Sunday, December 29, 2019

Denyut Pasar Malam Tradisional di Jantung Ibu Kota



Jika umumnya aktivitas pasar-pasar tradisional dimulai dari pagi sampai menjelang malam, namun di beberapa daerah kita bisa menemukan pasar malam, yang baru dimulai pukul delapan malam sampai menjelang pagi. Di Jakarta, ada pasar-pasar tradisional yang melakukan transaksi jual beli pada tengah malam sampai subuh menjelang pagi. 

Seperti pasar Minggu di Jakarta selatan, salah satu pasar terbesar di ibu kota. Denyut pasar itu seakan tak pernah berhenti. Ada ribuan orang menggantungkan hidup di situ, berdagang mulai pagi sampai sore dengan membuka kios untuk menjual pakaian dan kebutuhan rumah tangga. Sementara malam hingga pagi pedagang membuka lapak, menjual sembako yang menjadi kebutuhan dasar hidup.

Selain pasar Minggu, ada pasar Induk Kramat Jati di Jakarta Timur, yang juga selalu ramai. Aktivitas di pasar ini juga tak pernah sepi. Begitu juga dengan pasar Jatinegara, Jakarta Timur, atau dulu dikenal dengan nama Pasar Mester (Mester Passer), yang zaman dulu dilalui oleh Trem Batavia. Di masa jajahan Belanda, kawasan Jatinegara dikenal sebagai Messter Cornelis, yang kemudian diganti menjadi Jatinegara pada masa pendudukan Jepang sekitar tahun 1942. 


Jatinegara yang berarti ‘Negara Sejati’ itu dipopulerkan oleh Pangeran Ahmad Jayakarta. Konsep pasar Jatinegara adalah pasar grosir, namun aktivitasnya hanya sampai sore hari dan ketika tengah malam sampai pagi di sekitar pasar grosir pedagang menggelar lapak-lapak yang menjual sembako.

Begitu juga dengan pasar tradisional di Bogor. Letak pasar ini tak jauh dengan Kebun Raya dan Istana Bogor. Pasar ini sudah lama ada, sejak tahun 1770, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Belanda Petrus Albertus Van Der Parra, yang menjabat tahun 1761 sampai 1775. 

Pasar tradisional Bogor menjadi icon di kota itu, dan selalu ramai pada malam hari mulai jam sembilan sampai empat pagi. Kita bisa melihat aktivitas pedagang di sepanjang jalan Otto Iskandar sampai Surya Kencana. 

Terakhir saya hunting ikan di pasar Muara Angke, Jakarta Utara. Lumayan jauh dari tempat saya di Jakarta Selatan. Aktivitas pasar ikan Muara Angke juga tak pernah sepi. Pasar ikan terbesar di ibu kota ini letaknya di kawasan pesisir laut. Saat saya memasuki kawasan pasar Muara Angke, dari jarak yang cukup jauh sudah menyengat bau amis darah ikan. Kesibukan pasar ikan Muara Angke baru terasa pada malam hari.

Saya menyaksikan para nelayan mendaratkan ikan tak jauh dari pasar, lalu terjadi transaksi antara nelayan dan pedagang pasar. Pedagang kemudian menjual ikan-ikan itu kepada warga ibu kota. Untuk mendapatkan ikan-ikan segar lebih baik datang lebih awal, sebelum tengah malam. Stok dan berbagai jenis ikan juga masih banyak kita temukan. 

Jika pedagang di beberapa pasar tradisional di ibu kota banyak di dominasi oleh warga Jabodetabek, namun di pasar Muara Angke tidak sedikit pedagangnya adalah orang-orang dari Bugis dan Makassar, Sulawesi Selatan. Mereka sudah lama menetap di kawasan Muara Angke. Mungkin karena tradisi rantau orang-orang Sulawesi Selatan, kemudian mereka mendominasi wilayah pesisir dan laut.

Keberadaan orang Bugis-Makassar di Muara Angke juga saya jumpai di pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, sebuah pulau kecil di antara gugusan pulau di teluk Jakarta. Di pulau itu saya terkejut dengan satu kampung yang dihuni oleh mayoritas orang Bugis, Sulawesi Selatan. 

Mereka sudah berpuluh-puluh tahun menetap di pulau itu dan menjalani hari-hari sebagai nelayan. Seorang nelayan Bugis di tempat itu berkisah, awalnya mereka melakukan pelayaran dari laut Sulawesi untuk mencari ikan dengan kapal tradisional. Ketika itu bertepatan dengan musim angin timur, angin membawa kapal layar mereka ke wilayah barat. Berminggu-minggu mengarungi laut, hingga mereka tiba di Kepulauan Seribu. 

