![]() |
Ilustrasi kekerasan. Sources: Tribuntimur.com |
ANAK
lelaki itu sedang mengikuti latihan menari di satu ruangan sekolah (SMP)
Katolik di pedesaan Filipina. Ia berlatih bersama teman-teman lainnya untuk
persiapan satu acara besar di sekolah itu. Tetapi sejak awal latihan dia tidak
begitu bersemangat. Dia memang tidak begitu suka bergabung dengan grup penari
itu.
Sebabnya
karena ia kerap diganggu dengan teman-temannya: diejek dan suka dikerjain. Saat
dirinya sedang berlatih, seorang teman diam-diam melorotkan celananya. Sontak orang-orang
yang melihatnya jadi tertawa dan mengejek. Mereka terus tertawa terbahak-bahak.
Anak-anak itu melihatnya seperti mainan.
Dirinya
memang sering dirundung oleh beberapa anak laki-laki teman kelasnya, yang
kelihatannya mereka dari keluarga mapan di desa itu. Ketika sedang latihan
menari, ia memutuskan untuk keluar dan hendak pulang ke rumah. Ia ke ruang
kelas dulu untuk mengambil tas. Tetapi belum sampai ke luar sekolah, seorang
temannya meneriakinya, langkahnya terhenti. Teman itu menuduhnya mengambil
sebuah iPad yang di-charge di dalam kelas.
Dirinya
diminta untuk menunjukkan isi tas yang dipakainya. Tetapi ia tak mau. Ia terus
berlari, teman-temannya mengejar, terus memaksanya dan mengakui kalau barang
itu ada padanya. Sampai di satu sudut bangunan sekolah, tak ada lagi jalan
untuk lari. Ia dikerumuni, karena temannya memaksa dan menarik tasnya, refleks
tangannya mengayun meninju wajah anak itu hingga tumbang, jatuh terkapar.
Karena emosi, ia masih terus memukul dan menendang. Mereka berdua menjadi
tontonan teman-teman lainnya. Beberapa dari mereka ada yang merekamnya dengan
ponsel.
Cerita
cyber bullying baru saja di mulai. Anak malang itu bernama John Denver.
Kisahnya bisa kita temukan dalam film garapan sutradara Arden Rod Condez, seseorang
berkebangsaan Filipina. Filmnya menyuguhkan kisah yang diinspirasi dari sebuah
fenomena saat ini, di mana anak atau remaja kerap mengalami kekerasan melalui
dunia cyber atau media sosial.
Film
ini berjudul John Denver Trending. Memang nama anak itu menjadi trending di
media sosial setelah seorang teman sekolahnya mengunggah dan menyebar video
perkelahiannya di Facebook. Video itupun ditambahkan dengan deskripsi singkat: Ayo
buat bajingan ini terkenal. Dia mencuri iPad temanku. Kami sudah lihat ke dalam
tasnya, namun dia tetap menyangkalnya. Tak tahu malu! Lihat apa yang dia
lakukan pada temanku. Bajingan! Iblis! Suka dan bagikan hingga itu sampai ke
Presiden Duterte”
Posingan
anak itu mendadak viral. John belum menyadari kalau dirinya direkam dan
videonya telah disebar meluas di kanal facebook. Sebab ketika pulang sekolah,
ia langsung ke tempat kerja ibunya. Menjelang malam, mereka sama-sama pulang ke
rumah.
Ibunya
berstatus single parent, ditinggal pergi oleh suaminya yang tewas di
medan perang. Suaminya adalah seorang prajurit tentara Filipina.
Keluarganya
memang tergolong miskin. Mereka hidup dipedesaan, rumahnya tak jauh dari
persawahan, rumahnya sangat sederhana. John memiliki dua adik perempuan. Ibunyalah
yang harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga, ia bekerja sebagai
penimbang buah kelapa di satu pengusaha di desanya. Ibunya harus bekerja di
tempat itu karena ia telilit hutang dengan si bos.
Sejak
kepergian sang ayah, keluarga mereka menjalani hari-hari dengan tak pasti. Tetapi
ibunya memiliki semangat yang tinggi, ia masih memiliki harapan dari
anak-anaknya. Ibunya memiliki setumpuk impian dan cita-cita yang telah ia
titipkan kepada John yang kini sedang duduk di bangku pendidikan. Ibunya sangat
berharap kepada John, kelak suatu hari nanti dirinya menjadi pelita yang
menerangi kehidupan keluarga mereka.
Tetapi
hari itu John tampak gusar. Belum sampai di rumah, ia coba menyambungkan
handphone miliknya ke jaringan internet milik tetangga. Saat membuka facebook,
ia mendapat pesan dari seorang temannya. Pesan itu seperti petir yang
menyambarnya. Pesan itu hanya untuk mengabarkan kalau dirinya saat ini tengah
menjadi perbincangan. Nitizen sedang membahas video perkelahiannya di sekolah.
John coba mengirim pesan ke pemilik akun yang memposting video itu, namun tak
dijawab sedikitpun.
John
menjadi gelisah. Ia terus dihantui rasa takut. Dirinya juga sangat marah kepada
teman yang tega menyebar video perkelahian itu dan ditambah dengan narasi yang
sangat kejam. Malam itu John menjadi tak tenang. Ibunya curiga, ia lalu
bertanya, tetapi John menyembunyikan apa yang sedang dialaminya.
Pagi
hari di sekolah, langkah kaki John begitu berat berjalan di antara orang-orang
yang melototinya dengan penuh sinis. Sebelum memasuki ruang kelas, anak-anak
dikumpul di halaman sekolah, mereka mengikuti semacam ritual apel pagi dan
dipandu untuk mengucapkan sumpah patriotik, semacam janji untuk terus mencintai
negara.
Ketika
anak-anak lain memasuki kelas. John dipanggil menghadap ke kepala sekolah. Di
situ telah hadir orang tua dari anak yang pernah dipukulinya. Ibu itu datang
bersama seorang polisi yang tak lain adalah tetangga rumahnya. Ibu itu ingin
John agar diproses hukum, namun kepala sekolah coba mengambil alih sebab
kejadian itu masih berada dalam lingkungan sekolah. Ia meminta waktu untuk
melakukan investigasi secara internal.
Padahal
kan John sudah berkali-kali berbicara kalau dirinya tak mengambil barang yang
hilang itu. Dia juga sudah menjelaskan kronologinya, dari awal hingga akhir
kejadian. Saat itu memang ia lari menghindar dari teman-teman penarinya, tetapi
bukan karena mengambil iPad, ia hanya kesal karena teman-teman sudah menuduhnya
mencuri. John juga sudah menunjukkan isi tasnya, di dalamnya hanya ada buku dan
kotak makannya.
John
terus ditekan oleh pihak keluarga temannya, ia dipaksa untuk mengaku. John
terus mengalami tekanan, tidak hanya di lingkungan sekolah dan dari keluarga
temannya itu, tapi juga orang-orang di media sosial yang begitu cepat tersulut
emosi lalu menumpahkan marahnya di kolom komentar postingan video yang sudah viral
di kota itu.
Di
kolom komentar facebook, John membaca satu demi satu tanggapan orang-orang
terhadapnya, semua orang menilainya jahat dan berharap dirinya mendapat
ganjaran yang setimpal. Dari banyak komentar, rata-rata bernada ancaman: ada
yang ingin membunuhnya, ada yang ingin dirinya masuk penjara, ada yang mengedit
foto wajahnya menjadi seorang iblis, dan masih banyak lagi komentar-komentar
negatif yang ditunjukkan kepada John.
Mengalami
banyak tekanan, John menjadi depresi, apalagi ketika ia dijemput dan
digelandang ke kantor polisi. Ia mengalami teknanan psikis. Di usia seperti itu,
ia diperhadapkan dengan banyak masalah dan tekanan berat, hanya ibunyalah yang
terus membelanya. Meskipun John tahu, ibunya tak mampu berbuat banyak atas masalah yang menimpa
dirinya.
John
amat sedih melihat ibunya yang berjuang membantu dirinya, di satu sisi ibunya
berusaha untuk menghidupi keluarga, di sisi lain dia harus berurusan dengan
pihak keluarga yang terus memaksa agar John mengakui perbuatannya.
Sebab
banyaknya masalah dan tekanan yang ia hadapi, John menjadi putus asa. Hari itu
John berlari pulang ke rumah hendak mencari ibunya, mungkin ia ingin
memeluknya, menangis dipangkuannya lalu berbisik: “bu, aku sudah lelah”
Sayang
ia tak menemui siapa-siapa di rumah. John tak tahu ibunya pergi ke mana.
Rupanya ibunya ke sekolah untuk menemui dirinya. Tetapi mereka tak saling
bertemu. John di rumah seorang diri, ia sudah pasrah dan akan melakukan sesuatu
hal yang sangat sia-sia.
Gegap
gempita acara sekolah sedang berlangsung, anak-anak sedang bergembira, mereka bersama
guru-guru sedang merayakan satu acara, tertawa bersama dan merasa terhibur oleh
penampilan tarian anak laki-laki. Sayangnya John tak ikut menari bersama
mereka.
Sementara
di satu rumah gubuk di dekat hamparan sawah yang sepi, seorang anak sedang
berjuang menghadapi banyak hujatan dan tekanan. Tetapi pada akhirnya ia kalah.
Siapapun itu, masalah tak mampu dihadapi oleh seorang diri. Memang benar, kata-kata
selalu lebih tajam dari pedang.
Ibunya
datang mencari John ke sekolah, karena tak bertemu, ia berjalan pulang. Entah
bagaimana reaksi ibunya saat tiba di pintu rumah. Di akhir film itu, yang
tampak hanya kaki anak lelaki yang menggantung di dalam rumah, tak bergerak,
tak menyentuh lantai.
***
KITA
bisa mengambil banyak pelajaran dari kisah film di atas, bagaimana informasi di
ruang maya bisa bergulir tak terkendali hingga menimbulkan fitnah yang sangat
kejam. Film itu hanya satu kepingan dari banyaknya kasus kekerasan dan cyber
bullying yang menimpa adik-adik kita.
Dari
kisah film ini, saya kembali teringat begitu banyaknya kasus di media sosial
kita, di mana orang-orang dengan mudah percaya satu informasi tanpa harus mencari
dan mengumpulkan informasi-informasi lain agar menemukan fakta sesungguhnya. Warganet
kita lebih suka menghujat atau menampilkan kemarahan mereka daripada memberi
solusi.
Ruang
media sosial kita memang sangat terbuka, di ruang itu tak ada batasan usia,
jenis kelamin, pendidikan, latar belakang atau status sosial. Semua pengguna
media sosial bebas berkreasi, membuat dan menyebar informasi, termasuk
dikalangan anak-anak dan remaja. Padahal di usia mereka seperti itu masih
sangat retan untuk berselancar di media sosial tanpa bimbingan langsung orang
tua.
Masa
remaja adalah masa di mana mereka senang mencoba sesuatu yang baru dikenalnya,
seperti halnya mereka berselancar di ruang media sosial.
Dalam
satu riset yang dilakukan Nur Sina (2015) di Kota Malang, dia mengambil
informan dari kalangan remaja yang berusia 15 sampai 17 tahun. Nur Sina coba
melihat fenomena cyber bullying di kalangan pelajar, sebab tindakan bullying
itu biasa terjadi pada usia remaja. Alasannya karena faktor lingkungan,
perkelahian di sekolah, adanya imitasi dalam penggunaan media sosial, kurangnya
perhatian orang tua dan guru, korban cyber bullying lebih memilih
bercerita kepada teman atau menyimpannya sendiri, dan cyber stalking (merendahkan).
Dari
penelitiannya itu, Nur Sina pernah menemui seorang pelaku cyber bullying
yang masih berusia 17 tahun, ia adalah seorang perempuan, ia melakukan cyber
bullying karena dirinya merasa tersinggung oleh ucapan seseorang yang
menjelek-jelekkannya. Untuk meluapkan kekesalannya, ia membuat kalimat-kalimat
kasar di media sosial facebook.
Kita
lebih sering melihat anak-anak remaja yang terbiasa menyelesaikan masalah
dengan cara-cara kekerasan, sebab mereka juga sudah terbiasa menyaksikan cara
kekerasan sebagai penyelesaian masalah. Mereka memandang kekerasan adalah cara
penyelesaian.
Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat dalam kurun waktu 9 tahun (2011-2019),
setidaknya ada 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak. Sementara untuk kasus bullying,
baik di pendidikan maupun media sosial, angkanya mencapai 2.473 laporan, namun
trendnya terus meningkat.
Seorang
psikolog anak, Vera Itabiliana Hadiwidjojo pernah mengatakan bahwa tindakan cyber
bullying sering dialami oleh anak yang secara mental terlihat berbeda.
Mereka akan cenderung terlihat pendiam, pemalu, dan akan tertutup. Cyber bulling
memiliki dampak buruk yang sangat serius jika terlalu lama dibiarkan. Perasaan
malu karena dikucilkan membuat mental anak jatuh sehingga dapat mengganggu masa
depan mereka.
Melalui
kisah dalam drama film John Denver Trending, kita disadarkan oleh peristiwa-peristiwa
penting dari banyaknya kasus kekerasan dan cyber bullying terhadap anak
di ruang maya di negara kita. Kisah John Denver yang mengalami dampak mental,
emosional dan fisik merupakan cerminan dari hari-hari anak dan remaja di
sekitar kita.
0 komentar:
Post a Comment