Tahun
1999 silam, konflik itu pecah di tanah Maluku. Konflik itu meninggalkan duka
mendalam karena memakan korban jiwa yang tak sedikit. Banyak orang tewas dalam
kerusuhan agama itu. Banyak rumah dibakar hingga menyisakan puing-puing. Hampir
sebagian penduduk lari mengungsi menyelamatkan diri. Kota yang identik dengan
julukan Ambon Manise, akibat kerusuhan 21 tahun lalu, kota itu menyisakan pahit.
Sebagian
besar penduduk Maluku adalah masyarakat Buton, Bugis, dan Jawa. Akibat konflik
antara 1999 sampai 2002 itu, ribuan orang meninggalkan Ambon, Maluku. Dari beberapa daerah yang menjadi tempat pengungsian, Kota Baubau adalah salah satunya. Kota Baubau
menjadi salah satu daerah tempat pelarian orang-orang Ambon, Maluku yang
terdampak konflik.
Tetapi sesungguhnya orang-orang yang datang mengungsi ke Kota Baubau adalah orang-orang asli Buton yang sudah sejak lama merantau ke Ambon, Maluku. Sebagian besar orang Buton yang merantau itu sudah menetap, kawin-mawin dan beranak-pinak di sana. Tetapi karena konflik berdarah di Maluku, mereka memilih untuk kembali ke kampung halaman.
Masyarakat pengungsi itu lari menginggalkan harta benda dan rumah-rumah yang telah rata dengan tanah. Mereka lari membawa pakaian dan barang sebisa mereka ambil. Mereka menyesaki kapal penumpang Pelni untuk pergi jauh dari pulau dengan perasaan cemas dan takut.
Kerusuhan
Ambon, Maluku bergema ke seluruh nusantara, membawa momok bagi masyarakat Islam
dan Kristen di daerah-daerah lain. Konflik agama di Ambon, Maluku membunuh
toleransi bagi kerukunan antar umat beragama. Konflik itu sempat menumbuhkan
kebencian antara muslim dan nasrani - hanya karena mereka tega membawa
nama agama dalam masalah sepeleh.
***
Lama saya
menatap mata Victor Lawalata yang sembab saat dia mengisahkan kembali peristiwa
kelam di kampung halamannya, di Batu Gantung, Ambon, Maluku - yang ketika itu banyak
orang-orang tewas tergeletak karena tebasan parang, terkena anak panah,
peluru, hingga serpihan bom.
Hari itu
saya berjumpa Victor di kediamannya di Kota Baubau. Kami berbincang cukup lama.
Dia memang lahir dan besar di Kota Baubau, meskipun leluhurnya berasal dari
Saparua, sebuah pulau kecil di wilayah Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi
Maluku.
Jauh
sebelum kerusuhan Ambon, Maluku, keluarga Victor telah berada di Kota Baubau.
Sekitar tahun 1960, ayahnya lah yang pertama datang dan membuka bank. Bank itu
menjadi satu-satunya di daerah, yang saat itu bernama Bank Rakyat Sulawesi.
Meski ayahnya
seorang bankir, Victor tak mengikuti jejak Papa. Victor memilih bekerja di
Perusahaan Listrik Negara (PLN) Area Kota Baubau. Dia menyelesaikan pendidikan
dari SD hingga menamatkan SMA di Kota Baubau. Dia tak pernah menyangka bisa
selama itu menetap dan betah tinggal di Kota Baubau, hingga dia memiliki istri,
seorang perempuan berdarah Buton. Istrinya adalah orang Wolio, keluarganya memiliki
keturunan Sultan Buton.
Di kehidupan keluarga, Victor tak pernah mempersoalkan keyakinan dalam beragama,
“Jadi
kita di sini, kalau lebaran, ya lebaran, kalau natal ya natal. Jadi kita akrab
semua. Jadi ini keluarganya istriku, tiga yang Kristen, tiga yang Muslim. Jadi
mereka saling bagi,” kata Victor
Sejak
menetap dan membangun rumah tangga di Kota Baubau, Victor selalu aktif dalam
kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Dia terlibat aktif di dalam Kerukunan
Keluarga Besar Masyarakat Maluku (KKBMM), yang saat ini berganti Maluku Satu
Rasa (M1R).
Victor
juga aktif dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Dia sering menghadiri undangan masyarakat
pengungsi Maluku dalam acara-acara Maulid di masjid. Dia juga sering menghadiri
ritual adat Haroa yang diadakan masyarakat Buton. Menurutnya, tradisi Buton dan
Maluku memilki kemiripan. Tradisi Haroa seperti halnya tradisi Makan Patita
bagi masyarakat Maluku, yakni acara makan bersama.
Di dalam
kerukunan, Victor selalu menanamkan sikap toleransi pada orang-orang Maluku.
Dia menjadi cerminan orang Kristen yang menghormati segala perbedaan, kepedulian
serta kasihnya terhadap sesama manusia. Menurutnya, saat ini banyak
falsafah-falsafah yang telah terlupakan oleh kita. Andai kalau itu dipahami
dengan baik, tentu bisa lebih menentramkan dan mampu menjaga toleransi.
Victor
mendapat satu kepingan cerita sebelum ayahnya wafat tentang kuatnya ikatan
persaudaraan di tanah Buton. Kata Papi, orang-orang tua di Buton paling
menghargai setiap pendatang. Mereka bisa saling menghargai dan menyayangi
walaupun tak seiman dan berbeda budaya.
Toleransi
begitu kuat sejak masa-masa kesultanan Buton dulu. Karena itu, pihak kesultanan
memberi satu bangunan untuk dijadikan tempat ibadah bagi umat Kristen di Kota
Baubau. Selain gereja, lonceng besar bertuliskan Wolio menjadi hadiah untuk
dijadikan lonceng gereja dan pelayanan ibadah bagi umat Kristen.
***
Saya
begitu menikmati cerita pak Victor hari itu. Sebagai seorang muslim bersuku
Buton, saya pernah mengalami hal-hal serupa saat mengunjungi beberapa daerah
yang di mana masyarakatnya mayoritas adalah nasrani. Saya kembali teringat saat
mengunjungi Pulau Kakorotan, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara beberapa tahun
lalu.
Dalam
kegiatan riset, saya dan teman-teman tinggal di rumah kepala desa. Di pulau
kecil itu, kami disambut dengan penuh hangat oleh masyarakat desa, yang seluruh
masyarakatnya beragama Kristen. Sudah pasti tak ada masjid di pulau itu.
Masyarakat
desa tahu kalau kami pendatang yang tak seiman dengan mereka. Seorang teman,
Nissak yang telah dulu datang untuk satu kegiatan penelitian dan tinggal cukup
lama bercerita kepada kami kalau dirinya selama di Pulau Kakorotan tak pernah
mendapat perlakuan aneh dari masyarakat hanya karena dirinya memakai jilbab.
Masyarakat
Kakorotan tahu kalau Nissak beragama Islam. Dia adalah seorang muslim yang
taat. Masyarakat Kakorotan sangat menghargai dirinya, seorang perempuan
beragama Islam yang memilih tinggal selama berminggu-minggu di antara
orang-orang Kristen yang guyub.
Saat
perahu yang kami tumpangi mendarat di pantai Pulau Kakorotan, kami disambut
Nissak. Dialah yang mengantar kami di rumah kepala desa. Di rumah itu, kepala
desa menyambut baik kedatangan kami dan mempersilahkan untuk tinggal beberapa lama.
Bapak
kepala desa tahu kalau kami adalah muslim yang punya perbedaan dengan
kebiasaan-kebiasaan mereka di rumah. Istrinya menyiapkan apa yang menjadi
kebutuhan kami selama tinggal di rumah mereka. Mulai dari kebutuhan makan, sampai dengan
kebutuhan ibadah, seperti tempat wudhu, ruangan, serta alas tempat kami salat.
Aktivitas
kepala desa tak hanya melayani masyarakat dan mengurus pemerintahan dari kantor
desa, namun dia juga melayani masyarakatnya di gereja sebagai pendeta. Dalam
sehari, beberapa kali dia melangsungkan ibadah di gereja dan dari rumah ke
rumah. Sejak subuh, dia sudah keluar rumah untuk beribadah ke gereja.
Saya melihat
ada kemiripan jadwal ibadah mereka dengan kita orang Islam. Setiap pagi pukul
5, pak desa sudah berpakaian rapih, mengenakan sepatu dan membawa Alkitab
menuju gereja. Di sana, dirinya telah dinanti oleh jemaat.
***
Pada
setiap perjalanan yang pernah saya lalui, saya menemukan tetes embun yang
membasahi hati dan batin. Pada setiap perjalanan itu, saya menemukan pelajaran
yang amat berharga tentang bagaimana cara untuk saling menghormati satu sama lain. Bahwa berbeda keyakinan bukanlah satu masalah untuk diperdebatkan
dan dipertentangkan.
Saya
sering menemukan teman-teman nasrani yang ramah dan lembut dalam berucap. Saya
menyukai cara mereka dalam bergaul. Tidak ada ucapan yang menyinggung apalagi menggoyah keimanan saya. Justru kitalah yang mayoritas ini selalu merasa hebat
dan paling benar, sebagaimana kita menyaksikan banyak muslim di ibu kota sedang
mabuk agama.
Padahal
ajaran Islam selalu dinamis, sesuai dengan ruang dan waktu. Bukankah agama datang untuk
memelihara akal manusia. Bukankah agama itu datang untuk memelihara agama itu
sendiri, sehingga kalau ada yang mengganggu dengan pemikiran-pemikiran yang
keliru, maka harus diluruskan.
Agama itu datang untuk memelihara jiwa manusia. Siapapun dia, apakah muslim atau non muslim, tetap harus dihormati.
Sementara kita sering menjumpai orang-orang yang emosi keagamaannya terlalu meluap-luap, sehingga dengan mudah menyebut orang lain dengan kata kafir. Inilah kegagalan kita dalam beragama.
Jangan menganggap, menghormati agama orang lain bukan berarti kita mengakui
kebenarannya. Menghormati agama orang lain yang kita tidak percaya itu hanya
mengakui keberadaannya, bahwa kita bisa hidup berdampingan dengan mereka
walaupun dengan perbedaan-perbedaan.
Kita
harus pahami bahwa perbedaan itu mutlak adanya. Keberagaman mengajarkan banyak
hal tentang makna toleransi. Kita yang berbeda dalam agama, adalah saudara dalam
kemanusiaan.
Selamat Natal
Semoga kita selalu diberi kesehatan, kebahagiaan, damai dan sejahtera.