Pak Daeng yang saya temui bercerita: “Waktu pertama tiba, pulau ini masih kosong, masih banyak pohonnya. Belum seramai seperti sekarang. Orang-orang tua kami yang lebih dulu datang, mereka bangun rumah di sini karena dulu katanya banyak ikan di laut sekitar pulau. Tapi sekarang ini eh sudah susahmi, kita jalani saja.” Hasil tangkapan ikan nelayan-nelayan di Kepulauan Seribu itu sebagian mereka jual ke pasar Muara Angke, sisanya menjadi kebutuhan rumah tangga. 

Di tengah perkembangan suatu kota, pasar malam tradisional terkadang luput dari perhatian kita. Masyarakat lebih memilih pasar-pasar modern yang fasilitasnya lebih baik ketimbang pasar tradisional, yang selalu lekat dengan kekumuhan. 

Kenyamanan menjadi alasan setiap orang untuk tidak berbelanja di pasar tradisional. Terkadang kita lebih senang belanja ke pasar swalayan dengan kualitas dan harga berbeda daripada berbelanja ke pasar tradisional yang riuh dan berdesak-desakkan. Apalagi kalau hujan, tenda di lapak bocor dan jalannya becek. 

Tapi tahukah kita, ada berapa banyak masyarakat kecil yang menggantungkan hidup di pasar tradisional? Modal mereka tidak seberapa kalau dibanding dengan pemilik usaha di satu pasar modern yang dikuasai oleh grup besar. Para pedagang kecil di pasar tradisional berjuang hidup dan berharap jualannya bisa laku setiap hari agar usaha mereka bisa berlanjut di hari esok.

Pasar tradisional sangat melekat dengan kebudayaan kita. Fenomena pasar tradisional yang digelar tengah malam memiliki latar dan sejarah tersendiri. Dari banyak sumber, umumnya keberadaan pasar malam karena adanya suatu peristiwa, kemudian masyarakat setempat melihat ada potensi ekonomi untuk dikembangkan. Di situ tumbuh semangat koletif masyarakat untuk mendirikan pasar lalu mengikat orang-orang agar terbiasa bertransaksi di tempat mereka.     

Misalnya pasar tradisional tengah malam di Wonomulyo Kabupaten Polewali Mandar, yang aktivitasnya dimulai pukul sebelas malam sampai pagi pukul sembilan. Sejarah pasar itu awalnya hanya menjadi pangkalan mobil, ojek, dan becak. Karena kawasan itu selalu ramai dan menjadi tempat transit, masyarakat setempat memanfaatkan kesempatan untuk berjualan. Pasar tengah malam tumbuh dan berkembang seiring meningkatnya geliat ekonomi di wilayah itu. 

Di banyak pasar tradisional yang pernah saya kunjungi, saya melihat banyak pedagang yang diperankan oleh kaum ibu. Aktivitas mereka di pasar mengundang perhatian saya karena peran mereka di luar rumah dikalukan pada tengah malam sampai pagi. Peran ganda kaum ibu, di rumah dan di ruang publik seperti itu sangat tidak mudah. 

Menurut data Kajian Studi Gender dan Sosial Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) Solo menunjukkan fakta, mayoritas dalam aktivitas sosial-ekonomi di berbagai pasar tradisional di Indonesia sebanyak 67 % adalah perempuan sebagai pedagang dan pembeli. Dari populasi pedagang pasar tradisional, 72 % adalah perempuan.

Aktivitas perempuan di ranah publik adalah manivetasi persamaan hak laki-laki dan perempuan. Inilah fakta bagaimana perempuan memainkan peran penting sebagai pedagang di dalam pasar tradisional. Perempuan memiliki kemampuan lebih di luar peranannya sebagai ibu rumah tangga. 


Kita bisa melihat kemampuan perempuan di pasar, mereka ahli dalam menarik pembeli dan selalu cermat menghitung utung-rugi dagangan mereka. Aktivitas mereka di luar rumah dapat memberi keuntungan ekonomi bagi keluarga.

Setiap kali ada kesempatan di waktu tengah malam, saya selalu ke pasar tradisional di Jakarta Selatan. Di pasar itu saya selalu senang ketika ada seorang ibu pedagang sayur memanggil saya, “Nak mau belanja sayur apa? Mari sama ibu.” Di saat saya mendekat ke lapak jualannya, ia lalu menjelaskan manfaat sayur untuk kesehatan. 

Di situlah bedanya belanja di market swalayan dengan di pasar tradisional. Di swalayan, kita hanya bisa ngomel dengan label harga yang kemahalan, juga bosan menunggu antrian panjang saat mau membayar. Begitulah…



0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts