![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh34JlzKGQ0pCJciDr4264JrhlOkU5sHMZCV54ROWfafEK8Gvl5Ete3rlgd4BR1gNqhYDWFG0xyWZ0aeB2-adjtrdtNhbYNnt7wDmNnEuTFvcNhl-KdbwLDb5LGDWVdgrKcVOBNnQKVH1s/s640/IMG_20191108_141947.jpg) |
kebun Cengkeh dalam kawasan Perhutanan Sosial |
“Kami tidak setuju tambang itu masuk di
kawasan hutan. Sudahlah pak, jangan bawa masalah di kampung kami!” kata seorang
warga dari sudut ruang kantor desa, yang kemudian disusul suara-suara keras dari
warga lain.
Aula Kantor
Desa Kumbewaha hari itu sudah dipadati warga. Masyarakat datang memenuhi
undangan kepala desa, Muharuddin. Kepala desa berinisiatif mengundang
masyarakat setelah mendengar kabar kalau pihak perusahaan tambang akan datang
bertemu masyarakat desa untuk membicarakan kembali rencana-rencana mereka
melakukan penambangan di dalam kawasan hutan. Diskusi berlangsung alot,
masyarakat juga geram melihat seorang perwakilan perusahaan yang datang menemui
mereka.
Situasi
desa Kumbewaha hari itu tampak berbeda dari biasanya. Masyarakat petani
memutuskan tidak ke kebun, begitu juga dengan nelayan. Mereka tidak melaut demi
membangun solidaritas, bersama-sama membangun gerakan, menolak keberadaan
perusahaan tambang yang akan mengeruk kekayaan sumber daya alam di desa mereka.
Solidaritas
masyarakat desa Kumbewaha yang menolak tambang bukan pertama kali ini
dilakukan. Sebelumnya, masyarakat desa juga pernah melakukan gerakan serupa, namun
kali ini gerakan mereka lebih terbuka dengan melakukan demonstrasi ke
pemerintah daerah. Meskipun, ada beberapa warga yang pro dengan masuknya
perusahaan tambang. Mereka mendukung keberadaan tambang yang konon akan memberi
peluang kerja masyarakat lokal serta berharap adanya bantuan-bantuan perusahaan
yang diberikan kepada desa.
Siasat
Perusahaan Tambang Hadir di Desa
Perusahaan
tambang punya banyak cara untuk mendekatkan diri mereka dengan masyarakat lokal agar keberadaan perusahaan bisa diterima. Pihak perusahaan sadar, bahwa setiap kegiatan
penambangan kerap mendapatkan penolakan dari masyarakat. Makanya pihak
perusahaan selalu membuat berbagai skema program. Ada yang berupa bantuan uang untuk kelompok masyarakat, ada bantuan pembangunan infrastruktur desa.
Dari
banyak perusahaan tambang yang beroperasi di Pulau Buton, salah satunya adalah
PT Malindo Bara Murni. Sejak tahun 2009 PT Malindo Bara Murni sudah mengantongi
Izin Usaha Pertambangan (IUP), yang ditanda tangani oleh Bupati Buton saat itu,
Syafei Kahar. Dengan mendapat IUP, PT Malindo Bara Murni menguasai 695 hektar
areal lahan di desa Kumbewaha, Kecamatan Siontapina, Kabupaten Buton sampai
dengan tahun 2029, atau izin tersebut berlaku selama 20 tahun lamanya.
Muharuddin
belum lama dilantik sebagai kepala desa Kumbewaha. Ia dilantik 23 Desember 2018
lalu dan baru aktif pada Januari 2019. Tak banyak yang ditahu kepala desa saat
ini mengenai kegiatan pertambangan di desanya. Begitu juga tentang skema
program, atau bantuan yang diberikan pihak perusahaan kepada desa. Pernah seseorang
diutus pihak perusahaan untuk memberikan bantuan pembuatan jalan tani kepada
pemerintah desa. Namun, pemerintah desa punya mekanisme soal pemberian bantuan.
