduk. Di kawasan budaya Kete Kesu, seekor Kerbau dipamerkan untuk menarik
perhatian pengunjung. Saya lalu bertanya kepada pemilik kerbau: “Berapa
harga Kerbau ini?” bapak itu menjawab: “Harganya bisa hampir
setara satu buah mobil Toyota Alphard.” Wow, amazing!
2. Bukit Singki Rantepao
Bangunan Tugu Salib di Bukit Singki |
Tugu salib berdiri kokoh di
bukit Singki, Rantepao Kabupaten Toraja Utara. Salib itu menjadi simbol
keberadaan masyarakat Toraja yang mayoritas beragama Kristen. Di atas Bukit
Singki, pengunjung disuguhkan pemandangan Kota Rantepao. Waktu malam adalah
yang paling romantis berada di atas bukit. Untuk sampai ke atas memang tidak
mudah. Jalannya setapak, meliuk dan juga menanjak. Perjalanan cukup melelahkan
dan menguras banyak energi. Tapi semua terbayar ketika kita sudah mencapai
puncak. Tampak bukit-bukit menjadi latar sawah yang terbentang hijau turut
menambah keindahan kota Rantepao. Lama saya berada di puncak bukit Singki.
Udara di siang hari yang tidak begitu panas membuat saya betah berlama di
tempat itu, sampai sore, sampai malam dengan keteduhan dan cahaya lampu
kerlap-kerlip.
3. Goa Alam Londa
Jenazah di Dinding Tebing Goa Alam Londa |
Cagar budaya Goa Alam Londa adalah
sebuah tempat pemakaman. Secara administratif, Goa Londa masuk dalam wilayah
Tana Toraja. Goa Londa merupakan wisata alam yang terdapat banyak makam atau
peti-peti jenazah yang disimpan dan menggantung di tepi tebing goa. Dari
penuturan masyarakat, jenazah-jenazah itu disimpan terlebih dahulu ke dalam goa
sebagai kasih sayang mereka kepada orang yang telah meninggal. Mereka
menyimpannya dulu untuk menunggu kedatangan keluarga yang merantau kembali,
sembari mengumpulkan biaya pelaksanaan Rambu Solok, sebuah tradisi atau upacara
adat untuk mengantarkan jenazah ke alam Puya.
Untuk sampai ke wisata
makam Goa Londa, saya mengendarai sepeda motor sekitar 30 menit dari penginapan
di Rantepao tempat saya menginap. Di Goa Londa, saya merasakan aura mistik di
sekitar objek wisata. Banyak pengunjung yang memberanikan masuk ke dalam goa.
Mereka menyewa pemandu yang membawa lentera karena di dalam sangat gelap. Di
dinding tebing goa, jenazah disimpan di antara celah-celah dinding batu. Ada
jenazah yang masih utuh, ada yang sudah menjadi tulang-belulang. Di sekitar
kawasan Goa Londa, masyarakat menjual beragam aksesori khas Toraja.
4. Buntu Burake
Patung Yesus di Buntu Burake |
Buntu Burake terletak di
Kabupaten Tana Toraja. Cagar budaya satu ini telah menarik perhatian wisatawan
yang ingin menyaksikan panorama alam dari atas bukit. Di Buntu Burake, terdapat
patung Yesus terbesar di dunia. Konon patung itu mengalahkan patung Yesus di
Rio de Jeneiro, Brazil. Patung Yesus di Buntu Burake memiliki ketinggian 45
meter dan letaknya berada di atas bukit dengan ketinggian 1.700 mdpl. Sementara
patung Yesus di Brazil memiliki ketinggian 38 meter di puncak gunung Corcovado.
Patung Yesus di Buntu
Burake diberi nama Patung Yesus Memberkati. Patung Yesus ini juga memiliki
kemiripan dengan patung-patung Yesus di beberapa daerah lain di Indonesia.
Seperti Monumen Yesus Raja dengan ketinggian 25 meter, ada di Maluku. Kemudian
patung Yesus Memberkati, yang memiliki tinggi 30 meter berada di Manado
Sulawesi Utara.
5. Puncak Lolai
Puncak Lolai, Negeri di Atas Awan Toraja |
Puncak Lolai terdapat di
desa Lolai, Kecamatan Kepala Pitu, Kabupaten Toraja Utara. Dari banyak lokasi
wisata di Toraja Utara, puncak Lolai yang paling banyak dikunjungi oleh
wisatawan. Wisata alam puncak ini dikenal dengan “Negeri di Atas Awan”.
Ketinggiannya berkisar 1.300 mdpl. Saat itu, saya menyimpan puncak Lolai dalam
list terakhir petualangan saya di Toraja. Makanya, persiapannya harus
benar-benar matang. Khususnya persiapan awal sebelum berangkat. Saya harus
mendapatkan informasi mengenai kondisi cuaca, informasi soal rute dan kondisi
jalan, persiapan bekal, informasi tempat nginap, dan informasi mengenai apa
saja faktor-faktor lain yang bisa saja mengganggu waktu santai kita ketika
berada puncak.
Saya sendiri telah
mempersiapkan semua. Udara di luar terasa begitu dingin. Saya melapisi pakaian
dengan jaket tebal. Tidak jauh dari penginapan, saya menemukan jasa rental
kendaraan lalu menyewa motor untuk melakukan perjalanan ke puncak Lolai. Saya
berangkat sore menjelang malam. Dari Rantepao, jarak puncak Lolai kira-kira 20
km. Saya memacu motor dengan sedikit lebih cepat agar tiba sebelum tengah
malam. Saya cukup khawatir karena ini kali pertama ke puncak Lolai. Saya
mengaktifkan google map untuk memandu perjalanan ke sana. Tapi
sesekali saya berhenti untuk bertanya kepada warga desa karena terkadang
aplikasi map sulit diandalkan. Jalan menuju puncak Lolai cukup
ekstrim. Jalannya sempit, berliku dan menanjak. Di beberapa sisi jalan terdapat
jurang yang terjal.
Di sepanjang desa yang saya
lalui, mata saya disuguhi pemandangan hijau dari hamparan sawah dan perbukitan.
Rumah-rumah adat Tongkonan berbaris rapi di halaman rumah warga, sebelum
akhirnya malam dan semua menjadi gelap. Tidak jauh lagi saya akan sampai
di spot wisata Negeri di Atas Awan, puncak Lolai. Hingga
tibalah saya di atas puncak, kemudian mencari tempat untuk mendirikan
tenda camp sambil menikmati hangatnya secangkir kopi Toraja.
Di puncak Lolai, ada banyak
tempat atau rumah-rumah warga yang disewakan (homestay). Warga desa
menjadikan lahan sebagai tempat rekreasi, membuat lapak jualan dan taman-taman
di sekililing rumah mereka. Malam itu saya menyewa salah satu tempat di puncak
Lolai. Harganya cukup terjangkau. Saya membayar biaya masuk 10 ribu, menyewa
tenda 50 ribu dan memesan segelas kopi Toraja 20 ribu. Dari puncak Lolai, malam
itu saya memandang gemerlap kota Rantepao. Saya melewati malam panjang dengan
keheningan dan penuh ketenangan.
Keramaian di puncak Lolai
baru terjadi pada subuh menjelang pagi. Orang-orang berdatangan untuk memburu
gundukan awan dan matahari terbit (sunrise). Panorama alam di
puncak Lolai membuat decak kagum setiap pengunjung. Kabut tebal nan lembut
membasuh alam di pagi itu. Sinar mentari mewarnai awan putih. Atmosfer pagi di
puncak Lolai begitu magis. Suara kicauan burung terdengar sangat merdu. Setelah
awan pergi, hamparan sawah dan terasering kembali memanjakan pasang mata.
Begitulah suasana pagi yang syahdu di puncak Lolai. Perjuangan dan medan berat
untuk sampai ke puncak itu akan terbayar dengan keindahan alamnya yang tak
pernah terlupakan.
***
BERKUNJUNG ke Toraja adalah
paket lengkap untuk berwisata (Video on YouTube). Toraja tidak hanya menyuguhkan keindahan alam,
tapi juga memiliki kekuatan budaya dan religiusitas: suatu keadaan, pemahaman,
dan ketaatan masyarakat Toraja dalam meyakini kepercayaan dan diwujudkan dalam
kehidupan sehari-hari mereka. Saya mendapat banyak pelajaran dari nilai-nilai
kearifan lokal, kehidupan masyarakat adat Toraja. Saya menemukan patahan surga
yang jatuh di bumi to riaja.
Kawasan cagar budaya di Toraja
masih terpelihara dengan baik. Cagar budaya itu telah menjadi ikon yang mampu
menggerakkan ekonomi masyarakat di sana. Benda-benda peninggalan leluhur
menjadi saksi atas keberadaan dan perkembangan masyarakat Toraja di masa
lampau. Mereka memiliki hubungan erat dengan semesta serta bagaimana menjalani
kehidupan saat itu. Begitu juga dengan bangunan rumah adat. Rumah adat
Tongkonan memiliki makna dan filosofis yang menjelaskan bahwa bangunan itu
tidak hanya menjadi tempat penyimpanan benda-benda, tetapi sekaligus dibuat sebagai
ruang sosial serta menjadi media ritual dalam setiap acara upacara-upacara
adat.
Di tengah pesatnya pembangunan
dan modernisasi seperti saat ini, keberadaan situs cagar budaya mampu bertahan
dan memiliki nilai sejarah yang kuat. Kekuatannya tidak terlepas dari peran
institusi pemerintah terkait yang memiliki peran dan tanggung jawab untuk melestarikan
kekayaan budaya nusantara. Inilah yang menjadi ciri khas dan pembeda Indonesia
dari negara-negara lain, di mana bangsa yang majemuk ini memiliki ribuan suku,
ratusan bahasa lokal, dan tersebar di puluhan ribu pulau dapat mampu menjaga keharmonisan
dan ikatan persaudaraan dalam satu bingkai, yakni Bhineka Tunggal Ika,
Pancasila.
Sebagai generasi muda, saya
memiliki optimisme yang tinggi dalam melihat kekuatan budaya yang sejak lama menjaga
kerukunan antar umat di bangsa ini. Nilai-nilai kearifan lokal menjadi satu sistem
dalam masyarakat yang dipercaya dapat merawat semangat kolektif dalam
mempertahankan kekayaan budaya yang kita miliki. Tradisi dan norma-norma adat yang
dijalankan oleh masyarakat menjadi alternatif dalam penyelesaian setiap konflik.
Pelestarian cagar budaya
sebagaimana yang ada di Toraja patut dicontoh untuk semua daerah di Indonesia. Masyarakat
suku Toraja yang mendiami perbukitan di Sulawesi Selatan itu mampu
mempertahankan tradisi dan sistem kepercayaan lokal meskipun gelombang teknologi
dan informasi begitu cepat merubah pola prilaku masyarakat dewasa ini. Jika cagar
budaya di suatu daerah tidak mampu dikelola dengan baik, maka masyarakat akan
kehilangan identitasnya.
Keberadaan cagar budaya adalah
warisan leluhur yang memberi pesan kepada manusia zaman kini, bahwa telah
terjadi suatu peristiwa penting di zaman lampau yang mesti kita hormati bersama.
Pelestarian cagar budaya memiliki satu sistem keterkaitan dengan alam dan lingkungan.
Ketika kita melestarikan cagar budaya, berarti kita turut berkontribusi terhadap
keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan kita.
YANG memiliki hobi traveling,
jangan sia-siakan momen petualanganmu di setiap cagar budaya yang anda
kunjungi dengan membagikan kisahnya pada kompetisi Blog Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah. Dengan turut serta dalam lomba, anda akan
berkontribusi untuk melestarikan Cagar Budaya Indonesia.
0 komentar:
Post a Comment