Monday, December 2, 2019

Petani Butuh Hutan, Bukan Tambang Mangan

kebun Cengkeh dalam kawasan Perhutanan Sosial


 “Kami tidak setuju tambang itu masuk di kawasan hutan. Sudahlah pak, jangan bawa masalah di kampung kami!” kata seorang warga dari sudut ruang kantor desa, yang kemudian disusul suara-suara keras dari warga lain.

Aula Kantor Desa Kumbewaha hari itu sudah dipadati warga. Masyarakat datang memenuhi undangan kepala desa, Muharuddin. Kepala desa berinisiatif mengundang masyarakat setelah mendengar kabar kalau pihak perusahaan tambang akan datang bertemu masyarakat desa untuk membicarakan kembali rencana-rencana mereka melakukan penambangan di dalam kawasan hutan. Diskusi berlangsung alot, masyarakat juga geram melihat seorang perwakilan perusahaan yang datang menemui mereka. 

Situasi desa Kumbewaha hari itu tampak berbeda dari biasanya. Masyarakat petani memutuskan tidak ke kebun, begitu juga dengan nelayan. Mereka tidak melaut demi membangun solidaritas, bersama-sama membangun gerakan, menolak keberadaan perusahaan tambang yang akan mengeruk kekayaan sumber daya alam di desa mereka.

Solidaritas masyarakat desa Kumbewaha yang menolak tambang bukan pertama kali ini dilakukan. Sebelumnya, masyarakat desa juga pernah melakukan gerakan serupa, namun kali ini gerakan mereka lebih terbuka dengan melakukan demonstrasi ke pemerintah daerah. Meskipun, ada beberapa warga yang pro dengan masuknya perusahaan tambang. Mereka mendukung keberadaan tambang yang konon akan memberi peluang kerja masyarakat lokal serta berharap adanya bantuan-bantuan perusahaan yang diberikan kepada desa.

Siasat Perusahaan Tambang Hadir di Desa

Perusahaan tambang punya banyak cara untuk mendekatkan diri mereka dengan masyarakat lokal agar keberadaan perusahaan bisa diterima. Pihak perusahaan sadar, bahwa setiap kegiatan penambangan kerap mendapatkan penolakan dari masyarakat. Makanya pihak perusahaan selalu membuat berbagai skema program. Ada yang berupa bantuan uang untuk kelompok masyarakat, ada bantuan pembangunan infrastruktur desa. 

Dari banyak perusahaan tambang yang beroperasi di Pulau Buton, salah satunya adalah PT Malindo Bara Murni. Sejak tahun 2009 PT Malindo Bara Murni sudah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP), yang ditanda tangani oleh Bupati Buton saat itu, Syafei Kahar. Dengan mendapat IUP, PT Malindo Bara Murni menguasai 695 hektar areal lahan di desa Kumbewaha, Kecamatan Siontapina, Kabupaten Buton sampai dengan tahun 2029, atau izin tersebut berlaku selama 20 tahun lamanya.

Muharuddin belum lama dilantik sebagai kepala desa Kumbewaha. Ia dilantik 23 Desember 2018 lalu dan baru aktif pada Januari 2019. Tak banyak yang ditahu kepala desa saat ini mengenai kegiatan pertambangan di desanya. Begitu juga tentang skema program, atau bantuan yang diberikan pihak perusahaan kepada desa. Pernah seseorang diutus pihak perusahaan untuk memberikan bantuan pembuatan jalan tani kepada pemerintah desa. Namun, pemerintah desa punya mekanisme soal pemberian bantuan.

Pemerintah desa Kumbewaha meminta kepada perusahaan tambang agar melayangkan surat lebih dulu sebelum program itu dikerjakan di desa. Pemerintah desa tentu punya aturan terkait bantuan dari pihak swasta. Apalagi kalau bantuan itu asalnya dari perusahaan tambang. Sifatnya lebih pada komitmen bersama dan saling menguntungkan demi memuluskan kepentingan perusahaan untuk melakukan penambangan. 

IUP dan Sikap Pemda Buton

PT Malindo Bara Murni diberi izin usaha untuk melakukan penambangan di desa Kumbewaha, Kecamatan Siontapina, Kabupaten Buton dengan jenis komoditas Mangan. Dalam situs resmi ESDM One Map pada geoportal.esdm.go.id, terdaftar PT Malindo Bara Murni memiliki luas wilayah pengelolaan 602,00 Ha. Luasannya sedikit berbeda dengan laporan sebelumnya, yakni 695 Ha.

