Jika umumnya
aktivitas pasar-pasar tradisional dimulai dari pagi sampai menjelang malam,
namun di beberapa daerah kita bisa menemukan pasar malam, yang baru dimulai
pukul delapan malam sampai menjelang pagi. Di Jakarta, ada pasar-pasar tradisional
yang melakukan transaksi jual beli pada tengah malam sampai subuh menjelang
pagi.
Seperti pasar
Minggu di Jakarta selatan, salah satu pasar terbesar di ibu kota. Denyut pasar
itu seakan tak pernah berhenti. Ada ribuan orang menggantungkan hidup di situ,
berdagang mulai pagi sampai sore dengan membuka kios untuk menjual pakaian dan
kebutuhan rumah tangga. Sementara malam hingga pagi pedagang membuka lapak, menjual
sembako yang menjadi kebutuhan dasar hidup.
Selain pasar
Minggu, ada pasar Induk Kramat Jati di Jakarta Timur, yang juga selalu ramai.
Aktivitas di pasar ini juga tak pernah sepi. Begitu juga dengan pasar
Jatinegara, Jakarta Timur, atau dulu dikenal dengan nama Pasar Mester (Mester
Passer), yang zaman dulu dilalui oleh Trem Batavia. Di masa jajahan
Belanda, kawasan Jatinegara dikenal sebagai Messter Cornelis, yang kemudian
diganti menjadi Jatinegara pada masa pendudukan Jepang sekitar tahun 1942.
Jatinegara yang
berarti ‘Negara Sejati’ itu dipopulerkan oleh Pangeran Ahmad Jayakarta. Konsep
pasar Jatinegara adalah pasar grosir, namun aktivitasnya hanya sampai sore hari
dan ketika tengah malam sampai pagi di sekitar pasar grosir pedagang menggelar
lapak-lapak yang menjual sembako.
Begitu juga
dengan pasar tradisional di Bogor. Letak pasar ini tak jauh dengan Kebun Raya
dan Istana Bogor. Pasar ini sudah lama ada, sejak tahun 1770, pada masa
pemerintahan Gubernur Jenderal Belanda Petrus Albertus Van Der Parra, yang
menjabat tahun 1761 sampai 1775.
Pasar tradisional Bogor menjadi icon di kota
itu, dan selalu ramai pada malam hari mulai jam sembilan sampai empat pagi.
Kita bisa melihat aktivitas pedagang di sepanjang jalan Otto Iskandar sampai
Surya Kencana.
Terakhir saya hunting ikan di pasar Muara Angke, Jakarta Utara. Lumayan jauh dari tempat saya di
Jakarta Selatan. Aktivitas pasar ikan Muara Angke juga tak pernah sepi. Pasar
ikan terbesar di ibu kota ini letaknya di kawasan pesisir laut. Saat saya
memasuki kawasan pasar Muara Angke, dari jarak yang cukup jauh sudah menyengat
bau amis darah ikan. Kesibukan pasar ikan Muara Angke baru terasa pada malam
hari.
Saya menyaksikan para nelayan mendaratkan ikan tak jauh dari pasar, lalu
terjadi transaksi antara nelayan dan pedagang pasar. Pedagang kemudian menjual
ikan-ikan itu kepada warga ibu kota. Untuk mendapatkan ikan-ikan segar lebih
baik datang lebih awal, sebelum tengah malam. Stok dan berbagai jenis ikan juga
masih banyak kita temukan.
Jika pedagang di
beberapa pasar tradisional di ibu kota banyak di dominasi oleh warga Jabodetabek,
namun di pasar Muara Angke tidak sedikit pedagangnya adalah orang-orang dari
Bugis dan Makassar, Sulawesi Selatan. Mereka sudah lama menetap di kawasan
Muara Angke. Mungkin karena tradisi rantau orang-orang Sulawesi Selatan, kemudian
mereka mendominasi wilayah pesisir dan laut.
Keberadaan orang
Bugis-Makassar di Muara Angke juga saya jumpai di pulau Pramuka, Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, sebuah pulau kecil di antara
gugusan pulau di teluk Jakarta. Di pulau itu saya terkejut dengan satu kampung yang
dihuni oleh mayoritas orang Bugis, Sulawesi Selatan.
Mereka sudah berpuluh-puluh
tahun menetap di pulau itu dan menjalani hari-hari sebagai nelayan. Seorang
nelayan Bugis di tempat itu berkisah, awalnya mereka melakukan pelayaran dari
laut Sulawesi untuk mencari ikan dengan kapal tradisional. Ketika itu bertepatan
dengan musim angin timur, angin membawa kapal layar mereka ke wilayah barat.
Berminggu-minggu mengarungi laut, hingga mereka tiba di Kepulauan Seribu.
