Friday, September 11, 2020

Kain Tenun di Hari Terakhir Ibu

 


Kehilangan harta benda, kehilangan pangkat atau jabatan mungkin pedihnya hanya beberapa saat. Tetapi, kehilangan seorang ibu yang pergi selama-lamanya meninggalkan duka dan nestapa yang amat dalam.

Sebelas hari yang lalu menjelang kumandang adzan Magrib, kupacu sepeda motor menuju pulang. Dalam perjalanan itu, kupandang langit memerah serta angin bertiup kencang. Matahari kembali ke peraduan, langit mulai gelap.

Saya sudah tak sabar ingin lekas sampai ke rumah. Saya sudah mendapat firasat, sesuatu yang akan terjadi pada diri dan keluarga.

Firasat itu memang benar. Ibuku yang terbaring dua pekan karena sakit sudah tak sadarkan diri. Saya begitu panik, saya segera merengkuh dan mengangkatnya dari pembaringan. Saya sempat berpikir ibu hanya pingsan. Padahal sebelumnya beliau sempat memanggil nama saya, sebelum akhirnya menutup mata.

Ajal datang menjemput ibu. Kupegang erat jemari tangannya yang dingin, sedingin bongkah es. Saya masih berharap ibu sadar dan membuka mata. Saya masih terus memanggilnya, "Maa.., mama." Entahlah, apa beliau masih mendengar suara anaknya.

Seorang perawat yang kupanggil segera datang ke rumah. Dialah yang menyatakan kalau ibu telah tiada. Hatiku seketika remuk, pecah berkeping-keping. Saya tak menyangka, ibu sudah tiada. Hatiku hancur, ibuku pergi disaat saya belum sempat menyuapinya makan malam, sebagaimana hari-hari ibu menjalani sakit.

Bapak dan saudara-saudaraku berkumpul, meratapi jasad ibu yang tak lagi memiliki ruh. Kami tak menyangka, sakit ibu beberapa hari menjadi pesan kalau masa hidupnya akan berakhir.

Ada pesan yang beliau sampaikan sebelum ibu wafat. Saat di rumah sakit, ibu meminta kami untuk di bawa pulang, ibu ingin beristirahat di rumah. Ibu juga berpesan ketika meninggal nanti beliau ingin dimakamkan di dekat makam ibunya. Sehari sebelum ibu meninggal, beliau meminta kami untuk di mandi-bersihkan setelah itu dipakaikan baju kesukaannya.

Ajal adalah salah satu takdir, batas hidup yang telah ditentukan Allah SWT. Ibu pergi di usia 69 tahun. Tuhan telah menetapkan masa hidupnya. Masa kontrak ibu di dunia telah berakhir. Beliau harus kembali dan menghadap Sang Khalik. Kami hanya bisa mengirim doa agar jalannya dilapangkan.

Suatu kesyukuran, kami bisa menemani ibu di malam terakhir di rumah. Kami menyarunginya dengan kain tenun kesukaannya yang disimpan rapih dalam lemari. Esoknya, kami memandikan, melihatnya dikafani, menyolatkan, dan mengantarnya ke pembaringan akhir.

Sejak kepergian ibu, keluarga seperti pincang. Tak ada lagi pelukan dan lembut belaian ibu ketika berada disisinya. Tak ada lagi menu ikan kuah khas ibu, juga tak ada lagi segelas kopi manis buatan ibu.

Saya seperti tak lagi menemukan kehangatan di dalam keluarga, sejak ibu tiada. Ketika melihat baju, barang-barang milik ibu, saya selalu mengingatnya dan kembali sedih.

Benar kata orang-orang, kita seperti kehilangan segala-galanya ketika tak lagi memiliki ibu. Saya sudah sering mendengarnya dari teman-teman yang menjalani hidup tak bersama ibu. Mereka sudah merasakan kesedihan itu lebih dulu.

Mama,

Terima kasih tak terhingga untuk perjuangan dan pengorbanan selama mengarungi nafas bersamamu. Perjuanganmu melahirkan dan merawat kami agar bisa menghirup udara kehidupan, menyaksikan semesta dan menyusui kami agar tumbuh dewasa.

Semoga jalan ibu diterangi dan diluaskan. Semoga ibu dapat diterima sebagai kekasih Allah. Amin.

0 komentar:

Post a Comment

Popular Posts