Pemerintah
desa Kumbewaha meminta kepada perusahaan tambang agar melayangkan surat lebih
dulu sebelum program itu dikerjakan di desa. Pemerintah desa tentu punya aturan
terkait bantuan dari pihak swasta. Apalagi kalau bantuan itu asalnya dari
perusahaan tambang. Sifatnya lebih pada komitmen bersama dan saling
menguntungkan demi memuluskan kepentingan perusahaan untuk melakukan
penambangan.
IUP dan Sikap
Pemda Buton
PT
Malindo Bara Murni diberi izin usaha untuk melakukan penambangan di desa
Kumbewaha, Kecamatan Siontapina, Kabupaten Buton dengan jenis komoditas Mangan.
Dalam situs resmi ESDM One Map pada geoportal.esdm.go.id, terdaftar PT
Malindo Bara Murni memiliki luas wilayah pengelolaan 602,00 Ha. Luasannya
sedikit berbeda dengan laporan sebelumnya, yakni 695 Ha.
Namun
beberapa tahun perusahaan itu beroperasi, aktivitas penambangan terhenti karena
harga jual Mangan di pasar mengalami anjlok. Jatuhnya nilai jual Mangan tidak
hanya membuat kegiatan penambangan terhenti, tapi juga pihak perusahaan
mengabaikan kewajiban mereka untuk melaporkan kegiatan semester kepada
pemerintah daerah.
Pemerintah
daerah Kabupaten Buton sempat menunjukkan reaksi tegas kepada perusahaan
tambang di Desa Kumbewaha, Kecamatan Siontapina. Menurut Pemda Buton, PT
Malindo Bara Murni telah dicabut izin lingkungannya sejak tahun 2013. Namun
dari hasil temuan mereka, perusahaan itu masih terus beroperasi dan melakukan
penambangan hingga saat ini. Pihak pemerintah daerah juga menemukan nama PT
Arfah Indo Sarana yang melakukan aktivitas penambangan di desa Kumbewaha dengan
memakai IUP PT Malindo Bara Murni.
“Setelah
kami cek di sana (Desa Kumbewaha), kami temukan PT Arfah Indo Sarana melakukan
aktivitas penambangan Mangan menggunakan IUP PT Malindo,” kata La Ode Zahaba,
Selasa (12/3/2019). (Dikutip dari SULTRAKINI.com)
Izin
lingkungan atas pengelolaan tambang di desa Kumbewaha memang tidak lepas dari
intervensi pemerintah daerah Kabupaten Buton. Meski saat ini kewenangan
penambangan telah diambil alih oleh pemerintah provinsi. Dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan PP 27 Tahun 2012,
dijelaskan bahwa perusahaan yang melakukan aktivitas penambangan wajib melapor
ke pemerintah daerah setempat terkait Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan
(SPPL), dua kali dalam setahun.
Terkait
sikap Pemda Buton terhadap legalitas PT Malindo yang melakukan penambangan di
desa Kumbewaha, pihak perusahaan mengaku telah memperpanjang IUP kepada
pemerintah provinsi sampai dengan tahun 2029. Begitu juga dengan pemberitahuan
dan kewajiban izin lingkungan mereka, prosesnya sudah selesai di Pemda Buton.
Berbagai
Bantahan PT Malindo Bara Murni
Seorang
warga desa Kumbewaha, Muhis Ismail mengatakan, tahun 2013 pernah ada
rekomendasi dari DPRD Kabupaten Buton tentang penghentian aktivitas penambangan
PT Malindo Bara Murni. Namun hal itu dibantah oleh pihak PT Malindo. Menurut
mereka, tidak ada rekomendasi dari DPRD Buton untuk pemberhentian penambangan.
Bantahan
demi bantahan terus dikeluarkan oleh pihak penambang, PT Malindo Bara Murni.
Mereka mengaku selama proses penambangan itu dilakukan, perusahaan selalu
melaksanakan kewajiban sesuai dengan aturan. Kemudian mengenai kehadiran
perusahaan tambang yang menimbulkan kesenjangan sosial, ini juga dibantah oleh
pihak PT Malindo. Kata mereka, perusahaan telah banyak berkontribusi kepada
masyarakat desa. PT Malindo pernah menghibahkan tanak hak milik perusahaan
untuk pembangunan Puskesmas, kemudian menyumbang untuk pembangunan rumah adat
(Baruga) dan pembangunan Masjid. Mereka pernah melakukan pertemuan dengan
pemerintah desa, tokoh masyarakat, kelompok pemuda dan dinas terkait dalam
mendukung hadirnya perusahaan tambang di desa Kumbewaha. PT Malindo juga sudah
merekrut sekitar 30 orang untuk bekerja sebagai penambang.
Mengenai
dampak kerusakan lingkungan: putusnya sumber mata air dan tanaman yang rusak
karena kegiatan pertambangan, perusahaan mengklaim telah melakukan reklamasi.
Mereka membantah telah merusak tanaman dan sumber mata air. Kemudian terkait
nama PT Arfah Indo Sarana (AIS) yang menggunakan IUP PT Malindo Bara, pihak
perusahaan menjelaskan bahwa keberadaan PT AIS bukan sebagai penambang,
melainkan sebagai pemilik alat yang di sewa oleh PT Malindo.
Gerakan
Masyarakat Desa Menolak Tambang
Hari itu
Jumat (5/4/2019), bertempat di kantor pemerintah desa Kumbewaha, masyarakat
dengan tegas menolak PT Malindo Bara Murni yang melakukan kegiatan pertambangan
di desa mereka. Pertemuan dihadiri oleh perangkat desa, Camat Siontapina, serta
pihak perusahaan. Dalam pertemuan itu, masyarakat desa menuntut agar segera
menghentikan segala aktivitas pertambangan karena telah memberi dampak
kerusakan lingkungan dan mengakibatkan bencana banjir di desa.
“Penambangan
Mangan yang dilakukan PT Malindo Bara Murni menimbulkan keresahan di
masyarakat. Banyak tanaman masyarakat rusak atau mati akibat limbah pabrik yang
mencemari lingkungan.” Ungkap Muhlis Ismail, seorang warga desa Kumbewaha.
Begitu
juga yang dikatakan Syahril, Sekretaris Desa Kumbewaha, ia menilai keberadaan
perusahaan tambang di desa tidak memberi manfaat bagi masyarakat desa. Kegiatan
pertambangan justru menimbulkan kesenjangan sosial. Hadirnya perusahaan tambang
telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgpfBCrBN8MJx4KmKLs1yGP1-a9uH-97DexnKg8sviy0WJWvo42FLiVfwymnt3HfdhHlvmDuelq89S4w1BKom-c1GSiVBPJ-_mV2xobHOOZWOzSXBdvhmuiMNhnwYE_zck8TMw01arrq-0/s640/LRM_EXPORT_470634268713659_20191202_013552883.jpeg) |
konsolidasi masyarakat petani |
Dari
aspek lingkungan, PT Malindo Bara Murni tidak pernah melibatkan masyarakat
dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Pihak perusahaan
tidak melakukan sosialiasasi di masyarakat desa untuk membahas kondisi
lingkungan ketika mereka melakukan penambangan. Perusahaan juga tidak
memikirkan dampak-dampak negatif yang dirasakan masyarakat desa ketika
alat-alat berat itu beroperasi melakukan aktivitas penambangan.
Kemudian dari
aspek ekonomi, banyak fakta menunjukkan kegiatan pertambangan tidak memberi
kesejahteraan masyarakat. Pertambangan hanya dinikmati oleh segilintir orang.
Dari sisi lain, masuknya perusahaan tambang dengan cepat mempengaruhi perilaku
dan kehidupan masyarakat. Masyarakat lokal yang tadinya guyub dan rukun,
kehidupan mereka bisa berubah dengan penuh persaingan. Masyarakat saling
berebut lahan lalu menjualnya kepada perusahaan. Keberadaan perusahaan tambang
sebagaimana di banyak daerah, menghadirkan beragam konflik serta menghidupkan
api permusuhan di antara masyarakat.
Berkaca Pada
Beberapa Kasus Tambang di Pulau Buton
Walhi
Sulawesi Tenggara menghimpun beberapa kasus konflik tambang yang pernah terjadi
di Pulau Buton. Di Kecamatan Talaga, konflik antara masyarakat desa dengan PT Arga
Morindo Indah (AMI). PT AMI merupakan salah satu perusahaan tambang Nikel yang
memiliki IUP lintas Kabupaten di pulau Kabaena, antara Kabupaten Buton
(sekarang Kabupaten Buton Tengah) dan Kabupaten Bombana.
Beberapa
kali masyarakat desa Kecamatan Talaga melakukan unjuk rasa. Mereka menuntut
ganti rugi lahan dan tanaman yang diserobot perusahaan tambang. Pada kali
berikutnya, masyarakat dan mahasiswa menggelar aksi. Namun gerakan penolakan
tambang itu menjadi ricuh. Sebanyak 7 mahasiswa dan 6 warga Talaga ditahan
polisi. Mereka lalu dijebloskan ke penjara, saat itu dipertengahan Mei 2010.
Peristiwa
serupa juga pernah terjadi di Kota Baubau. Masyarakat sekitar tambang menolak
keberadaan PT Bumi Inti Sulawesi (BIS) yang berada dalam kawasan hutan Bungi –
Sorawolio (BUSO). Bungi - Sorawolio merupakan
kawasan pertanian dan perkebunan yang tidak diperuntukkan untuk kawasan
pertambangan. Meskipun Pemda Kota Baubau dengan cepat merubah kebijakannya di
dalam Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk meloloskan perusahaan
tambang yang berada di kawasan agriculture.
Hadirnya
pertambangan di Kota Baubau menyulut emosi masyarakat saat itu. Mereka
melakukan demonstrasi berturut-turut, menuntut Walikota Baubau untuk
menghentikan aktivitas pertambangan yang sudah merugikan masyarakat petani dan
nelayan di Kecamatan Bungi dan Sorawolio.
Perjuangan
masyarakat yang menolak keberadaan PT BIS cukup panjang. Beberapa dari aktvitis
gerakan mendapat teror dan intimidasi. Pada beberapa kali aksi demo, tidak
sedikit dari mereka mendapat tindakan represif aparat. Juga masyarakat yang
berada di Keluarahan Lowu-Lowu dan Kolese Kecamatan Bungi, mereka kerap
mendapat ancaman dari oknum yang berada di pihak perusahaan tambang. Tapi pada
akhirnya perusahaan itu diam. PT BIS tak bisa berbuat banyak, Nikel-nya tidak
bisa lagi dibawa ke luar. Masyarakat juga berhasil menutup akses jalan tambang
yang menuju dermaga.
Masyarakat
sekitar hutan kawasan BUSO sangat berharap tak ada lagi aktivitas pertambangan
di wilayah itu. Kerusakan hutan akibat tambang Nikel telah memperburuk kondisi
lingkungan dan kerusakan hutan. Beberapa tahun terakhir, banjir telah merendam puluhan
hektar sawah dan rumah di Kecamatan Bungi. Masyarakat petani mengalami gagal
panen di beberapa musim. Makanya produktivitas pertanian dari tahun ke tahun menjadi
lambat.
Begitu
juga dengan masyarakat Kecamatan Kapontori, Kabupaten Buton. Awal Agustus lalu,
Forum Tolak Tambang Kapontori meminta Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi
untuk mencabut IUP PT Energy Revolution. Masyarakat juga meminta pihak
perusahaan untuk mengurungkan niatnya mengelola tambang Nikel di dalam kawasan
hutan Lakumala, yang luasnya mencapai 438 hektar.
