![]() |
Samahuddin (La Ramo), Bupati Buton Tengah |
Melalui pengeras suara, saya mendengar
pengarahannya kepada sejumlah pejabat dan pegawai yang mengikuti upacara di pagi itu. Saya melihatnya begitu berwibawa, sama ketika ia memberi
sambutan. Sebagai bupati, ia tidak membual dan suka marah-marah kepada
bawahannya.
Orang yang saya saksikan di halaman
kantor Bupati itu adalah Samahuddin, atau orang-orang akrab memanggilnya dengan
nama La Ramo. Tubuhnya tinggi besar dan legam. Di awal saya menilainya
biasa-biasa saja dan mengira tak bisa membuat banyak hal untuk Buton Tengah.
Samahuddin dan wakilnya La Ntau (Alm)
terpilih melalui Pilkada tahun 2017. Pasangan itu memperoleh 27.647 suara,
sementara lawan politiknya Mansur Amila dan Saleh Ganiru hanya mendapat 20.143
suara. Masyarakat menjatuhkan pilihan kepada Samahuddin karena dirinya dianggap
sosok yang mampu menahkodai Buton Tengah. Samahuddin dipercaya sebagai figur
yang dapat membawa kepentingan masyarakat.
![]() |
Samahuddin memimpin upacara |
Sebelum menjabat bupati, di mata masyarakat Samahuddin adalah seorang pengusaha yang dermawan. Ia aktif di kegiatan-kegiatan desa dan kerap membantu masyarakat. Karena jiwa sosial itulah Samahuddin dikenal masyarakat luas, tak hanya orang-orang di Buton Tengah, tapi juga masyarakat dari daerah lain.
Padahal apa yang ia lakukan jauh
sebelum daerah itu mekar, jauh sebelum hiruk-pikuk politik, jauh sebelum
pemilihan kepala daerah di gelar di Buton Tengah. Bagi seorang Samahuddin,
kebaikan-kebaikan yang ia lakukan hanyalah untuk amal, investasi untuk di
akhirat. Kalaupun masyarakat menginginkannya menjadi seorang pemimpin,
menurutnya itu adalah bonus dari tindakan yang pernah dilakukan di masyarakat.
Saya melihat keseriusan Samahuddin
membangun Buton Tengah. Keseriusan itu tampak dari wajah dan cara ia bergerak
langsung memantau sejumlah pekerjaan, proyek-proyek besar dan penting di
daerah.
Samahuddin memang tak pandai bermain
kata dan mencari kepopuleran lewat media. Ia memilih tak banyak bicara. Lebih
baik merencanakan sesuatu hal terkait pembangunan yang kelak dapat dinikmati
masyarakat. Ia seperti dokter yang dengan segera memberi tindakan, ketimbang
menjadi seorang motivator yang menjelaskan banyak hal tentang rahasia sukses.
Dalam proyek pembuatan buku tentang
kepemimpinan Samahuddin, saya terlibat dalam kegiatan riset di Buton Tengah.
Saya meneliti kinerja Samahuddin selama tiga tahun terakhir. Saya mencari tahu
profil Samahuddin dan menelusuri rekam jejaknya.
Sungguh, saya menemukan satu kisah
perjalanan hidup yang tidak biasa dari seorang Samahuddin. Ia melewati masa
hidup dengan ditempa berbagai masalah dan ujian. Ia memiliki kisah perjalanan
hidup yang memilukan, sampai akhirnya ia dapat menikmati hasil atas semua kerja
kerasnya.
Lelaki itu lahir di satu desa terpencil
di Mawasangka Timur. Letaknya di pesisir pantai yang gersang dan terhampar
batu-batu cadas.
***
Cerita Pilu La Ramo di Kampung
Akhir Desember 1964, Samahuddin lahir
di desa Wambuloli. Kedua orang tuanya bukanlah keluarga terpandang. Ayahnya
adalah La Kamba, seorang nelayan yang mempertaruhkan nyawa di laut demi
menghidupi keluarga. Sementara ibunya, Wa Rasia tak hanya mengurusi rumah
tangga dari dapur. Ibunya juga mengurusi kebun dan menjual sayur di pasar.
Ayahnya memberi nama La Ramo, yang
diambil dari sebuah nama pulau kecil tak jauh dari Tanjung Pinang, tempat
ayahnya dulu merantau. Namun saat sekolah, gurunya mengganti namanya dengan
Samahuddin. Masa kecil Samahuddin penuh dengan cerita menyedihkan.
Pantai Wantopi, Buton Tengah |
Di desa Wambuloli, kehidupan keluarganya serba terbatas dan berkecukupan. Orang tuanya menghidupi enam orang anak. Untuk makan, ibunya hanya bisa menyiapkan menu Pindang Ikan dan Kambuse (jagung rebus). Terkadang, mereka tak boleh menambah porsi makan untuk menjaga stok pangan tetap aman sampai beberapa hari ke depan.
Suatu hari, musim paceklik itu tiba.
Kebutuhan pangan keluarga mereka mulai menipis. Ayahnya tak berani melaut
karena ombak menggulung ganas di lautan. Sementara ibunya tak lagi berharap
banyak dari hasil kebun, sebab tanamannya sudah tak berbuah karena kekurangan
air dan kemarau panjang. Makanya ayah dan ibunya memutuskan pindah ke desa
Balobone di Kecamatan Mawasangka. Jaraknya tak begitu jauh dari desa Wambuloli.
Di Balobone, kehidupan berjalan sedikit
lebih baik. Samahuddin tumbuh besar di desa itu. Sejak kecil, ia telah terbiasa
dengan alam Buton Tengah. Kakinya yang kerap tak beralas telah akrab dengan
batu-batu tajam di halaman rumah. Ia juga telah terbiasa dengan suara debur
ombak yang memecah di karang.
Samahuddin menamatkan SD dan SMP di
Buton Tengah. Ia kemudian merantau ke Kota Baubau untuk melanjutkan SMA. Di
Kota Baubau, ia tinggal di rumah seorang nenek. Ia memanggilnya ina. Di
rumah Ina, Samahuddin tinggal secara cuma-cuma bersama anak-anak lain yang juga
bersekolah. Tuan rumah sengaja menggratiskan rumah itu ditinggali untuk mereka
yang bersungguh-sungguh sekolah.
Di Kota Baubau, Samahuddin tak seperti
anak-anak lain yang hanya menjalani rutinitas sebagai pelajar. Ia harus banting
tulang untuk menyambung hidup. Orang tuanya hanya dapat mengirimkan ikan kering
dan ubi beberapa kali dalam sebulan.
Samahuddin harus mencari cara agar saku
celananya bisa terisi duit. Ia harus bekerja untuk mendapatkan upah. Ia
membuang jauh-jauh gengsi di usia mudanya, sebab ia harus menjalani profesi
yang tak biasa. Ia bekerja menarik gerobak air untuk dijual dari rumah ke
rumah. Di sela-sela jam sekolah, ia manfaatkan untuk bekerja sebagai buruh
panggul di satu kawasan pelabuhan bongkar muat.
Ia harus bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidup selama bersekolah di Kota Baubau. Dengan bekerja, ia tak lagi
mengencangkan ikat pinggang karena lapar di waktu malam. Dengan bekerja, ia
bisa memenuhi kebutuhan makan dua kali dalam sehari.
***
Buang Diri di Tanah Rantau
Perjalanan hidupnya tak sampai di Kota
Baubau. Setelah tamat SMA, ia sempat melanjutkan pendidikan di bangku kuliah,
namun berhenti karena tak memiliki biaya yang cukup. Ia lalu memilih merantau
ke kota Ambon, Maluku. Di sana ia kembali bekerja, menjalani profesi sebagai
pedagang asongan. Ia menjual rokok di emperan toko. Di waktu lain, ia juga
menjual sayur di pasar Gotong Royong, Kota Ambon.
“Saya pergi jauh-jauh ke Ambon untuk buang diri” Samahuddin.
Samahuddin harus membagi waktu untuk
bekerja. Waktunya dimanfaatkan sebaik mungkin untuk berjualan. Tempat
tinggalnya tak jauh dari pasar. Ia biasa tidur dengan menggelar dos bekas di
halaman toko. Ia telah akrab dengan nyamuk, dingin dan bau amis saat malam
menjelang tidur. Memasuki subuh pukul 4, ia harus bangun untuk memulai
pekerjaan.
Di pasar, ia bekerja pada salah seorang
pedagang sayur. Ia mendapat upah dari mengemas sayur dan buah-buahan untuk
dijual. Namun pernah suatu ketika ia tak diberi upah beberapa bulan. Samahuddin
hanya bisa pasrah dan menitihkan air mata. Ia merasakan ketidakadilan, haknya
tidak diberikan.