Namun beberapa tahun perusahaan itu beroperasi, aktivitas penambangan terhenti karena harga jual Mangan di pasar mengalami anjlok. Jatuhnya nilai jual Mangan tidak hanya membuat kegiatan penambangan terhenti, tapi juga pihak perusahaan mengabaikan kewajiban mereka untuk melaporkan kegiatan semester kepada pemerintah daerah.

Pemerintah daerah Kabupaten Buton sempat menunjukkan reaksi tegas kepada perusahaan tambang di Desa Kumbewaha, Kecamatan Siontapina. Menurut Pemda Buton, PT Malindo Bara Murni telah dicabut izin lingkungannya sejak tahun 2013. Namun dari hasil temuan mereka, perusahaan itu masih terus beroperasi dan melakukan penambangan hingga saat ini. Pihak pemerintah daerah juga menemukan nama PT Arfah Indo Sarana yang melakukan aktivitas penambangan di desa Kumbewaha dengan memakai IUP PT Malindo Bara Murni.

“Setelah kami cek di sana (Desa Kumbewaha), kami temukan PT Arfah Indo Sarana melakukan aktivitas penambangan Mangan menggunakan IUP PT Malindo,” kata La Ode Zahaba, Selasa (12/3/2019). (Dikutip dari SULTRAKINI.com)

Izin lingkungan atas pengelolaan tambang di desa Kumbewaha memang tidak lepas dari intervensi pemerintah daerah Kabupaten Buton. Meski saat ini kewenangan penambangan telah diambil alih oleh pemerintah provinsi. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan PP 27 Tahun 2012, dijelaskan bahwa perusahaan yang melakukan aktivitas penambangan wajib melapor ke pemerintah daerah setempat terkait Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL), dua kali dalam setahun.

Terkait sikap Pemda Buton terhadap legalitas PT Malindo yang melakukan penambangan di desa Kumbewaha, pihak perusahaan mengaku telah memperpanjang IUP kepada pemerintah provinsi sampai dengan tahun 2029. Begitu juga dengan pemberitahuan dan kewajiban izin lingkungan mereka, prosesnya sudah selesai di Pemda Buton.

Berbagai Bantahan PT Malindo Bara Murni

Seorang warga desa Kumbewaha, Muhis Ismail mengatakan, tahun 2013 pernah ada rekomendasi dari DPRD Kabupaten Buton tentang penghentian aktivitas penambangan PT Malindo Bara Murni. Namun hal itu dibantah oleh pihak PT Malindo. Menurut mereka, tidak ada rekomendasi dari DPRD Buton untuk pemberhentian penambangan.

Bantahan demi bantahan terus dikeluarkan oleh pihak penambang, PT Malindo Bara Murni. Mereka mengaku selama proses penambangan itu dilakukan, perusahaan selalu melaksanakan kewajiban sesuai dengan aturan. Kemudian mengenai kehadiran perusahaan tambang yang menimbulkan kesenjangan sosial, ini juga dibantah oleh pihak PT Malindo. Kata mereka, perusahaan telah banyak berkontribusi kepada masyarakat desa. PT Malindo pernah menghibahkan tanak hak milik perusahaan untuk pembangunan Puskesmas, kemudian menyumbang untuk pembangunan rumah adat (Baruga) dan pembangunan Masjid. Mereka pernah melakukan pertemuan dengan pemerintah desa, tokoh masyarakat, kelompok pemuda dan dinas terkait dalam mendukung hadirnya perusahaan tambang di desa Kumbewaha. PT Malindo juga sudah merekrut sekitar 30 orang untuk bekerja sebagai penambang.
   
Mengenai dampak kerusakan lingkungan: putusnya sumber mata air dan tanaman yang rusak karena kegiatan pertambangan, perusahaan mengklaim telah melakukan reklamasi. Mereka membantah telah merusak tanaman dan sumber mata air. Kemudian terkait nama PT Arfah Indo Sarana (AIS) yang menggunakan IUP PT Malindo Bara, pihak perusahaan menjelaskan bahwa keberadaan PT AIS bukan sebagai penambang, melainkan sebagai pemilik alat yang di sewa oleh PT Malindo.