Pak Daeng yang
saya temui bercerita: “Waktu pertama tiba, pulau ini masih kosong, masih banyak
pohonnya. Belum seramai seperti sekarang. Orang-orang tua kami yang lebih dulu
datang, mereka bangun rumah di sini karena dulu katanya banyak ikan di laut
sekitar pulau. Tapi sekarang ini eh sudah susahmi, kita jalani saja.” Hasil
tangkapan ikan nelayan-nelayan di Kepulauan Seribu itu sebagian mereka jual ke
pasar Muara Angke, sisanya menjadi kebutuhan rumah tangga.
Di tengah
perkembangan suatu kota, pasar malam tradisional terkadang luput dari perhatian
kita. Masyarakat lebih memilih pasar-pasar modern yang fasilitasnya lebih baik
ketimbang pasar tradisional, yang selalu lekat dengan kekumuhan.
Kenyamanan
menjadi alasan setiap orang untuk tidak berbelanja di pasar tradisional.
Terkadang kita lebih senang belanja ke pasar swalayan dengan kualitas dan harga
berbeda daripada berbelanja ke pasar tradisional yang riuh dan
berdesak-desakkan. Apalagi kalau hujan, tenda di lapak bocor dan jalannya
becek.
Tapi tahukah
kita, ada berapa banyak masyarakat kecil yang menggantungkan hidup di pasar
tradisional? Modal mereka tidak seberapa kalau dibanding dengan pemilik usaha
di satu pasar modern yang dikuasai oleh grup besar. Para pedagang kecil di
pasar tradisional berjuang hidup dan berharap jualannya bisa laku setiap hari
agar usaha mereka bisa berlanjut di hari esok.
Pasar
tradisional sangat melekat dengan kebudayaan kita. Fenomena pasar tradisional
yang digelar tengah malam memiliki latar dan sejarah tersendiri. Dari banyak sumber,
umumnya keberadaan pasar malam karena adanya suatu peristiwa, kemudian
masyarakat setempat melihat ada potensi ekonomi untuk dikembangkan. Di situ
tumbuh semangat koletif masyarakat untuk mendirikan pasar lalu mengikat
orang-orang agar terbiasa bertransaksi di tempat mereka.
Misalnya pasar
tradisional tengah malam di Wonomulyo Kabupaten Polewali Mandar, yang
aktivitasnya dimulai pukul sebelas malam sampai pagi pukul sembilan. Sejarah
pasar itu awalnya hanya menjadi pangkalan mobil, ojek, dan becak. Karena
kawasan itu selalu ramai dan menjadi tempat transit, masyarakat setempat memanfaatkan
kesempatan untuk berjualan. Pasar tengah malam tumbuh dan berkembang seiring
meningkatnya geliat ekonomi di wilayah itu.
Di banyak pasar
tradisional yang pernah saya kunjungi, saya melihat banyak pedagang yang
diperankan oleh kaum ibu. Aktivitas mereka di pasar mengundang perhatian saya
karena peran mereka di luar rumah dikalukan pada tengah malam sampai pagi.
Peran ganda kaum ibu, di rumah dan di ruang publik seperti itu sangat tidak
mudah.
Menurut data Kajian Studi Gender dan Sosial Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) Solo menunjukkan fakta, mayoritas dalam aktivitas sosial-ekonomi di berbagai pasar tradisional di Indonesia sebanyak 67 % adalah perempuan sebagai pedagang dan pembeli. Dari populasi pedagang pasar tradisional, 72 % adalah perempuan.
Menurut data Kajian Studi Gender dan Sosial Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) Solo menunjukkan fakta, mayoritas dalam aktivitas sosial-ekonomi di berbagai pasar tradisional di Indonesia sebanyak 67 % adalah perempuan sebagai pedagang dan pembeli. Dari populasi pedagang pasar tradisional, 72 % adalah perempuan.
Aktivitas
perempuan di ranah publik adalah manivetasi persamaan hak laki-laki dan
perempuan. Inilah fakta bagaimana perempuan memainkan peran penting sebagai
pedagang di dalam pasar tradisional. Perempuan memiliki kemampuan lebih di luar
peranannya sebagai ibu rumah tangga.
Kita bisa melihat kemampuan perempuan di
pasar, mereka ahli dalam menarik pembeli dan selalu cermat menghitung
utung-rugi dagangan mereka. Aktivitas mereka di luar rumah dapat memberi
keuntungan ekonomi bagi keluarga.
Setiap kali ada kesempatan
di waktu tengah malam, saya selalu ke pasar tradisional di Jakarta Selatan. Di pasar
itu saya selalu senang ketika ada seorang ibu pedagang sayur memanggil saya, “Nak
mau belanja sayur apa? Mari sama ibu.” Di saat saya mendekat ke lapak jualannya,
ia lalu menjelaskan manfaat sayur untuk kesehatan.
Di situlah bedanya belanja di
market swalayan dengan di pasar tradisional. Di swalayan, kita hanya
bisa ngomel dengan label harga yang kemahalan, juga bosan menunggu
antrian panjang saat mau membayar. Begitulah…
0 komentar:
Post a Comment