![]() |
Perjalanan Samahuddin merantau |
Perjalanan hidup semasa merantau di Kota Ambon itu ia lalui antara tahun 1985 sampai 1986. Masa itu adalah pengalamannya menjalani hidup terpisah jauh dari keluarga. Ia nekat berangkat ke Kota Ambon, Maluku hanya dengan modal uang seratus ribu rupiah. Ia tak membawa apa-apa selain baju di badan, yang ia pakai sehari-hari. Malam dicuci dan jemur, esoknya dapat ia pakai kembali.
Selain di Kota Ambon, Maluku,
sebelumnya Samahuddin sempat ke Kota Kendari, Sulawesi Tenggara untuk mengikuti
tes seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Niatnya ingin menjadi seorang
guru. Namun beberapa kali ikut tes seleksi, namanya tak pernah ada dalam
pengumuman kelulusan. Padahal tabungan orang tua telah ia pakai untuk membiayai
perjalanannya mengikuti tes seleksi itu.
Samahuddin berkisah saat berangkat ke
Kota Kendari mengikuti tes seleksi CPNS. Ia menjadi penumpang ilegal di satu
kapal yang membawanya. Ia masih ingat nama kapal itu, kapal Lompo Batang. Ia
terpaksa bersembunyi untuk menghindari petugas kapal pemeriksa tiket. Karena
tak memiliki tiket, ia bersembunyi di dekat mesin, bercampur dengan oli mesin
dan tali-tali kapal.
Namun tetap saja, petugas kapal mencium
keberadaanya. Tempat persembunyiannya yang gelap dan menyatu dengan warna
kulitnya itu telah diketahui petugas. Ia segera ditangkap dan diberi tugas
bekerja membersihkan mesin kapal. Samahuddin menerima sanksi itu dengan sangat
terpaksa.
Roda kehidupan terus berputar,
Samahuddin memutar otak dengan tetap bekerja. Ia terus berusaha agar hidupnya
bisa lebih baik dari hari kemarin. Ia ingin membahagiakan kedua orang tua dan
keluarganya di kampung.
Berbagai usaha telah dicoba dan tekuni.
Ia pernah menjual obat dan berprofesi sebagai mantri. Ia berangkat bersama
pedagang lain dengan menumpangi kapal layar dari Lamena, Mawasangka Timur,
kemudian menyusuri pulau-pulau kecil di kawasan Maluku hingga Papua.
Profesi itu tak berjalan lama, ia tak
teruskan sebab pernah salah memberi dosis obat. Vitamin yang ia suntikkan ke
seorang anak di Papua itu terlalu berlebihan. Setelah disuntik, anak itu
tumbang. Samahuddin panik bukan kepalang.
Tetapi ia punya sedikit pengetahuan
tentang medis yang di dapat dari kakaknya yang benar-benar mantri dan bekerja
di salah satu Puskesmas di kampung halaman. Anak itu mampu ia tangani dan
kembali sadarkan diri.
Samahuddin hampir tak pernah kekeringan
ide. Ia terus bekerja agar usahanya tetap tumbuh. Hingga ia menemukan jalan
yang mengantarnya menjadi pengusaha sukses di perantauan. Kesuksesan itu ia tak
raih begitu saja. Ia sempat kembali ke kampung halaman untuk menikah, lalu
menjalani rumah tangga bersama istri dalam suka maupun duka.
Ia bersama istri berkomitmen membangun
usaha bersama. Istrinya sangat mendukung setiap usaha yang dilakukannya.
Bermodalkan kalung emas Jusniar, istrinya, Samahuddin menjaminkan perhiasan
emas itu untuk memodali usahanya. Dari modal itu, usahanya perlahan merangkak
naik. Hingga pada satu momentum, usaha hasil laut yang ia rintis di tanah Papua
memberi keuntungan berkali-kali lipat, hingga ia memiliki tabungan ratusan juta
di masa itu.
***
Pulang Kampung Membangun Daerah
Gudang penyimpanan hasil laut yang ia
bangun itu telah dipercayakan pada seseorang untuk dikelola di Papua.
Samahuddin memilih untuk pulang kampung dan merencanakan segala hal untuk
membangun tanah kelahiran. Pelan-pelan ia masuk ke dunia kontraktor dan
mengambil sejumlah proyek pembangunan.
Di Kota Baubau, hampir seluruh taman
kota ia kerjakan. Termasuk pembangunan taman kantor walikota dan baruga di
kawasan benteng Keraton Buton. Di masa pemerintahan Amirul Tamim sebagai
Walikota Baubau, Samahuddin dipercaya mengerjakan proyek-proyek daerah. Menurut
Amirul, Samahuddin memiliki keistimewaan. Ia tipe pekerja dan selalu berada di
lapangan. Ia mampu menerjemahkan ide pemerintah dan menyelesaikannya tepat
waktu.
Proyek pembangunan jalan |
Makanya Amirul Tamim yang ketika itu masih menjabat walikota menyenangi karya-karyanya, proyek pembangunan yang dikerjakan Samahuddin. Tak hanya pemerintah kota Baubau, ia juga dipercaya untuk mengurusi proyek-proyek di level pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Samahuddin telah menekuni profesinya sebagai kontraktor selama bertahun-tahun. Termasuk membangun kampung halamannya sendiri di Buton Tengah.
Samahuddin selalu bersyukur dari usaha
yang ia rintis. Berkat modal dari sang istri, ia dapat membangun bisnis dan
memiliki tabungan yang cukup. Ia memiliki kekayaan yang cukup untuk membangun
rumah, cukup untuk memberangkatkan keluarga ke tanah suci, dan cukup untuk
disumbangkan, membantu orang-orang desa di kampung halaman.
Meskipun dirinya telah sukses, ia tak
pernah tinggi hati, hidupnya selalu sederhana. Memang, sejak kecil ia sudah
terbiasa hidup apa adanya. Ketika sukses, ia tak pernah menunjukkan kemewahan.
Ia selalu membaur bersama orang-orang di kampung. Duduk bersama orang-orang
desa, petani, nelayan, pedagang, untuk sekedar berbagi dan mendengar keluh
kesah mereka. Tak jarang anak-anak muda
desa datang menemuinya untuk meminta dukungan ketika mengikuti kompetisi bola
antar kampung.
***
Tak Pernah Bermimpi Jadi Bupati
Sejumlah tokoh masyarakat datang
menemui Samahuddin. Mereka memintanya untuk masuk dalam bursa pencalonan kepala
daerah, pesta demokrasi Buton Tengah yang tak lama lagi itu akan digelar.
Masyarakat melihat sosok Samahuddin memiliki potensi untuk memenangkan
pertaruangan itu. Mereka melihat harapan ada pada dirinya untuk membawa Buton
Tengah ke arah yang lebih baik.
Awalnya Samahuddin menolak. Ia tak
memiliki niat menjadi seorang pejabat. Istri dan anak-anaknya pun tak setuju
jika ayahnya masuk ke dunia politik. Keluarga telah mensyukuri nikmat yang ada
dari usaha yang dikembangkan sang ayah. Mereka takut ayahnya sibuk dan tak
memiliki waktu berkumpul bersama keluarga. Cukup lama Samahuddin memikirkan
keputusan keluarga yang tak menyetujui dirinya maju dalam perhelatan politik di
daerah.
![]() |
Jusniar, istri Samahuddin, Bupati Buton Tengah |
Hingga pada suatu malam, ia membangunkan istrinya yang telah tertidur lelap. Samahuddin hendak menyakatakan sesuatu pada Jusniar. Ia telah membulatkan niatnya untuk maju sebagai calon bupati Buton Tengah. Istrinya mau tak mau harus menerima keputusan suami.
Sebagai kepala keluarga, Samahuddin
mengumpulkan anak-anak dan melakukan kompromi. Pada akhirnya, keluarga
bersepakat dan menyetujui niat Samahuddin memasuki arena pertarungan pemilihan
kepala daerah.
Keluarga memiliki keyakinan pada
Samahuddin untuk menjadi seorang pemimpin. Ia memang tipe pekerja. Ia tak
pernah betah berdiam diri di rumah. Sejak pagi, ia sudah keluar rumah untuk
memulai pekerjaan. Samahuddin tak suka berada di zona nyaman, dan hanya
menikmati segala kemewahan. Tugasnya belum selesai, ia terus bekerja dan
memikirkan nasib orang-orang di daerah.
Masyarakat telah mendengar kesiapan
Samahuddin maju mencalonkan diri sebagai bupati di Buton Tengah. Masyarakat
segera membentuk barisan, menggalang kekuatan dan memasifkan dukungan mereka
kepada pasangan Samahuddin - La Ntau (Alm), dengan akronim SamaTau.
Kegembiraan masyarakat itu pecah ketika
mereka mengetahui hasil perolehan suara dalam Pilkada Buton Tengah. Kandidat
mereka, Samahuddin bersama La Ntau (Alm) berhasil memenangkan pertarungan. Mei
2017, pasangan itu dilantik oleh Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam.
Samahuddin resmi menjadi Bupati Buton Tengah untuk masa bakti 2017 sampai 2022.
Samahuddin tak pernah bermimpi bisa
memegang jabatan penting di daerah. Ia tak pernah memiliki cita-cita untuk
menjadi seorang bupati. Ia hanya pernah bermimpi ingin menjadi seorang guru, atau
paling tidak seorang polisi. Tetapi cita-cita itu tak bisa ia gapai. Ia memilih
untuk merintis bisnis.
Hingga akhirnya Samahuddin dipercaya
untuk menahkodai Buton Tengah. Tetapi, bukankah ucapannya sejak dulu selalu
ingin membangun daerah. Bukankah tujuan dirinya pulang dari tanah rantau untuk
membangun kampung halaman? Mungkin inilah jawabannya.
***
Selama melakukan riset, mengumpulkan
data sebagai bahan penyusunan buku jejak langkah Samahuddin memimpin Buton
Tengah selama tiga tahun, saya melihat daerah itu telah menunjukkan tanda-tanda
sebagai daerah maju. Saya menemukan jejak-jejak Samahuddin yang sudah melakukan
sejumlah pekerjaan di daerah.
Saya melakukan wawancara kepada
sejumlah pejabat dilingkup dinas, mendengar langsung cerita masyarakat desa,
meminta pendapat para sahabat dan teman dekat Samahuddin, juga bertemu saudara
kandung bupati dan Jusniar, istri Samahuddin. Rata-rata dari mereka memberi
komentar positif terkait kepemimpinan dan kerja-kerja Samahuddin dalam
membangun Buton Tengah.
Di beberapa kesempatan kerja dalam
project penyusunan buku kepala daerah, saya sudah sering menemukan kisah-kisah
perjalanan seseorang hingga menjadi kepala daerah, namun dengan cerita hidup
dan asal-usul dari keluarga yang sudah mapan.
Saya baru menemukan kisah seorang
pejabat yang mengawali hidup benar-benar dari bawah, dari nol. Ia berasal dari
keluarga yang tidak mampu. Orang tuanya dari kalangan rakyat biasa. Perjalanan
hidupnya ditempa dengan berbagai masalah dan ujian. Pergi merantau dan
menjalani hari dengan susah payah demi sesuap nasi.
Samahuddin memang bukan orang biasa, ia
memiliki keistimewaan. Karena usaha dan kerja keras itulah sehingga dirinya
mampu bangkit, dirinya dikenal orang, dirinya mampu membawa nama keluarga,
dihargai dan dihormati orang-orang.
Sebenarnya saya enggan untuk mengulik
dan menuliskan kisah seorang pejabat. Tetapi menelusuri jejak hidup Samahuddin
membuat hati dan mata saya basah. Saya seperti ditampar, tentang keangkuhan
yang ada pada diri ini. Kisahnya menggedor relung hati, bahwa kemalasan yang
membuat kita selalu duduk nyaman menunggu rezeki itu jatuh dari langit.
Perjalanan hidup Samahuddin begitu
menginspirasi. Utamanya bagi mereka yang ingin menduduki suatu jabatan. Bahwa
untuk meraih jabatan, bukanlah sesuatu yang didapat begitu saja.
![]() |
Samahuddin bersama para petani |
Ini adalah kisah tentang perjuagan seseorang yang bergerak dari titik nol. Saya telah menyaksikan dan mendengar langsung dari masyarakat di sana. Sebagai bupati, memang selalu ada riak, ada kritik yang menjadi kontrol masyarakat kepada pemerintah di daerah. Tetapi dibanding daerah-daerah lain di Sulawesi Tenggara, Kabupaten Buton Tengah selangkah lebih maju. Samahuddin membangun tanpa menimbulkan kegaduhan.
Dibanding beberapa tahun lalu,
pembangunan Buton Tengah saat ini sudah mulai tampak wajahnya. Jalan-jalan
diperlebar dan di aspal dengan kualitas baik. Ruang-ruang publik telah
disiapkan. Kawasan wisata dipercantik sehingga dapat memantik wisatawan untuk
berkunjung.
Samahuddin sejak lama gemar membangun.
Katanya, ia ahli membangun taman. Semoga tak hanya itu yang dapat ia
persembahkan untuk Buton Tengah. Semoga ia dapat menuntaskan janji-janji dimasa
kampanye dulu. Semoga amanah masyarakat yang ia pikul dapat segera ia wujudkan,
demi kesejahteraan seluruh masyarakat di sana, demi Buton Tengah yang semakin
berkilau.