Gerakan Masyarakat Desa Menolak Tambang

Hari itu Jumat (5/4/2019), bertempat di kantor pemerintah desa Kumbewaha, masyarakat dengan tegas menolak PT Malindo Bara Murni yang melakukan kegiatan pertambangan di desa mereka. Pertemuan dihadiri oleh perangkat desa, Camat Siontapina, serta pihak perusahaan. Dalam pertemuan itu, masyarakat desa menuntut agar segera menghentikan segala aktivitas pertambangan karena telah memberi dampak kerusakan lingkungan dan mengakibatkan bencana banjir di desa.

“Penambangan Mangan yang dilakukan PT Malindo Bara Murni menimbulkan keresahan di masyarakat. Banyak tanaman masyarakat rusak atau mati akibat limbah pabrik yang mencemari lingkungan.” Ungkap Muhlis Ismail, seorang warga desa Kumbewaha.  

Begitu juga yang dikatakan Syahril, Sekretaris Desa Kumbewaha, ia menilai keberadaan perusahaan tambang di desa tidak memberi manfaat bagi masyarakat desa. Kegiatan pertambangan justru menimbulkan kesenjangan sosial. Hadirnya perusahaan tambang telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat.

konsolidasi masyarakat petani

Dari aspek lingkungan, PT Malindo Bara Murni tidak pernah melibatkan masyarakat dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Pihak perusahaan tidak melakukan sosialiasasi di masyarakat desa untuk membahas kondisi lingkungan ketika mereka melakukan penambangan. Perusahaan juga tidak memikirkan dampak-dampak negatif yang dirasakan masyarakat desa ketika alat-alat berat itu beroperasi melakukan aktivitas penambangan.

Kemudian dari aspek ekonomi, banyak fakta menunjukkan kegiatan pertambangan tidak memberi kesejahteraan masyarakat. Pertambangan hanya dinikmati oleh segilintir orang. Dari sisi lain, masuknya perusahaan tambang dengan cepat mempengaruhi perilaku dan kehidupan masyarakat. Masyarakat lokal yang tadinya guyub dan rukun, kehidupan mereka bisa berubah dengan penuh persaingan. Masyarakat saling berebut lahan lalu menjualnya kepada perusahaan. Keberadaan perusahaan tambang sebagaimana di banyak daerah, menghadirkan beragam konflik serta menghidupkan api permusuhan di antara masyarakat.   

Berkaca Pada Beberapa Kasus Tambang di Pulau Buton

Walhi Sulawesi Tenggara menghimpun beberapa kasus konflik tambang yang pernah terjadi di Pulau Buton. Di Kecamatan Talaga, konflik antara masyarakat desa dengan PT Arga Morindo Indah (AMI). PT AMI merupakan salah satu perusahaan tambang Nikel yang memiliki IUP lintas Kabupaten di pulau Kabaena, antara Kabupaten Buton (sekarang Kabupaten Buton Tengah) dan Kabupaten Bombana.

Beberapa kali masyarakat desa Kecamatan Talaga melakukan unjuk rasa. Mereka menuntut ganti rugi lahan dan tanaman yang diserobot perusahaan tambang. Pada kali berikutnya, masyarakat dan mahasiswa menggelar aksi. Namun gerakan penolakan tambang itu menjadi ricuh. Sebanyak 7 mahasiswa dan 6 warga Talaga ditahan polisi. Mereka lalu dijebloskan ke penjara, saat itu dipertengahan Mei 2010.    

Peristiwa serupa juga pernah terjadi di Kota Baubau. Masyarakat sekitar tambang menolak keberadaan PT Bumi Inti Sulawesi (BIS) yang berada dalam kawasan hutan Bungi – Sorawolio (BUSO).  Bungi - Sorawolio merupakan kawasan pertanian dan perkebunan yang tidak diperuntukkan untuk kawasan pertambangan. Meskipun Pemda Kota Baubau dengan cepat merubah kebijakannya di dalam Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk meloloskan perusahaan tambang yang berada di kawasan agriculture.   

Hadirnya pertambangan di Kota Baubau menyulut emosi masyarakat saat itu. Mereka melakukan demonstrasi berturut-turut, menuntut Walikota Baubau untuk menghentikan aktivitas pertambangan yang sudah merugikan masyarakat petani dan nelayan di Kecamatan Bungi dan Sorawolio.