Kegiatan
pertambangan di wilayah Kecamatan Kapontori sebelumnya pernah juga dilakukan
beberapa tahun lalu. Anehnya, IUP yang dipegang perusahaan tambang itu masuk
dalam kawasan hutan Lambusango. Kita tahu, hutan Lambusango adalah hutan
konservasi, hutan yang dilindungi karena menyimpan kekayaan cagar alam. Saat
itu, aktivitas penambangan Nikel tidak hanya merusak fungsi hutan, tapi juga
merusak ekosistem Teluk Kapontori.
Gerakan
Petani Melestarikan Lingkungan
La Ode
Idham telah diberi kepercayaan untuk menjadi ketua Jaringan Kelompok Tani se
kecamatan Siontapina, Kabupaten Buton. Jaringan tersebut adalah kumpulan dari
kelompok-kelompok tani hutan yang selama ini konsisten melestarikan hutan dan
lingkungan. La Ode Idham cukup lama bergelut dalam dunia tani. Ia juga masih
merawat relasinya dengan beberapa kelompok NGO yang pernah mendampingi
dan memfasilitasi kelompok masyarakat untuk mengembangkan berbagai potensi
sumber daya alam di desanya. La Ode Idham, adalah pendiri Kelompok Tani Hutan
Alam Watabaro di desa Kumbewaha. Sudah bertahun-tahun ia aktif di dalam
kelompok, bersama dengan para petani.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEie1xLu-DidVkHz5-ls4EvyCrfVPt_AYG-DwEnYzPZHojn2IemoW4ypD09cLUCEeLTi3Uf1TLU2c9REN2qwJV9iLIripSXRgEf1C0rrm20vlZJetRnDKNq3VS_GcoRGBjYHzzqLW-8gYXM/s1600/IMG_20191108_141731.jpg) |
La Ode Idham di kebun Cengkeh kelompok tani |
Keberadaan
Kelompok Tani Hutan Alam Watabaro selama ini cukup membantu masyarakat desa
untuk mengembangkan berbagai potensi sumberdaya. Kelompok itu menjadi sarana
komunikasi antar petani. Melalui kegiatan dan pertemuan-pertemuan kelompok, La
Ode Idham membangun kesadaran setiap petani untuk tetap mempertahankan fungsi
hutan dengan melakukan pengawasan agar tidak dirusak dan dimanfaatkan secara
berlebihan.
Walhi
Sulawesi Tenggara secara konsisten mendampingi kelompok-kelompok tani di
wilayah itu, dengan melakukan fasilitasi untuk beberapa pelatihan penguatan
kapasitas petani di sana. Pada Oktober 2018, Walhi fokus untuk mendorong
program Perhutanan Sosial di beberapa desa di Pulau Buton. Sebelumnya, program
ini telah ada sejak tahun 2013, namun sempat terhenti. Oleh karenanya, Walhi
berinisiatif untuk menghidupkan kembali program itu, dengan skema dan konsep
yang telah dibuat.
Khusus di
Provinsi Sulawesi Tenggara, program Perhutanan Sosial masuk di tiga wilayah: Pertama,
Desa Kumbewa, Kabupaten Buton, Kedua, Kelurahan Liabuku dan Waliabuku,
Kota Baubau, Ketiga, Desa Kanapa-Napa, Kabupaten Buton Tengah. Melihat
keaktifan kelompok tani dalam menjalankan program, Walhi kemudian memfasilitasi
untuk membentuk jaringan kelompok yang tersebar di beberapa wilayah, dengan
harapan untuk membangun kelompok yang lebih besar: bisa saling berbagi
pengalaman dan lebih mudah dalam menyelesaikan masalah.
Sejak
dipercaya menjadi ketua jaringan kelompok tani, La Ode Idham kian gencar
melakukan konsolidasi dan mengadakan pertemuan-pertemuan bersama kelompok tani.
Pertemuan bertujuan untuk membangun kesepahaman bersama mengenai pemanfaatan
kawasan hutan, termasuk perjuangan kelompok tani dalam pengelolaan hutan secara
adil dan lestari.
Program
Perhutanan Sosial yang digawangi Walhi sangat penting untuk diteruskan. Mengingat,
selama ini kawasan hutan lebih besar diberikan kepada korporasi, perusahaan
tambang atau kepada perusahaan perkebunan Kelapa Sawit. Tentu tidak ada keadilan
bagi masyarakat tani yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Petani tidak mampu
memanfaatkan sumberdaya karena keterbatasan alat produksi, ketersediaan lahan,
serta akses modal dan pasar.
Skema
Perhutanan Sosial memberi kesempatan kepada setiap petani untuk mengelola
kawasan hutan. Sistem pengelolaannya apakah melalui Hutan Kemasyarakatan (HKm),
Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat (HTR), hutan adat, atau kemitraan kehutanan.
Walhi sendiri telah lama mendorong program ini melalui konsep Wilayah Kelola
Rakyat (WKR), yaitu bagaimana memberikan hak masyarakat lokal untuk
memanfaatkan dan mengelola kawasan hutan secara adil dan lestari. Melalui
program Perhutanan Sosial, diharap dapat memberi rasa aman kepada masyarakat, meningkatkan
produktivitas dan kemandirian ekonomi.
Dalam
menjaga kelestarian hutan, masyarakat sekitar hutan memegang tiga prinsip
fungsi hutan, yaitu: (1) Fungsi Alam. Sumberdaya untuk kehidupan makhluk hidup
(2) Fungsi Sosial. Kawasan hutan menjadi tempat bertemunya masyarakat, sebagai
pusat ritual, membangun kebudayaan dan mengelola sumberdaya dengan kepercayaan
adat istiadat dan nilai-nilai kearifan lokal (3) Fungsi Ekonomi. Masyarakat
tani memanfaatkan potensi sumberdaya hutan untuk produktivitas ekonomi namun
dengan tidak merubah fungsi kawasan hutan agar tetap terjaga kelestariannya.
Kegiatan-kegiatan
kelompok tani hutan di Kecamatan Siontapina masih terus dilakukan. Begitu juga
dengan La Ode Idham, ia terus menjalin komunikasi dengan kelompok-kelompok tani
lain agar tumbuh kesadaran dan kesepahaman bersama dalam menjaga hutan dari
pihak-pihak yang merusak. Keberadaan PT Malindo Bara Murni yang hingga kini
masih melakukan penambangan Batu Mangan menjadi ancaman bagi masyarakat desa.
Tentu masyarakat tidak diam, mereka membangun kekuatan bersama untuk menolak
keberadaan tambang di sekitar kawasan hutan. Hutan yang selama ini menjadi
rumah bersama, menjadi tempat berlindung dan memberi sumber kehidupan
masyarakat desa.
“Kalau
perusahaan tambang itu tidak segera angkat kaki dari kampung kami, maka
gelombang gerakan petani akan terus menghantam perusahaan itu. Sampai mereka
benar-benar meninggalkan kawasan hutan” (La
Ode Idham, Ketua Jaringan Kelompok Tani)
Diskusi
berlangsung alot hari itu (5/4/2019). Setelah melalui perdebatan panjang,
tercapai sebuah kesepakan bersama antara Camat Siontapina, Pemerintah Desa
Kumbewaha, dan pihak PT Malindo Bara Murni untuk mengehentikan aktivitas
pertambangan. Pihak perusahaan akhirnya setuju dan mengakomodir permintaan
masyarakat. Kesepakatan bersama itu tertuang dalam Berita Acara yang
ditandatangani langsung oleh Camat Siontapina, Pemerintah Desa Kumbewaha, dan
perwakilan PT Malindo Bara Murni. Saat itu juga masyarakat desa menutup akses
jalan menuju perusahaan.