Pemukiman masyarakat pesisir Wabula, Pulau Buton |
Persoalan
lingkungan dewasa ini menjadi ancaman serius bagi kelangsungan Bumi. Kerusakan
yang terjadi lebih banyak disebabkan oleh kegiatan ekstratif, atau banyaknya
perusahaan tambang yang merusak lingkungan dan mengubah bentang alam (landscape).
Tetapi apakah
semua orang selalu sadar dengan kerusakan-kerusakan di muka Bumi? Apa setiap
kita tahu bahwa manusia memiliki batas dalam memanfaatkan sumber daya alam? Lalu
bagaimana keseharian kita di lingkungan rumah, di ruang publik, dimana kita telah
menciptakan jutaan metrik ton sampah setiap tahun.
Memang ini
kebiasaan yang seperti sulit untuk di ubah, sebab kita telah terbiasa dengan
gaya hidup serba instan dan konsumtif. Masih banyak dari kita yang tak peduli lingkungan.
Karena perilaku kitalah, banjir di mana-mana. Karena gaya hidup kitalah, tanah
longsor memakan korban jiwa. Karena kita tak pernah peduli dengan kelestarian
lingkungan, bencana selalu menyertai kehidupan manusia.
***
Jauh sebelum
pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan tentang pengelolaan sumber daya alam
dan lingkungan hidup, telah ada bentuk-bentuk pengelolaan yang dilakukan secara
tradisional oleh masyarakat adat. Mereka sudah sejak lama berbicara tentang
pentingnya menjaga alam untuk generasi mendatang. Mereka tahu, bagaimana cara
memanfaatkan sumber daya alam agar tidak dieksploitasi secara berlebihan.
Di kampung saya
di Pulau Buton, ada salah satu tradisi yang hingga kini masih terus dijalankan
oleh masyarakat adat, tepatnya di Desa Wabula, Kecamatan Wabula, Provinsi Sulawesi
Tenggara. Ada tradisi masyarakat di kampung kami untuk memanfaatkan sumber daya
alam secara arif. Kebiasaan itu sudah diwariskan secara turun-temurun.
![]() |
Bentang alam Pulau Buton |
Kepercayaan
masyarakat adat desa Wabula mengenai pengelolaan sumber daya alam diatur oleh
kelembagaan adat. Masyarakat senantiasa tunduk dan patuh terhadap aturan-aturan
adat terkait sistem pengelolaan sumber daya laut dan hutan. Kami mengenalnya dengan
konsep pengelolaan sumber daya alam berbasis adat, atau disebut Ombo.
Bentuk
pengelolaan Ombo yang diinisiasi masyarakat adat Wabula mirip dengan Sasi
di Maluku, Awig-Awig di Lombok, Eha-Mane’e di pulau Kakorotan
Sulawesi Utara, Panglima Laot di Aceh, dan beberapa daerah lain yang
masih menjalankan praktik-praktik pengelolaan sumberdaya secara tradisional.
Namun konsep Ombo
ini sangat mirip dengan Sasi yang ada di Maluku, dimana hutan dan laut
diatur dengan pola “buka-tutup”. Cara itu dilakukan agar ketersediaan ikan
dengan segala jenis biota laut dan tanaman yang ada dikebun mereka bisa
dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Pengelolaan
sumberdaya melalui Ombo di pulau Buton dilakukan dengan sistem
pengawasan yang ketat. Ada sanksi yang diberikan kepada orang-orang yang
melanggar. Dibuat zona Ombo di laut dan di darat agar masyarakat tidak
bisa mengaksesnya pada waktu-waktu tertentu. Lembaga adat mengatur waktu kapan Ombo
dibuka dan kapan ditutup. Dalam setahun, masyarakat hanya bisa memanen sekali hasil
laut dan kebun mereka di wilayah Ombo. Pada saat Ombo ditutup
kembali, masyarakat tidak bisa lagi mengambil sumberdaya di zona yang
telah ditetapkan.
Begitulah cara
orang-orang kami di pulau Buton menjaga alam dan keanekaragaman hayati yang
terkandung di dalamnya. Bentuk pengelolaan sumber daya alam dengan kearifan lokal
seperti ini menjadi alternatif dari banyaknya skema pengelolaan yang dilakukan
pemerintah. Apalagi aturan dan kebijakan masih saling tumpang tindih, sehingga
menyulitkan pemerintah di level desa menjalankan berbagai program. Di sisi
lain, kewenangan lembaga adat belum sepenuhnya diberikan dalam kapasitasnya
mengatur dan mengelola sumber daya alam di desa.
***
November 2019,
saya pernah terlibat dalam organisasi konservasi lingkungan hidup di bawah naungan
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Saya bersama beberapa kelompok tani
di Kecamatan Siontapina, Kabupaten Buton terlibat dalam satu program yang
diusung Walhi. Di desa, kami rutin mengadakan pertemuan dengan anggota kelompok
untuk menyusun skema kerja.
Masyarakat desa
yang bergerak dalam kelompok tani hutan kami dampingi dan diedukasi agar ada
kesadaran untuk melakukan pelestarian hutan dan lingkungan hidup. Di dalam
kawasan hutan, masyarakat menanam bibit pohon serta berbagai jenis tanaman sayur
dan buah. Mereka bergerak bersama untuk mengembalikan fungsi hutan demi masa
depan yang lebih baik.
Masyarakat tani
di desa sempat mendapat tantangan karena masuknya perusahaan tambang dalam
kawasan hutan. Perusahaan itu hendak menambang Batu Mangan. Pihak perusahaan
beberapa kali melakukan pertemuan di desa dalam rangka menawarkan peluang kerja
di dalam perusahaan serta memberi bantuan kepada desa.
Meskipun pihak
perusahaan telah mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) dan berhak melakukan
penambangan, masyarakat desa serentak melakukan penolakan. Kesadaran kolektif
masyarakat telah terbentuk, namun kehadiran perusahaan tetap menjadi ancaman
bagi kelangsungan ekosistem hutan.
![]() |
Rapat anggota kelompok tani di dalam kawasan hutan |
Dalam sebuah
rapat di balai pertemuan desa, masyarakat menyatakan penolakannya terhadap
perusahaan tambang yang akan beroperasi di desa. Sikap itu juga ditunjukkan kepala desa, tokoh
agama dan tokoh adat. Mereka dengan tegas menolak, tak ada tawar menawar
dengan pihak perusahaan.
Membangun kesadaran masyarakat desa di tengah rencana-rencana perusahaan tambang
melakukan eksploitasi kekayaan sumber daya alam memang tidak mudah. Perlu ada
sinergitas antara pemerintah desa, pengurus masjid dan lembaga adat. Pesan-pesan tentang pentingnya menjaga alam dan lingkungan itu disemai dalam pertemuan-pertemuan warga yang difasilitasi
oleh kepala desa, melalui ceramah-ceramah keagamaan di masjid dan acara-acara
ritual adat yang dipimpin oleh seorang Bonto (Ketua Adat).
Pada akhirnya, perjuangan
masyarakat berujung dengan baik. Begitu juga dengan peran-peran MSIG yang
selama ini berkontribusi dalam pengembangan masyarakat dan bergerak mengamankan
masa depan Bumi. Sebagai perusahaan Asuransi Umum, MSIG mencoba menyelaraskan kegiatan
perusahaan demi keberlanjutan keanekaragaman hayati dan masa depan Bumi untuk
generasi yang akan datang.
Dengan begitu,
usaha masyarakat dalam mempertahankan hutan sebagai ekosistem esensial telah memberi kontribusi positif dan mengurangi dampak perubahan iklim. Mereka tak hanya memanfaatkan sumber daya alam untuk kepentingan ekonomi, tapi sekaligus melakukan pelestarian demi kelangsungan hidup seluruh makhluk di Planet Bumi.
Tentang MSIG: Click here
0 komentar:
Post a Comment