Perjuangan masyarakat yang menolak keberadaan PT BIS cukup panjang. Beberapa dari aktvitis gerakan mendapat teror dan intimidasi. Pada beberapa kali aksi demo, tidak sedikit dari mereka mendapat tindakan represif aparat. Juga masyarakat yang berada di Keluarahan Lowu-Lowu dan Kolese Kecamatan Bungi, mereka kerap mendapat ancaman dari oknum yang berada di pihak perusahaan tambang. Tapi pada akhirnya perusahaan itu diam. PT BIS tak bisa berbuat banyak, Nikel-nya tidak bisa lagi dibawa ke luar. Masyarakat juga berhasil menutup akses jalan tambang yang menuju dermaga.

Masyarakat sekitar hutan kawasan BUSO sangat berharap tak ada lagi aktivitas pertambangan di wilayah itu. Kerusakan hutan akibat tambang Nikel telah memperburuk kondisi lingkungan dan kerusakan hutan. Beberapa tahun terakhir, banjir telah merendam puluhan hektar sawah dan rumah di Kecamatan Bungi. Masyarakat petani mengalami gagal panen di beberapa musim. Makanya produktivitas pertanian dari tahun ke tahun menjadi lambat.

Begitu juga dengan masyarakat Kecamatan Kapontori, Kabupaten Buton. Awal Agustus lalu, Forum Tolak Tambang Kapontori meminta Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi untuk mencabut IUP PT Energy Revolution. Masyarakat juga meminta pihak perusahaan untuk mengurungkan niatnya mengelola tambang Nikel di dalam kawasan hutan Lakumala, yang luasnya mencapai 438 hektar.

Kegiatan pertambangan di wilayah Kecamatan Kapontori sebelumnya pernah juga dilakukan beberapa tahun lalu. Anehnya, IUP yang dipegang perusahaan tambang itu masuk dalam kawasan hutan Lambusango. Kita tahu, hutan Lambusango adalah hutan konservasi, hutan yang dilindungi karena menyimpan kekayaan cagar alam. Saat itu, aktivitas penambangan Nikel tidak hanya merusak fungsi hutan, tapi juga merusak ekosistem Teluk Kapontori.       

Gerakan Petani Melestarikan Lingkungan

La Ode Idham telah diberi kepercayaan untuk menjadi ketua Jaringan Kelompok Tani se kecamatan Siontapina, Kabupaten Buton. Jaringan tersebut adalah kumpulan dari kelompok-kelompok tani hutan yang selama ini konsisten melestarikan hutan dan lingkungan. La Ode Idham cukup lama bergelut dalam dunia tani. Ia juga masih merawat relasinya dengan beberapa kelompok NGO yang pernah mendampingi dan memfasilitasi kelompok masyarakat untuk mengembangkan berbagai potensi sumber daya alam di desanya. La Ode Idham, adalah pendiri Kelompok Tani Hutan Alam Watabaro di desa Kumbewaha. Sudah bertahun-tahun ia aktif di dalam kelompok, bersama dengan para petani.   

La Ode Idham di kebun Cengkeh kelompok tani

Keberadaan Kelompok Tani Hutan Alam Watabaro selama ini cukup membantu masyarakat desa untuk mengembangkan berbagai potensi sumberdaya. Kelompok itu menjadi sarana komunikasi antar petani. Melalui kegiatan dan pertemuan-pertemuan kelompok, La Ode Idham membangun kesadaran setiap petani untuk tetap mempertahankan fungsi hutan dengan melakukan pengawasan agar tidak dirusak dan dimanfaatkan secara berlebihan.

Walhi Sulawesi Tenggara secara konsisten mendampingi kelompok-kelompok tani di wilayah itu, dengan melakukan fasilitasi untuk beberapa pelatihan penguatan kapasitas petani di sana. Pada Oktober 2018, Walhi fokus untuk mendorong program Perhutanan Sosial di beberapa desa di Pulau Buton. Sebelumnya, program ini telah ada sejak tahun 2013, namun sempat terhenti. Oleh karenanya, Walhi berinisiatif untuk menghidupkan kembali program itu, dengan skema dan konsep yang telah dibuat.

Khusus di Provinsi Sulawesi Tenggara, program Perhutanan Sosial masuk di tiga wilayah: Pertama, Desa Kumbewa, Kabupaten Buton, Kedua, Kelurahan Liabuku dan Waliabuku, Kota Baubau, Ketiga, Desa Kanapa-Napa, Kabupaten Buton Tengah. Melihat keaktifan kelompok tani dalam menjalankan program, Walhi kemudian memfasilitasi untuk membentuk jaringan kelompok yang tersebar di beberapa wilayah, dengan harapan untuk membangun kelompok yang lebih besar: bisa saling berbagi pengalaman dan lebih mudah dalam menyelesaikan masalah.

Sejak dipercaya menjadi ketua jaringan kelompok tani, La Ode Idham kian gencar melakukan konsolidasi dan mengadakan pertemuan-pertemuan bersama kelompok tani. Pertemuan bertujuan untuk membangun kesepahaman bersama mengenai pemanfaatan kawasan hutan, termasuk perjuangan kelompok tani dalam pengelolaan hutan secara adil dan lestari.

Program Perhutanan Sosial yang digawangi Walhi sangat penting untuk diteruskan. Mengingat, selama ini kawasan hutan lebih besar diberikan kepada korporasi, perusahaan tambang atau kepada perusahaan perkebunan Kelapa Sawit. Tentu tidak ada keadilan bagi masyarakat tani yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Petani tidak mampu memanfaatkan sumberdaya karena keterbatasan alat produksi, ketersediaan lahan, serta akses modal dan pasar.

Skema Perhutanan Sosial memberi kesempatan kepada setiap petani untuk mengelola kawasan hutan. Sistem pengelolaannya apakah melalui Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat (HTR), hutan adat, atau kemitraan kehutanan. Walhi sendiri telah lama mendorong program ini melalui konsep Wilayah Kelola Rakyat (WKR), yaitu bagaimana memberikan hak masyarakat lokal untuk memanfaatkan dan mengelola kawasan hutan secara adil dan lestari. Melalui program Perhutanan Sosial, diharap dapat memberi rasa aman kepada masyarakat, meningkatkan produktivitas dan kemandirian ekonomi.

Dalam menjaga kelestarian hutan, masyarakat sekitar hutan memegang tiga prinsip fungsi hutan, yaitu: (1) Fungsi Alam. Sumberdaya untuk kehidupan makhluk hidup (2) Fungsi Sosial. Kawasan hutan menjadi tempat bertemunya masyarakat, sebagai pusat ritual, membangun kebudayaan dan mengelola sumberdaya dengan kepercayaan adat istiadat dan nilai-nilai kearifan lokal (3) Fungsi Ekonomi. Masyarakat tani memanfaatkan potensi sumberdaya hutan untuk produktivitas ekonomi namun dengan tidak merubah fungsi kawasan hutan agar tetap terjaga kelestariannya.  

Kegiatan-kegiatan kelompok tani hutan di Kecamatan Siontapina masih terus dilakukan. Begitu juga dengan La Ode Idham, ia terus menjalin komunikasi dengan kelompok-kelompok tani lain agar tumbuh kesadaran dan kesepahaman bersama dalam menjaga hutan dari pihak-pihak yang merusak. Keberadaan PT Malindo Bara Murni yang hingga kini masih melakukan penambangan Batu Mangan menjadi ancaman bagi masyarakat desa. Tentu masyarakat tidak diam, mereka membangun kekuatan bersama untuk menolak keberadaan tambang di sekitar kawasan hutan. Hutan yang selama ini menjadi rumah bersama, menjadi tempat berlindung dan memberi sumber kehidupan masyarakat desa.

“Kalau perusahaan tambang itu tidak segera angkat kaki dari kampung kami, maka gelombang gerakan petani akan terus menghantam perusahaan itu. Sampai mereka benar-benar meninggalkan kawasan hutan” (La Ode Idham, Ketua Jaringan Kelompok Tani)

Diskusi berlangsung alot hari itu (5/4/2019). Setelah melalui perdebatan panjang, tercapai sebuah kesepakan bersama antara Camat Siontapina, Pemerintah Desa Kumbewaha, dan pihak PT Malindo Bara Murni untuk mengehentikan aktivitas pertambangan. Pihak perusahaan akhirnya setuju dan mengakomodir permintaan masyarakat. Kesepakatan bersama itu tertuang dalam Berita Acara yang ditandatangani langsung oleh Camat Siontapina, Pemerintah Desa Kumbewaha, dan perwakilan PT Malindo Bara Murni. Saat itu juga masyarakat desa menutup akses jalan menuju perusahaan.






0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts